Word Pers Indonesia – Gubernur Bengkulu Helmi Hasan seolah hendak menulis ulang definisi “bantu rakyat” di Kabupaten Seluma, area hutan lindung bukit sanggul. Alih-alih mengangkat derajat melalui pendidikan, kesehatan, atau kedaulatan pangan, ia justru memilih jalan pintas: tambang emas di jantung hutan lindung Kabupaten Seluma.
Dengan dalih “Program Bantu Rakyat”, tambang emas itu diklaim sebagai solusi kemiskinan. Namun logika ini tak utuh. Bagaimana mungkin merusak hutan, mencemari air, dan merobek adat bisa dianggap bentuk keberpihakan?
Kilauan Emas, Gelapnya Fakta
Sejak 1980-an, Seluma memang telah masuk radar investasi karena kekayaan mineralnya. Bukit Sanggul bahkan disebut-sebut sebagai lokasi dengan potensi emas terbesar kedua setelah Freeport di Papua. Tapi di balik potensi itu, kini menganga dilema ekologis dan sosial yang belum dijawab jujur oleh penguasa daerah.
Proyek tambang diduga telah bergerak secara diam-diam. Informasi beredar, Pemerintah Provinsi Bengkulu akan mendapat jatah 20% saham. Lalu, siapa yang menguasai 80% sisanya? Rakyat? Tidak. Hutan? Tentu bukan. Sisanya adalah untuk korporasi dan jaringan oligarki yang sejak awal telah mengincar isi perut Bukit Sanggul.
Yang lebih menyakitkan, pemuda-pemuda desa dijanjikan akan bekerja sebagai buruh tambang. Janji kerja, dengan upah rendah dan risiko tinggi, di tanah mereka sendiri. Logika terbalik ini memperjelas peta relasi kekuasaan: rakyat bukan pemilik, hanya pelaksana. Bukan penguasa di tanah sendiri, tapi penjaga gerbang tambang yang menggerus rumah mereka sedikit demi sedikit.
Belajar dari Raja Ampat
Kita patut belajar dari Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat. Empat perusahaan tambang timah besar yang beroperasi di sana sempat berjalan dengan restu birokrasi dan investasi besar. Padahal pulau tersebut telah dilindungi oleh PBB sebagai wilayah konservasi laut dan hutan.
Namun Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah tegas: mencabut seluruh izin. Alasannya jelas—kerusakan ekologis nyata dan tak terbantahkan.
Jika begitu, haruskah rakyat Seluma mengadu langsung ke Presiden untuk menghentikan tambang di Bukit Sanggul? Apakah suara warga lokal tidak cukup didengar oleh Gubernur yang mengklaim membela rakyat?
Ironis, di negeri ini, kadang rakyat harus naik tangga paling tinggi kekuasaan untuk menyelamatkan akar rumputnya dari digilas ekskavator.
Kontras: Antara Pemimpin dan Prinsip
Gubernur Sulawesi Tengah juga mengambil langkah berbeda. Ia justru menutup tambang di wilayah sensitif dan memprioritaskan keberlanjutan. Tapi Bengkulu di bawah Helmi Hasan justru mengambil arah berlawanan: menyambut investor tambang, menyusun birokrasi legalisasi, dan mengatur narasi.
Yang menyedihkan: konsolidasi politik sudah selesai, dukungan partai penuh, dan alat negara digerakkan untuk mengarahkan opini bahwa tambang adalah “hadiah rakyat”. Padahal sejarah Indonesia cukup mengajari: tambang bukan hadiah. Ia sering kali kutukan.
Apa Untungnya, Apa Ruginya?
Untungnya:
Janji pekerjaan bagi pemuda (dalam posisi subordinat).
Penerimaan daerah dari saham minoritas (20%).
Infrastruktur yang mungkin ditinggalkan investor (sementara).
Ruginya:
Hutan lindung hilang, air tercemar, ancaman longsor dan banjir meningkat.
Peradaban lokal di Bukit Sanggul akan punah: identitas, adat, dan sejarah terhapus.
Rakyat kehilangan kedaulatan atas ruang hidup.
Konflik sosial horizontal dan vertikal mengintai.
Ketergantungan pada ekonomi ekstraktif jangka pendek yang merusak.
Lebih jauh, yang diwariskan bukan kesejahteraan, tapi bopeng ekologis dan kemiskinan struktural yang tidak mudah disembuhkan.
Siapa Untung, Siapa Buntung?
Jika benar demi rakyat, mengapa tak dikelola koperasi rakyat atau unit usaha desa berbasis tambang rakyat? Mengapa bukan skema komunitas adat yang diberdayakan untuk menjaga, bukan menghancurkan?
Tapi jawabannya jelas. Jalan tambang lebih mudah dibungkus narasi populis. Tak perlu pendidikan massal, tak perlu reformasi struktural. Cukup izinkan masuk investor, sisihkan sedikit untuk APBD, bungkam kritik, dan putar mesin propaganda.
Bukit Sanggul: Bukan Sekadar Tambang
Bukit Sanggul adalah ruang hidup, bukan lokasi proyek. Ia adalah tempat peradaban bertumbuh. Jika digusur demi emas, maka yang digadaikan bukan cuma hutan, tapi memori kolektif masyarakat Seluma. Mereka akan kehilangan sejarah, narasi, dan masa depan.
Yang tertinggal hanyalah jalan hauling, sumur limbah, dan satu plang korporasi yang sebentar lagi akan pindah ke lokasi lain, meninggalkan kekosongan dan luka yang tidak bisa ditambal APBD.
Penutup: Saatnya Berpikir Waras
Jika Gubernur Helmi Hasan benar ingin “membantu rakyat”, maka bantu mereka melawan penghapusan identitas. Bantu mereka menjaga hutan dan tanah agar tetap utuh dan bisa diwariskan. Karena emas bisa habis, tapi kerusakan akan abadi. Dan sejarah akan mencatat siapa yang mengambil, dan siapa yang mempertahankan.
Karena pertanyaan paling jujur saat ini bukan soal berapa banyak emas yang bisa ditambang, tapi: berapa banyak hati nurani yang tersisa untuk menjaga yang belum hancur?
Penulis: Vox Populi Vox Dei