wordpers.id – Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) mengadakan Webinar Halal Bihalal dengan mengambil tema “Apa kabar merdeka belajar?”
Halal Bihalal ini turut mengundang Drs. Abdul Hakam Naja M.Si (ketua umu PB PII 1995-1998), Abdi Rahmat, M.Si (Ketua Umum PB PII 2000-2020) dan Randi Muchariman S.IP, M.A (Ketua Umum PB PII 2013-2015) sebagai narasumber.
Abdul Hakam Naja menjelaskan bahwa jika melihat realitas pendidikan akan selalu dihadapkan pada pilihan strategis. Pergantian menteri selalu ada juga pergantian kebijakan.
“Jika melihat realitas pendidikan, kita selalu dihadapkan pada pilihan strategis. Guyon waton kata orang jawa, atau bercanda tetapi serius, ganti menteri dan kebijakan selalu menjadi problem. Sekarang, Sekarang dek Nadiem itu membuat kebijakan Merdeka Belajar.” Kata Hakam Naja, Ahad (14/6).
Hakam Naja menjelaskan kilas balik, pada 1957 persaingan antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. “Ketika itu,Uni Soviet membuat Sputnik II yang tercatat sebagai pesawat tanpa awak pertama yang berhasil mengorbit bumi pada tahun 1957. Setelah Perang Dunia II, ketika AS menjadi negara pemenang atas Uni Soviet. Hebatnya Uni Soviet tidak berhenti pada peluncuran pesawat tanpa awak, tapi juga manusia ke luar angkasa.”
Hakam Naja melanjutkan, AS mendidih, tetapi amerika tidak tinggal diam, dalam penggambarannya ia mengatakan “kami tidak hanya meluncurkan manusia keluar angkasa, tapi manusia yang mendarat ke bulan dan itu berlanjut pasca kenedi meninggal. Jadi Amerika mengubah strategi pendidikan dan menganilisa secara komprehensif terkait pendidikan mereka. Bahkan sekarang China dengan teknologi 5G-nya juga diperangi oleh AS.”
Oleh karena itu, menurut Hakam Naja, Indonesia harus bisa mengambil pelajaran dari sejarah dunia.
“Kita harusnya bisa mengambil kebijakan strategis. Kalau kita ambil pelajaran dari konsep belajar merdeka, kita tampaknya harus siap menghadapi persaingan bebas. Khawatirnya saya, kita akan menghadapi teori Seleksi Alam Charles Darwin, yang bisa eksis, yang bisa unggul dan mengakomodasi saja yang bisa bertahan.” Imbuhnya.
Menurutnya, pemerintah dan masyarakat harus bisa melihat secara komprehensif apakah pemerintah sudah mengacu kesana. “Kalau pemerintah bisa meninjau kebijakan secara langsung, kita tampaknya lebih melihat lebih matang.”
Hakam Naja juga menyoroti perdebatan tentang penghapusan Ujian Nasional (UN) yang merupakan kebijakan Kemendikbud. Menurutnya, perdebatan mengenai UN selalu ada.
“Jika kita melihat kebijakan UN, perdebatan tentang UN itu selalu ada. Bahkan ranah perdebatannya sangat kental dan sangat politis keputusannya. Pertanyaannya, apakah menghapus UN itu bisa mendokngkrak pendidikan kita?” tanya Hakam Naja.
Hakam Naja menyoriti Findlandia yang selalu menjadi contoh dalam dunia pendidikan, tetapi kultur pendidikan disana jauh berbeda dengan kultur di Indonesia.
“Bahkan jika, Kita melihat data PISA, kita melihat negara-negara yang menerapkan UN malah menjadi negara yang memiliki rangking tinggi. Apakah dengan menghapus UN bisa mendongkrak pendidikan kita? Disparitas, kualitas kita jurangnya sangat jauh, sangat dalam.” tambah Hakam Naja lagi.
Bahkan selama pandemic Covid19, menurut Hakam Naja kebijakan belajar dari rumah masih ada yang kesulitan, “bagaimana belajar dari Rumah ini efektif? Sedangkan yang diluar sana masih ada yang harus berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk belajar, ini faktanya.”
Hakam Naja mendorong PB PII agar berkontribusi memberikan konsep pendidikan. “PB PII yang levelnya setingkat nasional harus bisa memberikan konsep ke menteri pendidikan. Jangan sampai merdeka belajar ini menjadi pertarungan yang melebar. Kita harus asertif dan temui orang-orang yang pro dan kontra untuk mengkaji konsep pendidikan ini. Jangan sampai kita hanya mengeluarkan jargon saja tapi tidak kritis terhadap isi kebijakannya.”
Hakam Naja memberikan langkah-langkah yang harus dijalankan untuk mempersiapkan bangsa dalam menghadapi persoalan pendidikan di kancah global.
“Saya kira harus ada langkah-langkah dalam mempersiapkan bangsa kita ke depan setelah menghadapi persoalan di kancah global ini. Pertama, kita harus kembali ke jati diri (karakter kita).” Ungkap Hakam Naja.
Persoalan Pancasila ini menurut Hakam Naja harus dituntaskan, “kalau Pancasila yang menjadi jati diri kita tidak selesai, ini bakal ribut terus di dalam dan kita akan tertinggal oleh bangsa bangsa lain.”
“Kedua, kita pada saat seperti ini kita harus menyatukan visi. Seringkali sebuah bangsa itu ketika dalam persimpangan kita tidak tau harus kemana, kita dulu pernah mencanangkan politik bebas aktif, gerakan non-blok, tapi saya kira harus ada visi, pimpinan harus memberikan kejelasan visi untuk memajukan bangsa. Maka rumuskan Visi.” Jelas hakam Naja.
Ketiga menurut Hakam Naja yang tidak kalah penting, “kita bersama-sama harus memperkuat kepemimpinan, kalau ada komitmen dan visi yang sama, tahun 2030 ataupun 2045 kita tetap harus memiliki komitmen yang sama.” bebernya.
Hakam Naja juga berpesan agar PB PII tetap menjaga independensi kepada siapapun, termasuk pada keluarga besar PII maupun pemerintah. “Hal itu sangat penting agar kita bisa melewati masa yang penting, melaju menjadi bangsa yang kuat dan berkompetisi dalam kancah global. Terakhir, kuncinya harus dibangun oleh komitmen, visi dan leadership yang matang.” pungkas Hakam Naja. (Rls/Kanigoronewsline)