Oleh: Hasanuddin Koordinator SIAGA “98
Identitas pada mulanya adalah ciri, jati diri atau keadaan khusus seseorang, kelompok, bangsa, dan pandangan.
Namun, ketika digunakan sebagai sarana politik ekstrim electoral, produknya tidak hanya dukungan suara pemilih, melainkan intoleransi yang mengakibatkan korban.
Intoleransi inilah yang menjadi titik berbahaya dari penggunaan identitas sebagai alat politik.
Konflik horizontal, perpecahan di masyarakat, bahkan tokoh dan politisipun menjadi korban.
Menguatnya seruan penghentian politik identitas ini, sesungguhnya bertujuan untuk menghindari residu negatifnya, yaitu intoleransi yang berkembang dalam relasi sosial-politik.
Lainnya adalah untuk mengembalikan politik elektoral pada proses memilih pemimpin berbasis kompetensi, integritas dan komitmen kemajuan bersama, dimana diperlukan politik akal sehat dan gagasan dalam poltik electoral.
Secara teoritik dan historis, politik identitas ini dapat sewaktu-waktu terjadi, dan keniscayaan dihilangkan dalam politik electoral, atau relasi politik.
Oleh sebab itu, peran negara menjadi penting terlibat menghentikan politik identitas, baik melalui seperangkat aturan maupun penegakan hukum.
Jika politik identitas harus diakhiri, maka pemulihannya haruslah dimulai dari peran negara, dimana korban politik dari politik identitas harus dipulihkan kembali melalui amnesti, jika bagi korban politik yang terkena proses hukum.
Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) misalnya. Dan tentu juga banyak yang lainnya.
Ahok perlu amnesti presiden, jika pemidanaan terhadapnya adalah bagian dari peristiwa terjadinya politik identitas.
Jika tidak, maka himbauan penghentian politik identitas, semata slogan, dan hukum lagi-lagi akan mengalami kesulitaan, akibat dinamika politik elektoral yang ditimbulkan.
Dan celakanya, negara hadir menguatkan politik identitas ini, dengan menghukum seseorang akibat tekanan politik identitas.
Selamat Harlah Pancasila, 1 Juni 2022