Oleh Agus Ansori
Sebentar lagi hingar hingar terompet pergantian tahun akan menggema. Entah hujan, ‘toat-toet’ itu akan tetap ada. Setidaknya akan keluar dari balik dinding hall hotel ataupun tempat hiburan seperti ruang karaoke, diskotik, pub, ataupun klub malam lainnya.
Apa lagi jika hari cerah. Maka lokasi wisata alam akan ramai. Pantai, gunung, danau, dan bahkan ada di lapangan sepak bola kampung. Anak-anak, remaja, dewasa, bahkan opa-oma sekarang sudah mulai genit, ikut merayakan pesta akhir tahun tersebut.
Timbul pertanyaan, mengapa mereka melakukan itu? Entahlah.
Siapapun, akhir tahun ini ada baiknya memandang cermin. Hidupkan lampu yang terang, atau malah gelap gulita sekalian. Agar bisa ‘melihat’ dengan jelas siapa kita selama setahun belakangan.
Dalam tahun ini, mungkin pernah bertemu di media sosial tentang dialog antara emas dan tanah.
Emas, dengan kemilau dan nilainya, membanggakan dirinya pada tanah yang kotor, kusam dan banyak kuman. Tanah dengan kondisi tersebut, menjadi bahan olok-olok oleh emas.
“Kamu tak sebanding denganku yang berkilau dan berharga. Kamu kotor, kusam dan bau… ”
Demikianlah kira-kira kalimat-kalimat emas yang ditujukan pada tanah.
Tanah dengan sikap sabarnya membalas dengan kalimat yang membuat emas menjadi tak berharga.
“Benar. Aku tidak berkilau dan mahal sepertimu. Aku kotor, kusam, bau dan banyak bakteri. Tapi kamu lupa, kamu berasal dari dalam perutku. Aku bisa menumbuhkan pohon, bunga-bunga, padi, dan mengalirkan air… ”
Sekarang, siapa yang lebih bernilai?
Baiklah, kita tinggalkan ‘perselisihan’ antara emas dan tanah.
Sekarang mari kita simak tentang air. Air, selalu mencari tempat yang lebih rendah. Mengalir pasti ke tujuannya, walau dihalang oleh bukit batu sekalipun, dia akan mencari jalan, demi sampai pada akhir perjalanannya.
Coba perhatikan. Di sepanjang aliran air, banyak tumbuh tanaman dalam berbagai jenis. Tumbuh dengan sangat baik. Karena air telah memberikan apa yang dibutuhkan oleh pohon-pohon untuk hidup dengan baik. Hewan, manusia dan bisa menikmati manfaat air.
Air, sepanjang yang dia lalu, menuruni tebing tinggi, lembah-lembah, dan tempat lebih rendah lainnya memberikan manfaat kehidupan yang lebih baik bagi yang ia lalui.
Siapa yang tidak tertarik dengan kupu-kupu? Warna-warnanya cantik, tariannya di antara kuntum-kuntum bunga sering membuat nyawanya terancam, baik dari pemangsa, ataupun dari tangan jahil manusia yang ingin menangkapnya.
Sebelum fase kecantikan itu, seekor kupu-kupu memulai dari siklus telur, lalu menetas menjadi ulat yang menjijikkan, dan menakutkan bagi beberapa orang. Ketika menjadi ulat semakin bahaya kehidupannya. Banyak burung yang akan memangsa, atau dikerubuti semut lalu dijadikan santapan bagi koloninya. Dan lebih sadis lagi, jika ketemu manusia. Bagi beberapa orang, ulat akan dibunuh dengan cara diinjak ataupun dipukul.
Selamat dari fase ulat, akan menjadi kepompong. Jelek dan tidak menarik bagi siapapun, termasuk semut. Tapi, tunggu beberapa hari ke depan. Kepompong yang jelek akan mengeluarkan kupu-kupu yang cantik, indah dan menawan. Menarik bagi siapa saja yang melihatnya. Selain indah, kupu-kupu bermanfaat bagi bunga-bunga yang akan berkembang biak.
Sulit memang menyampaikan pada seekor lalat, bahwa sampah itu kotor, dan bangkai itu menjijikkan. Tapi lalat tetap lalat. Lingkaran kehidupannya tidak pernah jauh dari semua yang kotor dan aroma yang bisa membuat muntah.
Perhatikan saja, lalat mencari tempat di tumpukan-tumpukan sampah, bangkai ataupun tempat kotor lainnya. Kawin dan berkembang biak di tempat yang menjijikkan. Lalu meletakkan telur-telurnya di bangkai-bangkai. Telur menjadi belatung, yang juga memakan semua yang sudah membusuk. Belatung menjadi lalat lagi, dan selalu menimbulkan penyakit di sekitar lingkungan dia hidup, begitu seterusnya.
Seringkali sampah menjadi hal yang kita buang. Begitu juga dengan kotoran hewan. Termasuk sisa-sisa tubuh hewan. Dari hal yang tidak berguna, ketika sudah melalui proses oleh alam, maka dia menjadi pemicu bagi tumbuhan untuk hidup lebih subur. Terbuang, berproses, lalu bisa membuat tumbuhan di sekitarnya.
Itulah pupuk Organik. Dari sampah, dibuang, menjalani proses, lalu bermanfaat bagi banyak mahluk, termasuk manusia. Sekarang ini, pupuk dari bahan-bahan sampah yang bisa diurai oleh alam menjadi lahan bisnis baru, karena mulai timbulnya kesadaran manusia untuk memulai menjauhi semua yang bersifat kimia.
Pertengahan malam di penghujung bulan Desember tahun ini, sebentar lagi akan menemui kita dengan pasti. Yang belum pasti adalah kesiapan menghadapi tahun baru di detik berikutnya.
Menjelang mengambil keputusan masuk dalam hingar hingar pesta pergantian tahun, akan sangat indah jika sebelumnya kita ‘bercermin’ dan jujur pada diri sendiri.
Siapapun kita di tahun yang akan dilalui ini, entah emas, tanah, air, kupu-kupu, lalat, ataupun pupuk organik, keputusan ada di tangan sendiri. Tergantung peran apa yang akan di ambil.
Mau berkilau, berkesan mahal, lalu congkak dan itu saja? Atau kelihatan kotor tapi bisa membuat orang lain bertumbuh dan berkembang dengan sifat yang dimiliki?
Air yang lembut, namun konsisten dengan tujuan dan memberikan semangat mahluk lain yang di laluinya untuk berkembang.
Ulat, kepompong lalu jadi kupu-kupu yang indah, sampah busuk kemudian menjadi hal berharga atau tetap menjadi lalat?
Pilihan ada di tangan, tergantung apa yang jadi niat di hati. Ingatlah, tidak selamanya berkilau itu berharga, tidak selamanya pula yang tak berguna itu sia-sia.
Manusia dilahirkan untuk berjuang, dan ketahuilah, semenjak kamu berbentuk sperma lalu membuahi sel telur, kamu sudah menjadi pemenang dari bermilyar pesaing!
Semua kita adalah pemenang. Tinggal waktu saja yang akan membawa ke tujuan itu.
Ingatlah, sebaik-baik manusia, adalah dia yang bermanfaat bagi orang lain. Bukan memanfaatkan.
Saling memberi manfaat dunia dan akhirat, alangkah indahnya….