Opini Publik: Vox Populi VD
Polemik berkepanjangan antara PT Riau Agrindo Agung (RAA) dengan masyarakat desa penyangga di Bengkulu Tengah memperlihatkan betapa rapuhnya tata kelola perkebunan kita. Selama hampir dua dekade, perusahaan sawit ini beroperasi tanpa kejelasan Hak Guna Usaha (HGU). Fakta ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan indikasi pelanggaran hukum serius.
Pemerintah Daerah Lemah dan Reaktif
Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah melalui Pj Sekda hanya bisa bersuara normatif: “PT RAA harus segera menuntaskan persoalan HGU.” Pernyataan ini terdengar kosong, sebab selama bertahun-tahun Pemkab membiarkan perusahaan beroperasi tanpa dasar hukum yang jelas. Ketika masyarakat sudah sampai pada titik frustrasi dengan aksi pemortalan jalan, barulah Pemkab bersuara.
Inilah bukti nyata lemahnya pengawasan daerah. Pemkab bukan pelindung rakyat, melainkan penonton setia dari pelanggaran investasi.
DPRD: Aktif Tapi Tak Tegas
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bengkulu Tengah memang lebih terlihat bekerja. Mereka mendampingi warga hingga ke Kementerian Investasi/BKPM, bahkan akan lanjut ke Kementerian Pertanian dan ATR/BPN. Transparansi ini patut diapresiasi.
Namun, DPRD berhenti pada diplomasi. Mereka tidak mengeluarkan sikap politik yang tegas: menghentikan operasional PT RAA sampai izin HGU sah. Padahal, itulah fungsi pengawasan dan representasi politik mereka. Tanpa ketegasan, DPRD hanya menjadi juru bicara, bukan penjaga kedaulatan rakyat atas tanahnya.
PT RAA: Investasi Ilegal Berkedok Resmi
Dalih PT RAA bahwa mereka memiliki PKKPR dan izin resmi hanyalah kamuflase. PKKPR hanyalah izin lokasi, bukan pengganti HGU. Tanpa HGU, operasional PT RAA tidak sah.
Dasar hukumnya sangat jelas:
Pasal 28 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan:
“Perusahaan perkebunan yang mengusahakan tanah dengan luasan tertentu wajib memiliki izin usaha perkebunan dan hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha.”
Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA):
“Hak Guna Usaha diberikan untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun, dan dapat diperpanjang.”
Pasal 34 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai:
“Hak Guna Usaha hapus apabila jangka waktu berakhir, dilepaskan oleh pemegang haknya, dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, ditelantarkan, atau dicabut untuk kepentingan umum.”
Dengan kata lain, PT RAA selama ini beroperasi secara ilegal, karena tidak mengantongi syarat pokok yang diatur undang-undang.
Strategi Bayangan: Kompensasi Kepala Desa
Sebelum kewajiban 20% kebun plasma untuk masyarakat dijalankan sebagaimana diatur dalam UU Perkebunan, PT RAA punya cara sendiri untuk meredam gejolak. Informasi yang beredar menyebut, sebanyak 25 kepala desa penyangga diberikan kompensasi Rp1 juta per bulan.
Langkah ini adalah strategi untuk menjaga posisi perusahaan tetap aman di lapangan. Kepala desa dibuat bergantung secara finansial, sehingga suara kritis dari akar rumput melemah. Namun, kompensasi itu jelas tidak bisa menggantikan kewajiban hukum berupa kebun plasma, yang mestinya dikelola masyarakat sebagai bagian dari keadilan distribusi hasil perkebunan.
Bayang-Bayang Politik dan Militer
Informasi yang beredar di tengah masyarakat menyebut, mantan Bupati Bengkulu Tengah, Ferry Ramli, diduga memiliki saham di PT RAA. Keterlibatan tokoh politik lokal ini patut dicermati, sebab bisa menjelaskan mengapa Pemkab begitu pasif menghadapi pelanggaran serius perusahaan.
Lebih jauh lagi, ada juga informasi mengenai seorang jenderal purnawirawan yang disebut-sebut memback-up PT RAA. Dugaan adanya intervensi militer dan politik inilah yang membuat polemik PT RAA semakin keruh dan sulit diselesaikan secara hukum. Jika benar, ini bukan sekadar konflik agraria, melainkan persekongkolan elit yang merugikan rakyat Bengkulu Tengah dan Bengkulu Utara.
Gubernur Harus Turun Tangan
Penting dicatat, wilayah operasional PT RAA meliputi dua kabupaten: Bengkulu Tengah dan Bengkulu Utara. Artinya, penyelesaian polemik ini bukan hanya kewenangan bupati, tetapi juga tanggung jawab Gubernur Bengkulu, Helmi Hasan.
Dasar hukum yang mengatur, Pasal 14 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah:
“Urusan pemerintahan konkuren yang berskala provinsi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah provinsi.”
Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 (pembagian urusan pemerintahan bidang perkebunan):
Jika perkebunan melintasi lebih dari satu kabupaten/kota, maka kewenangan perizinan dan pengawasan berada di tingkat provinsi.
Dengan demikian, Gubernur Helmi Hasan tidak bisa diam. Sebagai kepala daerah provinsi, ia wajib memastikan legalitas PT RAA, menertibkan izin, dan melindungi masyarakat desa penyangga.
Rekomendasi: Negara Harus Tegas
Jika PT RAA tidak bisa memenuhi syarat HGU atau luas lahannya tidak sesuai ketentuan:
1. Lahan harus dikembalikan kepada negara, lalu dilelang atau dialihkan sesuai mekanisme UUPA 1960 dan PP No. 40/1996.
2. ATR/BPN dan Kementerian Pertanian harus segera turun untuk verifikasi lapangan.
3. Pemkab Bengkulu Tengah dan Bengkulu Utara, bersama Gubernur Bengkulu Helmi Hasan, harus mengeluarkan rekomendasi penghentian sementara aktivitas PT RAA.
4. Jika terbukti melanggar, izin usaha perkebunan PT RAA dicabut, dan lahan bisa dialihkan dalam skema reforma agraria untuk masyarakat desa penyangga.
Sebagai Penutup, Kasus PT RAA bukan lagi sekadar persoalan administrasi, melainkan konspirasi antara korporasi, elit politik, kekuatan militer, dan permainan politik desa yang mengabaikan hukum serta menindas rakyat. Karena perusahaan beroperasi lintas kabupaten, Gubernur Helmi Hasan wajib turun tangan sesuai UU 23/2014.
Jika negara terus membiarkan investasi ilegal ini berjalan, maka yang dikhianati bukan hanya aturan hukum, melainkan martabat rakyat Bengkulu Tengah dan Bengkulu Utara.
