Oleh: Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah
SEJARAWAN Belanda Gerry Van Klinken suatu hari mengeluhkan langkanya koleksi koran-koran nasional di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Termasuk soal sangat minimnya dokumentasi mengenai pelaksanaan Pemilu di Indonesia.
Koran-koran yang mencakup kurun waktu sejak zaman VOC, Hindia Belanda, era kemerdekaan, hingga 1950-an dan 1960-an itu menurutnya sulit ditemukan. Selain karena sedikitnya jumlah koleksi yang tersimpan, arsip koran-koran yang ada pun kondisinya umumnya sudah sangat memprihatinkan, dan banyak yang belum didigitalisasi.
Arsip-arsip suratkabar yang terbit pada masa lalu merupakan sumber tertulis sejarah yang sangat penting dan diperlukan, bukan hanya oleh para sejarawan, melainkan juga oleh umum. Termasuk para wartawan.
Dalam konteks penelitian historis suratkabar adalah sumber primer yang memungkinkan peneliti dapat sedekat mungkin bersentuhan dengan peristiwa yang sedang diteliti.
Dengan sumber primer sejarawan dapat terbantu untuk memahami masa lalu dan menggunakannya sebagai bukti sejarah.
Karena itu di kalangan sejarawan berlaku ungkapan:
“When newspaper archives crumble, history dies. Ketika arsip surat kabar hancur, sejarah mati …”
Salah satu kelangkaan terjadi pada dokumen mengenai pelaksanaan Pemilu 1955.
Dokumen berupa suratkabar mengenai pesta demokrasi yang penyelenggaraannya disebut-sebut paling demokratis ini ternyata sangat minim. Sehingga misalnya memunculkan dugaan mungkin sengaja digelapkan oleh rezim Orde Baru.
Pada era 1955 hampir semua surat kabar berafiliasi dengan partai politik. Seperti Duta Masyarakat (NU), Pedoman (PSI), Suluh Indonesia (PNI),
Harian Abadi (Masjumi), hingga Harian Rakjat (PKI). Kalau pun tidak resmi berafiliasi, ada pula surat kabar-surat kabar lokal yang memiliki hubungan sangat dekat dengan partai politik.
Kini di era digitalisasi kelangkaan dokumen primer telah mampu diatasi, sehingga risiko berupa kerusakan fisik dokumen, terutama berkaitan dengan kronik Pemilu, dapat disimpan dan dikelola secara baik serta aman.
Baru-baru ini JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia) telah dengan sendirinya mengambil peran sebagai kronikel Pemilu. Organisasi jaringan media online se-Indonesia berbasis digital ini boleh dikatakan merupakan kronikel (pencatat rangkaian kejadian atau peristiwa) Pemilu 2024 yang prosesnya kini sedang berlangsung.
Peran ini tersirat melalui nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) tentang kepemiluan yang dilakukan antara Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Kerja sama strategis ini penandatanganannya dilakukan langsung oleh Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari, dan Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa, di Jakarta, 1 Agustus lalu.
Berkas MoU ini nantinya akan diikuti oleh seluruh konstituen JMSI di seluruh Indonesia.
Menurut Teguh Santosa, MoU dapat menjadi payung bagi kegiatan-kegiatan kepemiluan yang digelar pengurus JMSI di daerah. Sebab, MoU ini adalah bagian dari keinginan kuat masyarakat pers nasional mengawal Pemilu 2024 agar menjadi arena konstestasi gagasan-gagasan besar demi kemajuan bangsa dan negara.
Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari, juga menaruh harapan besar kepada JMSI agar proaktif mengedukasi masyarakat untuk demokrasi yang semakin kuat. Sebagai organisasi pers profesional dan akuntabel JMSI, menurutnya, harus mengambil peran tersebut pada Pemilu 2024 seiring dengan derasnya arus informasi dewasa ini.
Salah satu peran yang tersirat itu tentunya adalah sebagai kronikel. Pencatat rangkaian peristiwa sejarah, yakni Pemilu 2024, melalui pemberitaan-pemberitaan media online yang merupakan konstituen JMSI yang secara otomatis terdokumentasikan secara digital.
Penulis adalah anggota Dewan Pakar Jaringan Media Siber Indonesia