Jakarta, Wordpers.id – Dirjen AHU (Administrasi Hukum Umum) Kementerian Hukum, Cahyo Rahadian Muzhar diduga melakukan pelanggaran hukum dengan terlibat dalam permufakatan rapi antara Dirjen AHU Kementerian Hukum, Para Pembina Yayasan versi Kemendikbud, dan Notaris Andi Sona Ramadhini tampak dalam upaya penggantian data Akta Yayasan Trisakti. Sebelumnya, terdaftar Akta 22 tahun 2005, sekarang sudah berganti Akta 03 tahun 2022 yang isinya jauh berbeda dengan Akta tahun 2005. Akta 2005 adakah Akta Yayasan Trisakti Anak Agung, sedangkan Akta 2023 adalah Akta Yayasan Trisakti hasil rampokan.
Demikian disampaikan Nugraha Bratakusumah penasihat hukum pembina Yayasan Trisakti Prof Dr Anak Agung Gde Agung di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, Rabu (30/10/2024).
Kolusi yang diduga dilakukan oleh Dirjen AHU Kementerian Hukum RI, Cahyo Rahadian Muzhar kata Nugraha adalah memblokir data Akta Yayasan di Kementerian semaunya saja. “Ini dengan mudah bisa dia lakukan karena Cahyo duduk sebagai Dirjen AHU Kementerian Hukum duduk juga sebagai anggota Pembina Yayasan Trisaksti hasil rampokan. Ini jelas kolusi,” katanya.
Nugraha menjelaskan bahwa SABH (sistem administrasi badan hukum) adalah sebuah sistem yang bisa dibuka oleh notaris yang bisa mengubah Akta Perusahaan atau Yayasan. Notaris bisa mengubah dalam SABH. Ketika SABH digembok, notaris mana pun tidak bisa melakukan perubahan. Sementara yang punya wewenang untuk buka tutup gembok adalah Dirjen AHU yang saat ini dijabat oleh Cahyo Rahadian Muzhar.
Oleh karena itu lanjut Nugraha, mereka bisa mengubah Akta mereka, sementara Akta Yayasan kami tidak pernah bisa dibuka.
“Mereka memakai jasa notaris Andi Sona Ramadhini, yang terkesan sangat sakti. Dia bisa membuka SABH yang sedang diblokir lalu mengubah menjadi Akta 03 dan sekarang ada perubahan lagi dalam Akta tersebut, dimana Dirjen Dikti Kemendikbud dijadikan Ketua Pembina lalu mantan Dirjen Dikti Kemendikbud masuk menjadi anggota Pembina. Jadi ini bisa dibilang permufakatan antara notaris, Dirjen AHU dengan para Pembina yang telah batal oleh MA. Mereka bermufakat untuk mengubah-ubah Akta. Ini jelas bertentangan dengan peraturan,” tegasnya.
Adakah sanksi untuk mereka? Sebetulnya kata Nugraha, dalam konteks AUPB (Asas Umum Pemerintahan yang Baik), jelas mereka sangat melanggar aturan, terbukti dari PTUN yang sudah dibatalkan, yang artinya mereka melanggar dan tidak punya wewenang apapun.
“Dalam konteks hukum pidana, sebetulnya ini bagian dari kolusi dan nepotisme, yakni dia menggunakan jabatan untuk kepentingan diri sendiri,” paparnya.
Yayasan Trisakti adalah yayasan yang besar, yayasan yang berdiri hampir seusia republik ini. Tiba-tiba diambilalih atau dirampok oleh pejabat negara tanpa basa basi. Ibarat sebuah bangunan lalu ada sebuah perusahaan yang maju pesat, tiba-tiba Akta perusahaan diganti oleh orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. “Apakah cara seperti ini bisa dibenarkan,” tanya Nugraha.
Kasus ini kata Nugraha penting sekali diketahui publik, agar bisa menjadi pelajaran. Pelajaran untuk pejabat agar tidak semena-mena ketika memegang jabatan. Pelajaran bagi masyaraat agar tidak menimpa mereka.
“Bayangkan kalau hal ini tidak dilawan, maka kesewenang-wenangan akan terus terjadi. Ini akan menjadi preseden yang sangat buruk. Pejabat nanti akan dengan mudah merampok perguruan tinggi swasta yang dianggap tajir untuk dikuasai tanpa kulo nuwun. Ini bisa saja menimpa misalnya Binus, Prasetya Mulya dan kampus tajir lainnya. Mereka bisa dirampok dengan cara yang ugal-ugalan. Ini bukan mengada-ada, bukan framing. Saya bicara berdasarkan fakta dan data serta putusan dan proses pengadilan yang sudah inkracht,” tegasnya.
Untuk membuktikan pendapatnya, Nugraha siap berdebat dengan siapapun untuk memastikan siapa yang salah dan siapa yang ngawur.
“Saya sangat terbuka apabila pihak mereka mengajak diskusi di area publik. Saya siap dan terbuka. Ini negara hukum, maksudnya ada aturan yang masih wajar dilanggar, ada yang tidak. Kalaupun ada narasi yang mengatakan bahwa Universitas Trisakti adalah kampus yang didirikan oleh pemerintah, tinggal duduk bareng, kita bicara, masuklah para Pembina ke dalam Yayasan Trisakti yang secara aturan benar. Kan tidak bisa sekonyong-konyong diganti semua,” tegasnya.
Yang terjadi selama ini kata Nugraha, mereka membuat framing bahwa Yayasan Trisaktilah yang salah. “Akhir-akhir ini mereka selalu menggembar-gemborkan ke publik bahwa kita mau ambilalih. Lah, faktanya memang Prof Anak Agung kan tercatat di yayasan, di profil yayasan juga ada, semua tercatat dengan baik sejak lama,” paparnya.
Yang jelas di Kemendikbud perkara ini sudah selesai, bahwa Yayasan Trisakti menang dan putusan MA sudah mengikat. Yang harus dilakukan Kemendikbud harus secara sukarela mematuhi putusan Mahkamah Agung mencabut Kepmen 330.
“Saya berharap Mendikbud baru Pak Satryo Soemantri Brodjonegoro mencabut SK Mendikbudristek, memulihkan nama baik Prof Anak Agung, menyatakan tidak sah keputusan Menteri 330 tersebut,” tegasnya.
Namun demikian, apabila Menteri baru tidak mau melakukan, pihak Yayasan Trisakti akan melakukan eksekusi ke pengadilan, akan melakukan anmaning. “Yang jelak SK 330 Kemendikbud sudah tidak berlaku,” tegasnya.
Sementara dari sisi Kementerian Hukum, Nugraha meyakini tidak mungkin mereka tidak tahu putusan ini, sebab seluruh data ada di sana dan orangnya juga di sana.
“Saya berharap Dirjen AHU Kementerian Hukum segera mencabut Akta 03 tahun 2023 dan mengembalikan Akta 22 tahun 2005 yang mana memberikan akses kepada para Pembina dalam hal ini Prof Anak Agung untuk melakukan perubahan-perubahan pada Akta tersebut,” tegasnya.
Nugraha menegaskan seandainya mereka tidak mau melakukan putusan Mahkamah Agung, maka jelas ini merupakan pembangkangan terhadap putusan pengadilan.
Kemelut di Yayasan Trisakti kata Nugraha, sesungguhnya sudah selesai sejak lama. Namun masyarakat banyak mengira kisruh Yayasan Trisakti belum selesai, padahal tidak. Memang dulu pernah bersengketa antara Yayasan Trisakti dengan Rektor Universias Trisakti, Thoby Mutis, tetapi sudah selesai, bahkan sejak saat itu Yayasan Trisakti melakukan aktivitas normal dengan baik dan lancar.
Kekisruhan datang ketika tiba-tiba Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim mengeluarkan SK Menteri No. 330/P/2022 pada 24 Agustus 2022 yang intinya menggarong Yayasan Trisakti sudah berdiri sejak lama.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Trisakti Anak Agung Gde Agung menuturkan bahwa seharusnya Kepmen tersebut tidak bisa dikeluarkan karena Yayasan Trisakti merupakan badan hukum perdata yang didirikan atas data pendirian sah sejak 1966. Kepmen tersebut dianggap melanggar Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Disebutkan perguruan tinggi swasta hanya bisa dikelola dan dibina oleh yayasan itu sendiri.
“Lagi-lagi melanggar Undang-Undang No.12 Tahun 2012 yang mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh campur aduk dalam permasalahan badan hukum swasta atau universitas swasta. Ini betul-betul merupakan suatu pelanggaran yang sangat radikal menurut saya,” ujar Anak Agung Gde Agung.
Untuk membuktikan kebenaran pendapat Anak Agung, pihaknya melakukan gugatan ke PTUN Jakarta. Dari tingkat PTUN, PT TUN, dan Mahkamah Agung, Yayasan Trisakti menang. Putusannya sudah final dan inkracht, bahkan pemerintah tidak bisa melakukan Peninjauan Kembali sesuai judicial review Mahkamah Konstitusi. Pengadilan memerintahkan Menteri segera mencabut SK Mendikbudristek, memulihkan nama baik Prof Anak Agung Gde Agung, dan menyatakan SK Mendikbud No 330 tidak sah.
“Jadi, untuk Pak Cahyo, bermufakatlah untuk hal-hal yang baik dan benar,?” pungkas Nugraha. (sar).