Mafia Sawit Mukomuko Semakin Gila: Hutan Negara Disulap Jadi Kebun, Negara Rugi, Rakyat Jadi Korban
Mukomuko, Word Pers Indonesia – Kasus alih fungsi kawasan hutan di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu, kian menyeruak ke permukaan. Ribuan hektare hutan negara yang semestinya dijaga sebagai paru-paru dunia kini berubah menjadi kebun sawit ilegal. Ironisnya, praktik tersebut berlangsung terang-terangan, seolah-olah aparat tutup mata.
Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Mukomuko, Saprin Efendi, S.Pd, mengecam keras pembiaran ini. Menurutnya, alih fungsi hutan tanpa izin bukan hanya perbuatan melanggar hukum, tapi juga penghancuran masa depan lingkungan hidup dan rakyat kecil.
“Kalau sawit ditanam secara ilegal, jelas negara tidak menerima Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang seharusnya dibayarkan oleh pemegang izin resmi. Kerugiannya sangat besar, bukan sekadar uang, tapi juga lingkungan yang hancur,” tegas Saprin.
Ia menambahkan, PNBP terdiri dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Dua instrumen ini menjadi jaminan agar hasil hutan yang diambil bisa dikompensasi dengan perbaikan lingkungan. Namun, praktik sawit ilegal membuat mekanisme itu lumpuh total.
“Bom Waktu” Bencana Alam
Saprin menegaskan, dampak dari perusakan hutan tidak bisa disepelekan. Alih fungsi kawasan besar-besaran di Mukomuko menurutnya tinggal menunggu waktu untuk menimbulkan bencana besar.
“Longsor, banjir bandang, erosi di bantaran sungai, bahkan konflik satwa dengan warga—semua itu sudah jadi bom waktu di Mukomuko. Kalau dibiarkan, penderitaan rakyat akan semakin parah,” ujarnya.
Kejahatan Luar Biasa
Praktisi hukum asal Mukomuko, Muslim Chaniago, SH, MH, bahkan menyebut perusakan hutan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Dampaknya multidimensi: sosial, budaya, ekologi, ekonomi hingga politik.
“Kalau maling motor hanya merugikan satu orang, tapi kalau hutan dijarah, negara dan generasi mendatang ikut hancur. Dampaknya lintas batas,” ucap Muslim.
Ia mengingatkan, negara sebenarnya sudah punya payung hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan tegas melarang segala bentuk perusakan hutan. Pada Pasal 50 disebutkan, masyarakat dilarang:
Membakar hutan;
Menebang pohon tanpa izin;
Memasukkan alat berat ke dalam kawasan hutan;
Menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pribadi tanpa izin resmi.
UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan memberikan landasan hukum yang kuat dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
Perubahan ini mencakup beberapa aspek penting, seperti:
-
Pemberantasan Perusakan Hutan: Pengaturan kategori perbuatan perusakan hutan terorganisasi, baik perbuatan langsung maupun tidak langsung.
-
Kelembagaan: Pembentukan lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang memiliki fungsi koordinasi dan supervisi.
-
Peran Serta Masyarakat: Peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan perusakan hutan.
-
Sanksi: Pengaturan sanksi administratif dan pidana bagi pelaku perusakan hutan.
Dengan perubahan ini, pemerintah bertujuan untuk meningkatkan perlindungan hutan dan lingkungan hidup, serta memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan.
“Aturan sudah ada, pasal demi pasal jelas. Tapi faktanya, di lapangan mafia sawit lebih berkuasa daripada negara. Regulasi hanya jadi kertas yang bisa dirobek oleh kepentingan segelintir orang,” kata Muslim dengan nada kecewa.
Aparat Hanya Menonton?
Sebelumnya, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Mukomuko, Aprin Sialoho, S.Hut, tak menampik adanya kebun sawit di kawasan hutan produksi terbatas (HPT). Ia mengakui sudah pernah dipanggil Polda Bengkulu untuk memberikan klarifikasi.
“Memang ada kebun sawit luas di HPT Air Ipuh I dan Air Ipuh II. Tapi soal kepemilikan kami tidak tahu, karena tidak ada dokumen sah,” kata Aprin.
Ia menyebut, dalam proses penyelidikan, polisi juga memanggil pihak DPRD Mukomuko dan pengusaha ternama di Kecamatan Penarik. Namun, hingga kini belum ada langkah tegas berupa penyitaan lahan atau penetapan tersangka.
Jual-Beli Lahan Hutan, Mafia Bermain Terang-Terangan
Tak hanya alih fungsi hutan, praktik jual-beli lahan di kawasan hutan juga marak terjadi di Mukomuko. Warga maupun spekulan tanah memperdagangkan lahan yang sejatinya milik negara, dengan modus memberikan surat keterangan asal-asalan.
Fenomena ini jelas melanggar Pasal 94 UU 18/2013, yang menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan, menguasai, atau memiliki hasil perusakan hutan dapat dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp10 miliar.”
Data Hutan yang Sudah “Hilang”
Berdasarkan catatan, Mukomuko memiliki kawasan hutan yang luasannya fantastis. Antara lain:
HP Air Rami: 5.068 Ha
HP Air Teramang: 4.780 Ha
HP Air Dikit: 2.260 Ha
HPT Air Ipuh I: 22.260 Ha
HPT Air Ipuh II: 16.748 Ha
HPT Air Manjunto: 25.970 Ha
HPK Air Manjunto: 2.891 Ha
Lebih dari separuh kawasan tersebut kini berubah wajah menjadi kebun sawit. Nama-nama elit politik dan pengusaha bahkan disebut-sebut memiliki ratusan hektare lahan di sana, meski tak satu pun berani mengakuinya.
Rakyat Menunggu Nyali Penegak Hukum
Rakyat Mukomuko menunggu langkah berani aparat untuk membongkar mafia sawit dan hutan ini. Jika tidak, negara akan terus dirugikan, lingkungan makin rusak, dan rakyatlah yang menanggung akibatnya.
“Kalau aparat serius, mafia hutan di Mukomuko bisa diberantas. Tinggal kemauan dan nyali. Kalau tidak, sejarah akan mencatat aparat ikut jadi bagian dari perusakan hutan,” pungkas Muslim.
Reporter: Bambang. S
Editor: Agus. A