“IUP Habis Sejak 2015–2023, Reklamasi Diduga Tak Dilakukan”
Oleh: Freddy Watania
Puluhan lubang eks tambang batubara yang dibiarkan menganga di Provinsi Bengkulu kini bukan lagi sekadar persoalan lingkungan, melainkan cermin kelambanan negara dalam menegakkan kewajiban pascatambang. Data Genesis Bengkulu mengungkap sedikitnya 40 lubang eks tambang batubara milik perusahaan-perusahaan yang izin usaha pertambangannya telah habis, namun diduga tidak dilakukan reklamasi. Fakta ini menempatkan Satgas/Saber PKH Bengkulu langsung di bawah sorotan publik: mengapa penindakan tak kunjung nyata?
Berdasarkan hasil update identifikasi dan analisa Genesis Bengkulu periode 2025, total luasan lubang eks tambang batubara tersebut mencapai kurang lebih 40 hektare. “Ini hasil identifikasi dan analisa kita (Genesis Bengkulu) periode Desember 2025,” tegas Direktur Genesis Bengkulu, Egi Ade Saputra.
Rincian data menunjukkan skala persoalan yang serius. PT Rekasindo Guriang Tandang tercatat sebagai perusahaan dengan peninggalan lubang terbanyak, yakni 15 lubang atau danau, dengan izin usaha pertambangan berakhir pada 2015. Lokasinya berada di Kabupaten Bengkulu Utara, dengan luas lubang atau danau diperkirakan mencapai 12,24 hektare.
Selanjutnya, PT Ratu Samban Mining meninggalkan 7 lubang atau danau dengan total luasan 12,76 hektare, dengan IUP berakhir pada 2023.
Kemudian PT Cipta Buana Seraya dengan 5 lubang atau danau seluas 3,02 hektare, serta PT Danau Mas Hitam dengan 4 lubang seluas 6,64 hektare.
Sementara itu, perusahaan lain yang juga tercatat memiliki peninggalan lubang eks tambang batubara dengan luasan beragam adalah PT Bara Indah Lestari, PT Bumi Arma Sentosa, PT Bara Mega Quantum, PT Ferto Rejang, serta PT Bara Sirat Unggul Permai. Seluruh perusahaan tersebut memiliki IUP yang berakhir pada periode 2015 hingga 2023, dengan lokasi tambang tersebar di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu Utara, dan Kabupaten Seluma.
Lubang-lubang eks tambang ini bukan sekadar sisa aktivitas ekonomi masa lalu. Genesis Bengkulu menegaskan dampaknya merugikan dan mengancam lingkungan serta keselamatan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi bekas tambang. Risiko bencana alam longsor menjadi ancaman paling nyata yang setiap saat dapat mengintai warga.
Jika seluruh izin usaha pertambangan telah habis sejak 2015 hingga 2023, data lubang tersedia, nama perusahaan jelas, dan ancaman terhadap warga nyata, maka tidak ada alasan logis bagi Satgas/Saber PKH Bengkulu untuk terus bersikap pasif. Kelambanan ini justru memperkuat kesan pembiaran terhadap kewajiban reklamasi pascatambang, seolah pelanggaran lingkungan dapat diredam oleh waktu dan dilupakan oleh negara.
Masuknya nama PT Bara Sirat Unggul Permai ke dalam daftar perusahaan dengan peninggalan lubang eks tambang semakin menegaskan bahwa persoalan ini bukan kasus tunggal, melainkan pola berulang. Negara terlihat hadir saat izin diterbitkan dan eksploitasi berlangsung, namun menghilang ketika tanggung jawab lingkungan harus ditegakkan. Dalam konteks ini, Satgas/Saber PKH bukan sekadar dinilai lamban, tetapi dipertanyakan keberpihakannya: berdiri di sisi keselamatan rakyat atau membiarkan risiko bencana diwariskan ke generasi berikutnya.
Genesis Bengkulu menyatakan akan terus mendesak dan mendorong agar seluruh perusahaan yang diduga tidak melakukan reklamasi tersebut diberikan tindakan tegas oleh pemerintah. Dorongan ini seharusnya menjadi alarm keras bagi negara. Sebab, pembiaran yang berlangsung bertahun-tahun hanya akan memperbesar potensi bencana dan mempersempit ruang keselamatan warga.
Puluhan lubang tambang itu kini menjadi simbol bukan hanya kerusakan lingkungan, tetapi juga kelambanan penegakan hukum. Publik berhak bertanya dengan nada paling keras: apakah Satgas/Saber PKH menunggu terjadinya bencana seperti di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terlebih dahulu sebelum bertindak di Bengkulu?
Negara seharusnya hadir untuk mencegah bencana, bukan baru bergerak setelah Bengkulu menyusul daftar panjang wilayah yang terluka oleh kelalaian tambang dan pembiaran hukum.
