Oleh: Vox Populi Vox Dei
Rumah Sakit Khusus Jiwa dan Ketergantungan Obat (RSJKO) Soeprapto Bengkulu mestinya menjadi benteng terakhir bagi warga yang rapuh mentalnya. Tapi realitas di balik tembok rumah sakit ini justru lebih menakutkan: jalur pungutan liar, calo politik, rekrutmen honorer siluman — bahkan diduga menjadi mesin penopang ongkos Pilkada 2024.
Alih-alih merawat jiwa rakyat, birokrasi di belakangnya kecanduan “narkoba” bernama uang pelicin. Gratis di loket, busuk di lorong belakang.
Dugaan praktik ini pertama kali terendus lewat pengakuan Anatasya Pase, kuasa hukum Samsul Bahri, yang terjerat gratifikasi di PDAM Tirta Hidayah Kota Bengkulu. Dari situ, pola serupa di RSJKO ikut terbongkar.
Presiden LEKRA Bengkulu, Deno Andeska Marlandone, bersuara lantang:
“Kami mendapat informasi ada uang pelicin untuk peserta seleksi agar diluluskan. Ini mencederai transparansi rekrutmen tenaga kesehatan. Kalau Gubernur dan dewan tetap diam, biar rakyat yang bergerak.”
Bocoran terbaru Vox Populi menegaskan: Ratusan tenaga honorer ‘tanpa status’ dipungut 5–10 juta rupiah per orang. Mereka tanpa perlindungan hukum — bisa dipecat kapan saja, diganti wajah baru, pungli diputar ulang. Modus ini diduga menjadi jalur gelap mendulang dana penunjang Pilkada 2024.
Seorang pengunjung RSJKO, yang mendampingi keluarganya berobat, menumpahkan keresahan lewat TikTok Vox Populi:
“Hampir tiap tahun ada honorer baru. Dari mana anggarannya? Kalau mereka masuk-keluar gini aja, artinya cuma jadi sapi perah birokrat.”
Polanya bukan berdiri sendiri. Di Bank Bengkulu, KPK sudah membenarkan ada suap penerimaan pegawai yang terkait ongkos politik Pilkada Rohidin. Di PDAM Tirta Hidayah, jalur rekrutmen PHL (Pegawai Harian Lepas) juga memakai pola yang sama: rekrut, tarik pungli, biayai politik.
Siapa pemainnya?
RRI orang beringin seorang pria, diduga orang dekat manajemen RSJKO, mengatur jalur “siapa masuk, siapa setor”.
Selain itu oknum media & LSM disinyalir ikut terlibat jadi calo, membagi jalur titipan, lalu ada upaya dari PLT direktur RSJKO yang baru seorang perempuan lewat RRr menekan pemberitaan supaya di take down agar jalur pungli tetap steril jauh dari sorotan publik.
Bahkan RRI diduga terang-terangan memaksa redaksi media agar men-take down pemberitaan demo LEKRA, berdalih.
“itu bukan zaman Helmi, jadi tidak relevan.” Padahal fakta pungli tetap hidup, mesin pungli tetap berputar, modal Pilkada tetap mengalir.
Dan bagaimana suara dewan?, Salah satu anggota Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu, yang enggan disebutkan namanya, membenarkan RSJKO berada di bawah pengawasan Komisi IV. Namun saat dimintai tanggapan soal dugaan pungli rekrutmen honorer ini, ia hanya menjawab singkat:
“Tunggu perkembangannya.”katanya singkat
Tunggu sampai kapan?
Sementara pungli berjalan, honorer jadi sapi perah.
Rakyat dibungkam slogan BPJS gratis, tapi mutu pelayanan membusuk.
Birokrasi kecanduan “narkoba” pungli, partai politik mendulang ongkos Pilkada, rakyat dipaksa diam.
Padahal UU No. 25 Tahun 2009 (Pasal 4) dan UU No. 5 Tahun 2014 (Pasal 3) mewajibkan rekrutmen pegawai bersih, objektif, bebas KKN. Siapa pun yang digaji APBD — ASN atau honorer — tunduk pada hukum yang sama.
Realitasnya? Rakyat membayar mahal lewat pelayanan kacau. Honorer dipecat seenaknya, diganti wajah baru, jalur pungli hidup lagi. Politik Pilkada tetap jalan. Birokrasi adiksi amplop, moral busuk, media dibungkam.
Sekali lagi, kata Deno Andeska, “Kalau benar, ini bukan sekadar salah urus. Ini perusak pelayanan publik. Kalau Gubernur dan dewan tak bersihkan, biar rakyat yang bergerak.”
Di republik waras, merawat jiwa rakyat adalah jawab negara. Di republik setengah waras, birokrasi justru membiakkan penyakit mental baru: kecanduan pungli, keracunan moralitas, kebal hukum, dan hobi menekan media.(*)