Oleh: Vox Populi Vox Dei
Ada yang janggal sekaligus mengkhawatirkan terjadi di Provinsi Bengkulu. Bukan sekadar kisruh birokrasi, ini adalah kisah tentang gairah kekuasaan yang tak mengenal batas hukum, etika, bahkan nalar demokrasi. Gubernur Bengkulu Helmi Hasan tidak sedang mengatur ulang struktur pemerintahan, ia sedang membangun mesin kekuasaan tunggal berbaju partai.
Awalnya, publik hanya disuguhi berita mutasi massal terhadap puluhan pejabat eselon II. Namun bukan sekadar rotasi. Ini adalah pemecatan berjamaah tanpa prosedur, tanpa restu Badan Kepegawaian Negara (BKN), tanpa alasan hukum yang dapat diuji, dan tanpa keadilan yang bisa dimintai tanggung jawab.
Alasannya? Demi netralitas ASN terhadap politik praktis. Ironis. Karena justru yang terjadi adalah pembentukan birokrasi yang super politis, loyal bukan pada negara, tapi pada satu bendera.
Lebih runyam lagi, nyaris seluruh DPD PAN kabupaten/kota di Bengkulu menyatakan dukungan penuh agar Helmi kembali memimpin partai di tingkat provinsi. Bahkan beberapa kepala daerah—bupati dan wali kota—telah resmi masuk struktur PAN. Bengkulu kini secara de facto tengah dikonsolidasikan menjadi satu warna, satu suara, dan satu komando.
Satu Warna, Banyak Masalah
Pembersihan pejabat birokrasi nonpartisan dan masuknya para kepala daerah ke dalam pengurus partai tidak bisa dibaca terpisah. Ini bagian dari cipta kondisi yang sistematis: membajak ASN, mendisiplinkan oposisi lokal, lalu mengunci kekuasaan melalui kendali politik dan administratif sekaligus.
Skema ini mirip orkestra: nada yang sumbang disingkirkan, hanya suara “biru” yang boleh terdengar. Ini bukan tentang efektivitas pemerintahan, ini tentang mengamankan agenda kekuasaan jangka panjang.
Lalu di mana BKN? Kemendagri? KASN? Semuanya tampak gamang, atau pura-pura buta. Padahal Undang-Undang ASN, PP No. 11 Tahun 2017, dan Surat Edaran BKN mengatur bahwa pemberhentian pejabat tinggi hanya sah bila disetujui oleh BKN. Jika mereka diam, maka sistem hukum administratif telah gagal menjadi pagar kekuasaan.
Tiga Musuh Sang Gubernur
Di bawah rezim Helmi, tiga kelompok telah jadi musuh bersama: rakyat yang kritis, mahasiswa yang vokal, dan ASN yang independen. Ketiganya dianggap ancaman bagi stabilitas kekuasaan. Maka mereka dibungkam: lewat mutasi, lewat tekanan, lewat penciptaan suasana ketakutan.
Yang tidak tunduk, dibuang. Yang tak bicara, dilestarikan. Dan yang loyal, dipromosikan sekaligus “keluarganya” didaftar sebagai pengurus atau anggota partai. Begitulah Bengkulu hari ini: demokrasi dibungkus dalam manajemen birokrasi, lalu dikunci rapat dengan loyalitas partai tunggal.
Bangkitnya Otoritarianisme Lokal
Apa yang kita saksikan bukan sekadar penyimpangan, tapi gejala otoritarianisme daerah. Di mana seorang gubernur menjelma jadi raja kecil yang tak hanya mengatur pemerintahan, tapi juga mengendalikan partai, menyusun pejabat, memetakan lawan, dan—jika perlu—mengatur arah pemilu selanjutnya.
Dari sisi filsafat kekuasaan, ini adalah kekuasaan tanpa tanggung jawab. Dari sisi politik, ini adalah praktik hegemonik terselubung. Dari sisi hukum, ini bentuk penyalahgunaan wewenang. Dan dari sisi sosial, ini menciptakan ketakutan yang membungkam nalar kolektif rakyat.
People Power: Solusi atau Gejala Frustrasi?
Ketika semua kanal formal tertutup—pengadilan administratif tidak dipercaya, lembaga pengawas tak bertaring, partai oposisi bungkam—maka rakyat hanya punya satu jalan: bertanya pada dirinya sendiri, apakah perlu ada gerakan akar rumput?
People power bukan ajakan, tapi refleksi. Bukan ancaman, tapi pertanyaan:
Apakah rakyat harus terus diam saat tanah airnya dikuasai segelintir elit yang menyamar jadi pejabat?
Apakah harus menunggu lima tahun dalam penderitaan struktural hanya demi menghormati prosedur demokrasi yang sudah dimanipulasi dari awal?
Penutup: Demokrasi Tidak Bisa Diseragamkan
Bengkulu adalah miniatur nasional yang gagal diawasi. Jika negara membiarkan apa yang terjadi di provinsi ini, maka gelombang “Bengkuluisasi” akan menyebar: pemerintah daerah berubah jadi dinasti politik, ASN jadi seperti “kader partai”, dan rakyat jadi tamu di negerinya sendiri.
Demokrasi tidak bisa dijalankan dengan satu warna, satu suara, satu partai. Dan negeri ini bukan didirikan untuk melayani satu dinasti kekuasaan yang menganggap kritik sebagai pembangkangan.
Diam berarti membiarkan. Melawan adalah pilihan terakhir ketika hukum tak lagi jadi tempat berteduh.
