Oleh: Vox Populi Vox Dei
Saat BBM langka di SPBU, antrean membludak, bahkan pengecer mengambil untung terlalu fantastis, menjual hingga Rp80 ribu perliter, dan rakyat harus menunggu hingga 6 jam hanya untuk 5 liter bensin.
Merespon krisis BBM yang yang menimpa rakyatnya, apa narasi penting yang dikatakan Gubernur Bengkulu Helmi Hasan usai mengecek pipa Pertamina dan pendangkalan Alur Pelabuhan di Pulau Baai?
“Pertamina rugi 500 juta per hari.”
Pernyataan ini tidak hanya menyesakkan, tapi juga melukai logika publik. Di tengah penderitaan rakyat yang terancam lumpuh secara ekonomi dan sosial, justru kerugian BUMN Pertamina yang dijadikan sorotan utama oleh Gubernur Bengkulu
Padahal, rakyat bukan hanya korban,mereka adalah penyumbang tetap pemasukan daerah, setiap kali mereka mengisi BBM.
Setiap Liter BBM, Ada Pajak untuk Pemprov Bengkulu
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) adalah pungutan yang dikenakan setiap kali rakyat membeli BBM.
Secara teknis, benar bahwa konsumen langsung tidak menyetorkan pajak ini sendiri ke kas daerah,
tetapi pajak itu dipungut secara otomatis oleh penyedia BBM seperti Pertamina pada saat penyerahan bahan bakar kepada konsumen.
Artinya:
Setiap kali warga mengisi BBM, mereka sedang membayar PBBKB untuk kas Pemda Bengkulu, tanpa mereka sadari.
Meskipun rakyat harus terpaksa antri di bawah terik, atau beli BBM eceran di luar SPBU yang harganya naik hingga 300%-700%, tetap saja pemasukan kas daerah dari PBBKB tetap mengalir.
Pertanyaannya:
Apakah Pemda Bengkulu pernah menghitung berapa total pajak yang masih mereka terima di tengah kelangkaan ini?
Dan apakah rakyat, yang terus menyumbang ini, pernah benar-benar dibela saat mereka kesulitan mengakses hak dasarnya atas energi?
Rakyat Tetap Bayar, Tapi Tak Pernah Diperhatikan
Bayangkan ironi ini:
Rakyat beli BBM → otomatis bayar PBBKB.
Rakyat antre 5 jam → tetap bayar PBBKB.
Rakyat beli dari pengecer Rp80 ribu perliter → tetap membayar pajak yang jadi pemasukan daerah.
Tapi ketika BBM tak tersedia ataupun terlambat distribusi, tak ada pemimpin yang menyuarakan kerugian rakyat.
Apakah pemungutan itu adil jika tak diimbangi perlindungan?
PBBKB menjadi ironi: rakyat dipungut pajak saat beli BBM, tapi negara dan daerah tak segera hadir saat BBM itu tak ada.
Gubernur Pilih Empati ke Pertamina, Bukan ke Rakyat
Alih-alih bicara soal: kerugian ekonomi rakyat harian, akibat potensi konflik horizontal,:penurunan produktivitas petani, nelayan, dan pedagang kecil,
Gubernur justru lebih dahulu menyuarakan nasib Pertamina. Ini adalah kegagalan sense of crisis dan empati, yang menempatkan rakyat sebagai objek narasi, bukan subjek yang seharusnya dibela.
Penutup: Pajak Kami Mengalir ke Daerah, Tapi Kepedulian Tak Pernah Mengalir Balik
Setiap tetes BBM yang kami beli, kami menyumbang PAD ke kas Daerah lewat Pajak PBBKB.
Kami tak pernah menolak bayar pajak, bahkan tanpa tahu kamipun harus membayarnya.
Tapi saat kami butuh perlindungan, saat SPBU kosong, dan kami kehabisan tenaga, uang, bahkan kesabaran.
Gubernur kami justru lebih fokus mengingatkan rakyat: Pertamina rugi 500 juta perhari. Bukan kami yang rugi, Bukan rakyat yang rugi !!!
