Bengkulu, Word Pers Indonesia — Gelombang skandal korupsi dan fraud di dunia perbankan Bengkulu berbuntut panjang. Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bengkulu menegaskan akan membawa persoalan ini ke tingkat pusat. Ketua LHKP Muhammadiyah Bengkulu, Herwan Saleh, memastikan pihaknya akan melaporkan kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bengkulu kepada Dewan Etik OJK RI dan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Langkah ini, menurut Herwan, merupakan respons atas gagalnya deteksi dini OJK Bengkulu dalam mengantisipasi penyimpangan yang kemudian justru diungkap aparat hukum.
“Banyaknya skandal korupsi perbankan ini menunjukkan OJK Bengkulu gagal. Alarm peringatan dini mereka tidak berbunyi atau mungkin sengaja didiamkan? Karena itu, kami akan lapor ke Dewan Etik untuk mengevaluasi integritas pengawasnya, dan ke Menkeu Purbaya agar ada atensi khusus,” tegas Herwan, Kamis (4/12).
Menurut Herwan, rentetan kasus hukum yang menyeret sejumlah oknum perbankan menunjukkan ketimpangan serius dalam sistem pengawasan OJK Bengkulu. Ia menegaskan bahwa seharusnya OJK menjadi lembaga paling awal yang mendeteksi penyimpangan di sektor keuangan.
“Yang membongkar itu penegak hukum, bukan OJK. Ini aneh. Fungsi audit internal dan pengawasan berkala seperti mati suri,” ujarnya.
LHKP Muhammadiyah menekankan bahwa lemahnya pengawasan dapat berdampak fatal terhadap kepercayaan publik terhadap sektor perbankan, dan karena itu evaluasi menyeluruh terhadap jajaran pimpinan OJK Bengkulu menjadi sangat penting.
“Kita tidak ingin masyarakat takut menyimpan uang di bank hanya karena pengawasnya tidak kompeten. Harus ada tanggung jawab moral dan etik dari regulator ketika bank yang diawasinya justru jadi sarang korupsi,” tegas Herwan.
Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Universitas Prof. Dr. Hazairin, S.H. (Unihaz), Rendra Edwar Fransisko, menilai skandal perbankan yang berulang mengindikasikan adanya cacat struktural dalam fungsi supervisi OJK.
“Rentetan kasus ini menunjukkan bahwa fungsi pengawasan OJK tidak dijalankan secara optimal sesuai kewenangan atribusi Undang-Undang. Ketika pelanggaran dengan pola serupa terus berulang, terdapat dugaan kuat adanya kelalaian pengawasan,” kata Rendra.
Ia menegaskan bahwa OJK seharusnya tidak hanya bertindak sebagai pengamat.
“OJK tidak boleh hanya menjadi observator. Otoritas undang-undang mensyaratkan tindakan konkret, tegas, dan proporsional,” tegasnya.
Rendra juga mengkritisi sanksi administratif OJK yang dianggapnya tidak memberikan efek jera, sehingga memicu moral hazard di kalangan oknum bankir.
“Setiap temuan yang mengandung unsur pidana wajib dilimpahkan kepada aparat penegak hukum. Itu untuk memastikan efek jera dan kepastian hukum,” tambahnya.
Menurut Rendra, indikator kegagalan pengawasan yang menghasilkan kerugian finansial pada nasabah menjadi bukti bahwa OJK belum menjalankan kewajiban perlindungan konsumen sebagaimana amanat regulasi keuangan.
Ia meminta adanya reformasi total, mulai dari manajemen risiko, transparansi, hingga pengetatan sistem monitoring internal.
“Setiap kegagalan perbankan pada akhirnya merugikan masyarakat. OJK wajib hadir melakukan perlindungan hukum preventif dan represif, bukan sekadar mencatat ketika kerugian sudah terjadi,” tutupnya.
Editor: Anasril
