Cinta Fatmawati, Cinta Yang Menjiwai Hati Rakyat Indonesia

Wordpres.id, Bengkulu – Monumen ibu negara Fatmawati Soekarno yang akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu (5/5/2020) di Simpang Lima Ratu Samban. Monumen ibu Fatmawati Soekarno ini dibuat pertamakalinya di Indonesia bahkan di dunia.

Pembangunan Monumen yang dibiayai oleh Konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut dirancang dengan kemiripan seperti poto ibu Fatmawati sedang menjahit bendera pusaka merah putih.

Dengan adanya patung tersebut nanti masyarakat dan pengunjung ke kota Bengkulu bisa tahu bagaimana proses penjahitan bendera merah putih dan wajah tokoh ibu negara Fatmawati sebagai ibu negara pendiri NKRI.

Nah, mari kita sama sama mengingat dan mengenang Fatmawati Soekarno sebagai Ibu Republik Indonesia. Memperingati Hari lahir Ibu Negara setiap 05 Februari, momen spesial untuk menunjukkan rasa cinta yang lebih mendalam kepada Ibu Fatmawati,

Momen Hari kelahiran juga dapat kita maknai untuk mengenang “Ibu-ibu” yang turut berjuang mendirikan republik ini. Salah seorang Ibu Republik itu adalah Fatmawati.

Barangkali, generasi zaman kini sekadar ingat yang biasa-biasa saja tentang ibu negara pertama republik ini. Fatmawati Soekarno, penjahit pertama bendera Sang Saka Merah Putih.

Berikut ini marilah kita mengulang kisah tentang sosok Bunda Republik ini. Fatmawati adalah putri dari sejoli aktivis Muhammadiyah, Hassan Din dan Siti Chadidjah.

Hassan Din merupakan konsul pertama yang mendirikan ormas keagamaan Muhammadiyah di Bengkulu. Hassan Din berperanserta dalam arus besar zaman pergerakan nasional yang di akhir tahun 1920-an telah tersebar sampai ke pelosok-pelosok tanah air.

Di Bengkulu, Hassan Din mempelopori pendirian Muhammadiyah dan kemudian menjadi salah satu pimpinan.Fatmawati tumbuh besar di zaman yang payah. Akan tetapi, zaman susah yang harus dialami Fatmawati kecil bukan hanya lantaran tekanan ekonomi global, melainkan karena tindakan semena-mena pemerintah kolonial Belanda yang harus diterima oleh sang ayah.

Tentu saja, Fatmawati kecil belum dapat memahami dan merasakan denyut pergerakan kebangsaan kala itu. Tapi kegetiran hidup sudah dapat dirasakannya.

Menuju merdeka. Singkat kisah, setelah menikah dengan Bung Karno pada tahun 1944, dalam keadaan mengandung anak pertamanya Fatmawati masih sibuk menjahit.

Ceritanya, suatu ketika Fatmawati menerima dua gulungan kain berwarna merah dan putih dari seorang serdadu Jepang. Fatmawati pun menjahit kain tersebut menjadi bendera merah putih dengan tangannya sendiri, karena ia tidak diperbolehkan lagi memakai mesin jahit kaki.

Pada tahun yang sama, Fatmawati melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Muhammad Guntur Soekarno Putra. Selain sibuk mengurus anak pertamanya, Fatmawati tetap mendampingi Bung Karno yang sibuk bersidang di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Fatmawati tampak hadir dan mendampingi Bung Karno dalam rapat tersebut.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadilah peristiwa Rengasdengklok, di mana Bung Karno dan Bung Hatta diculik oleh para pemuda, karena di Jakarta terdengar kabar akan pecah revolusi. Fatmawati juga ikut mendampingi suaminya sekaligus membawa Guntur yang masih bayi. Namun, revolusi yang didengungkan para pemuda itu ternyata tidak terbukti. Sehingga, Bung Karno dan Bung Hatta, serta Fatmawati pun kembali ke Jakarta.

BACA JUGA:  Anggaran Pembangunan Balai Kota Capai 50 Miliar, Walikota Bengkulu Minta Pemangkasan

Pada malam tanggal 17 Agustus 1945, diadakan rapat para anggota BPUPKI yang memutuskan akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang akan dibacakan oleh Bung Karno bersama Bung Hatta di halaman rumah Jl. Pegangsaan Timur, Jakarta.

Saat proklamasi kemerdekaan Indonesia dilangsungkan, Bendera Merah Putih jahitan Fatmawati pun berkibar diiringi lagu Indonesia Raya.

Pada tanggal 19 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dalam sidangnya memilih Bung Karno menjadi Presiden pertama Reublik Indonesia. Dan Fatmawati secara resmi menjadi Ibu Negara Republik Indonesia yang pertama Teladan bangsa.

Saat mendampingi Bung Karno sebagai presiden, penampilan Fatmawati tetap sederhana. Ia memberikan teladan yang baik bagi kaum perempuan Indonesia saat itu, baik dalam bersikap, bertingkah laku maupun dalam berpakaian. Fatmawati selalu memakai kerudung yang menjadi ciri khasnya. Bung Karno selalu memujinya.

Fatmawati ramah dan mudah bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat. Di tengah suasana revolusi yang mencekam, Fatmawati juga sering mengikuti kunjungan Presiden Soekarno ke berbagai wilayah untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda. Di antaranya, kunjungan ke Garut, Tasikmalaya, Cirebon, dan Malang.

Pada tahun 1950, Fatmawati mendampingi kunjungan pertama kepala negara Indonesia ke luar negeri. Ketika itulah, Fatmawati mendapat pengalaman pertama melakukan perjalanan kenegaraan ke luar negeri yaitu ke India, Pakistan, dan Burma. Selain menjalankan peran sebagai ibu negara, Fatmawati aktif dalam kegiatan sosial, pemberantasan buta huruf, juga mendorong kegiatan kaum perempuan dalam pendidikan dan ekonomi.

Pada akhir tahun 1965, situasi politik di Indonesia sangat riuh. Lima tahun kemudian, tepatnya pada 21 Juni 1970, Bung Karno wafat masih dalam keadaan sebagai tahanan rumah. Fatmawati sangat terpukul mendengar kabar itu. Ketika permohonannya agar jenazah Bung Karno disemayamkan di Jalan Sriwijaya ditolak, Fatmawati hanya bisa pasrah.

Sesuai dengan kesepakatan semua pihak, peti jenazah Bung Karno tidak ditutup sampai batas akhir pukul 24.00 WIB. Namun, sampai detik-detik terakhir, Fatmawati tak kunjung datang. Fatmawati mengirimkan karangan bunga bertuliskan kalimat pendek penuh makna: “Cintamu yang menjiwai hati rakyat, cinta Fat”.

Begitulah sekelumit cerita dari berbagai kisah tentang Fatmawati Soekarno. Semoga sekilas kisah ini dapat menjadi cermin bagi kita tentang perjuangan dan teladan sosok Bunda Republik ini.

Nyatalah bahwa cinta Fatmawati adalah cinta yang luhur, mulia, gemilang, dan bermartabat. Sosok Bunda Republik yang memiliki keunggulan karakter, yang kini, seolah terasa hilang dalam diri sebagian elite politik kita, yang tak mencintai dan menjiwai hati rakyat Indonesia. (David Krisna Alka Peneliti Maarif Institute dan Research Associate The Indonesian Institute) (k2)