Mukomuko, Wordpers.id – Program peremajaan (replanting) kelapa sawit di Kecamatan Penarik, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, kini menjadi sorotan tajam. Dugaan penyimpangan mulai dari distribusi bibit ilegal, manipulasi data tanam, hingga potensi dana fiktif menyeruak dalam pelaksanaan replanting oleh Kelompok Tani Mekar Makmur Sejahtera untuk tahun 2023–2024.
Berdasarkan investigasi lapangan dan keterangan sejumlah anggota kelompok, bibit sawit yang dibagikan tidak berasal dari sumber resmi. Banyak pohon dilaporkan mati beberapa bulan setelah ditanam, diduga akibat mutu bibit yang buruk.
“Bibitnya tidak bersertifikat. Bahkan ada yang dijual ke luar kelompok. Ini jelas pelanggaran,” ungkap seorang anggota kelompok yang meminta identitasnya disamarkan karena alasan keamanan.
Tak hanya bibit, pupuk yang disalurkan juga diduga tidak sesuai spesifikasi teknis. Jumlahnya dipotong, dan kualitasnya dipertanyakan.
Lebih jauh, pelaporan progres tanam disebut direkayasa. Sumber lain menyebutkan adanya manipulasi data melalui GPS dan foto dokumentasi. Bahkan proses pencipingan batang sawit—tanda bahwa pohon telah ditanam—juga tidak dilakukan secara menyeluruh.
“Ada lahan yang belum ditanami tapi sudah dilaporkan 100 persen. Pencipingan pun ada yang fiktif,” ujar sumber lain yang juga anggota kelompok.
Laporan lainnya mengungkap dugaan keberadaan lahan fiktif dalam dokumen program. Sejumlah petani juga mengeluhkan keterlambatan pembayaran jasa pengangkutan pupuk dan operasional alat berat, memunculkan dugaan adanya dana siluman atau pemotongan dana yang semestinya langsung masuk ke rekening petani.
Ketua kelompok, berinisial MA, ketika dikonfirmasi membantah seluruh tuduhan. Ia mengklaim bahwa semua pelaksanaan teknis dilakukan oleh pihak ketiga.
“Kami hanya menerima hasil jadi. Soal bibit, pupuk, pencipingan—itu bukan wewenang kami,” ujar MA singkat, seraya menghindari penjelasan lebih rinci mengenai pengelolaan dana dan pihak-pihak yang disebut sebagai anggota kelompok.
Fenomena ini memantik kekhawatiran akan terjadinya praktik korupsi sistemik dalam program replanting sawit, sebagaimana pernah terjadi di Kabupaten Bengkulu Utara. Kala itu, Kejaksaan Tinggi Bengkulu berhasil mengungkap korupsi dengan total kerugian negara mencapai Rp13 miliar. Para pelaku, termasuk kepala desa dan ketua kelompok tani, divonis 4 hingga 8 tahun penjara.
Melihat kemiripan pola dugaan pelanggaran di Kecamatan Penarik, berbagai kalangan mendesak aparat penegak hukum turun tangan. Keterlibatan Kejaksaan, Kepolisian, BPK, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai sangat penting untuk mengungkap fakta di balik program yang seharusnya menyejahterakan petani.
“Jangan sampai program replanting yang tujuannya baik justru menjadi ladang bancakan oknum tak bertanggung jawab. Penegak hukum harus turun,” ujar aktivis agraria lokal, Rudiansyah.
Masyarakat berharap, audit menyeluruh segera dilakukan agar kasus ini tidak menguap begitu saja, sebagaimana dana miliaran rupiah yang kini jejaknya mulai dipertanyakan.
Reporter: Bbg