Oleh: Bagus – Presiden SLE
Uang Lima Puluh Ribu
Suasana pasar minggu sekitar jam tiga sore. Di pinggir-pinggir jalan sudah banyak karung-karung yang dibentang. Ada yang sudah diletakkan dagangan di atasnya, ada yang cuma dikasih batu, sebagai penanda ada pemiliknya. Kalau sudah sore begini, ke dua sisi jalan berubah fungsi menjadi sayap dari pasar induk.
Entah, angin apa yang membawa Tegar iseng berkeliling di pasar. Setiap gang pasar tradisional moderen dimasuki. Lalu keluar dan berjalan melewati para pedagang yang sudah mulai menjajakan dagangannya di pinggir jalan.
Di sudut pasar matanya menangkap bayangan yang agak ganjil. Perlahan dia melangkah surut. Melihat apa sebenarnya bayangan yang dia lihat tadi.
Di tumpukan sayur-sayur sisa para pedagang yang sudah dibuang, Tegar melihat seorang nenek yang sudah sangat tua memungut sisa-sisa tomat, kentang, wortel, kol, dan sayur-sayur lain. Dengan telaten nenek tersebut membersihkan dan memilah-milah sayuran sisa tersebut, lalu dimasukkan ke dalam keranjang yang juga sudah tua. Tegar hanya melihat dari jauh.
Dengan tubuh yang sudah bungkuk, nenek tersebut berjalan menyusuri jalan-jalan yang tadi di lewati oleh Tegar. Di tempat yang masih kosong, karena belum ada penanda, nenek tersebut meletakkan keranjangnya. Baru saja meletakkan keranjang, pedagang sebelah menegur si nenek.
“Nek, jangan jualan di situ. Sudah ada yang punya.”
Nenek dengan gerakan yang lamban, karena ketuaannya, meraih bawaannya dan berjalan kembali, mencari tempat untuk menggelar ‘dagangannya’. Dan, setiap dia mau membentangkan alas jualannya, selalu saja mendapat larangan. Bahkan ada di suatu lokasi, ketika dia baru saja menata ‘dagangannya’, seseorang mendatangi dan mengusir secara kasar. Si nenek hanya termangu melihat ‘dagangannya’ diobrak-abrik.
Tegar tidak bisa melihat ekspresi si nenek ketika ‘dagangannya’ yang sudah dia tata dihamburkan begitu saja. Dengan bersusah payah, wanita tua ini kembali memungut sayur-mayur ‘dagangannya, dan memasukkan kembali ke dalam keranjang.
Wanita tua renta dan sudah bungkuk ini kembali menyusuri jalan. Dan diujung pasar, yang hampir tidak dilewati oleh pembeli dia menggelar ‘dagangannya’.
Di tempat yang agak sedikit lebih dekat dan terbuka, Tegar melihat jelas sekarang wajah si nenek. Wajah yang sangat lelah, lemah, dan sedikit pucat. Sangat jelas Tegar melihat ada air mata menuruni kulit wajah yang keriput itu.
Sepuluh menit, setengah jam, satu jam, belum ada orang yang melewati ‘dagangan’ si nenek. Wajah tua itu memandang putus asa ‘sayuran’ di depannya, dan lalu lalang orang yang jauh dari tempat dia duduk.
Tegar berbalik dengan tergesa-gesa. Mencari ojek. Tidak ada. Akhirnya dia berlari melewati bangunan mall bertingkat yang ada di pasar tersebut. Pas di jalan yang di laluii oleh angkot, dia melihat ada ranger Andonk Buddy langganannya.
“Bang, lagi nunggu apa?” Tegar langsung bertanya.
Si Ranger sedikit kaget. Ketika melihat Tegar, senyum mengembang di bibirnya.
“Lagi nunggu panggilan nih. Kok ada di sini? “
“Bang, tolong antar adek pulang. Agak ngebut ya?” Tegar langsung naik ke boncengan.
“Kenapa?” Si Ranger langganan sedikit aneh.
“Tapi bikin pesanan dulu dek… ”
“Iya, nanti adek bilang sama om mimin….” Mimin adalah panggilan untuk admin AndonkBudy.
Di atas motor ojek langganan ini Tegar menuliskan pesanannya. Sekali-kali Tegar melihat speedometer, dan segera minta motor dipercepat kalau angka di bawah tujuh puluh lima.
Sesampai di cafe, motor belum lagi berhenti total, Tegar segera meloncat.
“Bang, tunggu adek. Motor jangan dimatikan.” Ucap Tegar sambil mencari abangnya di meja kasir. Ternyata yang dicari tidak ada. Buru-buru Tegar mau mencari di kamar si kakak.
.
Saat melewati kamar sang ayah, Tegar langsung masuk dan mengejutkan pria yang sedang mengutak-atik HP di tangannya.
“Ayah, adek mintak uang lima puluh ribu, yah… ”
Si ayah mengernyitkan dahi.
“Sekarang?”
“Iya ayah. Sekarang…!”
Ryu memperhatikan wajah anaknya.
“Cepetan ayah…!” Ada kegusaran di wajah dan mata anaknya.
Ryu mengambil dompet di dalam salah satu tas yang tergantung di dinding. Membuka dan mengambil selembaran uang warna biru. Tegar merampas uang itu dan berlari ke luar menuju ojek yang menunggunya, dan segera menaikinya.
Ryu mengikuti sang anak dengan pandangannya, hingga motor itu lenyap dari pandangan. Dalam hati dia bertanya-tanya, untuk apa anaknya meminta uang tadi? Ada urusan apa hingga terburu-buru?
Mendekati pasar, Tegar mengarahkan driver melewati jalan yang lebih cepat mencapai tempat perempuan renta tadi menggelar ‘dagangannya’. Sebelum mencapai tempat itu, dia melihat mobil penertiban berhenti dan pedagang berhamburan dengan sigap menyelamatkan dagangan mereka, masuk kembali ke pasar induk, atau menepi ke teras toko di dekat mereka.
Dua orang menuju si nenek. Sementara si nenek masih belum tahu apa yang terjadi. Dia melongo tidak bisa percaya kalau ‘dagangannya’ diinjak-injak lalu diangkut dan di lemparkan ke dalam mobil truk petugas.
Ketika tersadar, dia terduduk lemas. Dua tangan tua yang keriput itu mengusap wajahnya. Dia menangis. Menangis tanpa suara dan air mata.
Tegar masih di atas motor dan menyaksikan semua peristiwa ini dengan terpana. Dia merasa hatinya teriris. Jiwanya terluka. Lalu dia turun dan melangkah terburu-buru menuju tempat nenek yang dihempaskan oleh arogansi aturan itu.
“Nek, nenek tidak apa-apa kan?”
Tegar merasa pertanyaannya ini adalah pertanyaan yang sia-sia. Sudah jelas kalau wanita tua ini terduduk dengan lemas dan wajah tak berdaya itu pucat.
Tegar berusaha meraih tangan keriput itu dan menggenggamnya, lalu mencium kedua tangan tersebut. Dia tidak tahu apa maksudnya melakukan itu. Tubuh renta itu tak melakukan reaksi apa-apa. Hanya air matanya mulai turun.
“Nek, nenek sudah makan?”
Tegar khawatir dengan suhu dingin pada kulit yang hanya membungkus tulang ini. Dia ingat peristiwa yang sama ketika dia dan abangnya pertamakali bertemu ‘ayah’ mereka belasan tahun lalu. Mereka gemetar, dan suhu tubuh dingin karena sudah Dua hari belum makan.
Mata tua yang mungkin sudah rabun itu semakin deras mengucurkan air mata. Tegar mengambil inisiatif untuk membelikan makanan pada si nenek.
Tegar memandang pada driver. Sepertinya si driver paham apa yang dimaksud oleh remaja ini. Setelah mengangguk, tubuh tambun itu bergegas masuk ke dalam pasar induk.
“Nek, nenek kenapa menjual sayur-sayur sisa?” Tanya Tegar hati-hati sambil menghapus air mata yang membasahi wajah yang semakin tua itu.
Si nenek memandang wajah Tegar dalam-dalam. Tangan tuanya membersihkan sisa-sisa air mata yang sudah diseka oleh anak muda yang sedang berjongkok di hadapannya. Lama dia menimbang-nimbang apa yang harus dia sampaikan pada remaja ini.
“Hanya itu yang terpikirkan oleh nenek. Sebenarnya, nenek juga tidak ingin melakukannya.”
Selanjutnya Tegar melihat wajah yang lesu ini menunduk. Air mata kembali merembes. Ada penyesalan di hati Tegar, karena telah membuat nenek menangis lagi.
Tegar mengalihkan pandangannya, memperhatikan suasana pasar di pinggir jalan yang dengan cepat menjadi sepi. Jalanan yang ramai oleh kendaraan kelihatan lancar.
Di saat kediaman melanda mereka berdua, driver yang mencari makanan untuk si nenek tadi, kembali dengan membawa bungkusan yang berisi tiga bungkus nasi bungkus, dan menyerahkannya pada Tegar.
Tegar menyambut pemberian itu lalu mengangsurkan ke pangkuan nenek yang masih menunduk dengan deraian air mata yang menetesi kain lusuhnya.
“Nek, kita makan bersama ya…?” Ucap Tegar sambil mengeluarkan bungkusan nasi dari kantong kresek.
“Kalian makan lah, yang nenek, nenek bawa pulang saja.”
Tegar tercenung sesaat. Matanya menyelami mata yang sudah pudar warnanya itu, mencoba memahami makna kalimat itu.
“Ya, sudah, kita antar nenek pulang, ya…?” Si gempal driver menyahuti kalimat si nenek. Rupanya, dia sudah bisa menebak, apa yang tersirat dari kalimat wanita tua yang lusuh ini.
“Jangan nak, rumah nenek tidak jauh dari sini. Biar nenek jalan kaki saja.”
Wanita tua ini langsung berdiri dengan susah payah. Tegar sigap membantu.
“Nek, kita antar saja ya…? ” Pinta Tegar.
Mata tua itu memperhatikan Tegar lalu melihat ke motor.
“Saya antar nenek duluan, setelah itu nanti Saya jemput dia… ” Driver tambun itu paham arti pandangan pemilik tubuh ringkih ini.
Lama belum ada reaksi. Tegar sedikit memaksa menuntun si nenek ke dekat motor. Driver langsung duduk dan menjaga keseimbangan agar si nenek tidak kesulitan ketika naik. Setelah dirasa si nenek sudah duduk dengan benar dan aman, driver menjalankan motornya dengan perlahan.
Tegar memandang kepergian mereka. Dalam hati dia bersyukur karena driver andalannya tidak meninggalkannya, sehingga bisa menentukan sikap yang benar terhadap nenek ini.
Sambil menunggu, Tegar duduk di trotoar. Matanya memperhatikan sekeliling. Baru sadar dia, kalau ada aroma yang menyesakkan dada dan akan menyebabkan mual dan muntah menyerang hidungnya. Dia berfikir, bagaimana si nenek bertahan dari aroma busuk ini ketika menjaga ‘jualannya’? Dan pantas saja tidak ada yang mau jualan di sekitar sini, apa lagi bagi pembeli, tidak akan mungkin mau mendatangi tempat seperti ini.
Perut Tegar tidak sanggup lagi bertahan lebih lama. Segera dia bangkit dan menjauhi tempat tersebut. Kaki tegap itu melangkah memasuki mall yang berdampingan dengan pasar tradisional moderen itu.
Di tempat tenant yang menjual makanan siap saji dia berhenti dan masuk. Duduk di salah satu meja setelah memesan minuman. Sambil menunggu pesanannya datang, Tegar menuliskan pesan buat ayahnya, memberitahukan kalau dia akan telat pulang, dan mengirim pesan tersebut. Tidak lama kemudian pesan balasan masuk.
“Adek di mana dan ngapain?”
Tegar menimbang-nimbang apa yang akan dia tulis. Lama dia merenung, tapi belum juga dapat jawaban dari pertanyaan ayahnya.
“Dek…?” Kembali pesan ayahnya masuk. Tapi Tegar tidak bisa memberikan jawaban. Akhirnya dia hanya mengetik, “ayah jangan khawatir, adek baik-baik saja.” Lalu mengirimkan pada ayahnya.
Ayahnya membalas dengan, “….?!”
Pesanan Tegar datang. Segelas air jeruk dingin. Ketika menikmati minuman ini, Tegar memperhatikan situasi pusat perbelanjaan ini. Walaupun berada di pusat kota, mall ini sangat sepi, selain itu tidak rapi.
Tegar melihat jam di HP-nya. Dari waktu kepergian si driver mengantar nenek hingga sekarang, sudah ada tiga puluh menit. Belum ada kabar kalau si driver sudah kembali. Tegar menulis pesan pada nomor wa pribadi driver, memberitahu kalau dia menunggu di dalam mall.
“Abang kasih tahu kalau sudah sampai, ya… ” Lanjutnya pada pesan berikut.
Tepat pada menit ke empat puluh lima, jemputannya sampai.
“Jauh, ya, bang, rumah nenek?”
Tanya Tegar begitu si driver menuju mejanya.
“Jauh, dek. Masuk jalan yang jelek lagi. Abang tidak bisa membayangkan kalau nenek tadi pulang jalan kaki. Bisa jadi akan sampai jam sembilan malam nanti… ” Jawab pengendara ojek on line ini prihatin.
“Oh ya dek, di rumah itu ada kakek yang sedang sakit, dan anak perempuan yang berumur kira-kira empat, atau lima tahun. Melihat dari sambutan anak itu tadi, abang yakin mereka tidak memiliki apa-apa untuk di makan.”
Tegar terdiam. Sepertinya dia memikirkan sesuatu. Kemudian dia bangkit lalu melangkah keluar.
“Abang tunggu di motor ya. Adek mau belanja sebentar.”
Ketika melangkah, dia menghitung apa saja yang dapat dia beli dengan uang lima puluh ribu yang dia minta pada ayahnya tadi.
“Beli saja yang penting dulu.” Lalu dia berlogika dan akhirnya memutuskan bahwa dia harus membeli beras, telur, minyak goreng dan ikan teri.
Tegar masih bingung, karena dia belum pernah belanja dan belum tahu harga. Jadi dia harus menanyakan harga-harga pada pedagang sebelum dia memutuskan berapa banyak setiap item harus dia beli. Karena mempertimbangkan, bahwa dengan jumlah uang yang ada, dia harus mendapatkan semua yang dia inginkan.
Semua yang diinginkan sudah dia dapatkan. Tegar bergegas menuju motor yang menunggunya. Sambil menenteng barang-barang yang sudah dia beli, dia sempat berfikir, betapa repotnya karyawan ayahnya yang bertugas belanja setiap hari, mengatur uang yang sudah ditetapkan jumlahnya, dan harus mendapatkan semua bahan yang sudah ditulis. Seketika dia menaruh hormat pada karyawan tersebut.
Ketika melihat Tegar, driver yang sigap ini langsung mengeluarkan motor dari parkiran di pinggir jalan. Tegar langsung naik. Tanpa komando, si driver langsung menjalankan motornya dan berjalan menuju rumah si nenek.
Dengan kecepatan rata-rata enam puluh kilometer perjam, mereka menuju arah Tugu Hiu, meninggalkan jalan utama, lalu masuk jalan sebelah kiri di simpang tiga. Berjalan sekitar tujuh menit, lalu belok kiri, masuk pada jalan setapak. Melewati beberapa buah rumah, lalu masuk pekarangan sebuah rumah kecil yang sangat sederhana di pinggir kebun karet. Suasana hutan masih terasa di rumah ini.
Ketika mendengar suara motor, nenek dan anak perempuan itu keluar menyambut Tegar dan driver. Senyum mengembang di wajah wanita renta yang tadi di pasar penuh duka ini. Si anak perempuan menatap wajah Tegar dan bungkusan yang di bawa. Mata kanak-kanak itu menerka-nerka dan berharap
“Ayo masuk, cung. Maaf, rumahnya kotor, mohon maklum ya… ”
Si nenek mempersilahkan mereka masuk. Ketika sudah berada di dalam, Tegar melihat tiga bungkus nasi tadi belum dimakan. Berikut tersedia tiga piring plastik, tiga cangkir plastik dan teko yang juga plastik, dan cuci tangan yang sudah ada airnya.
“Loh, kenapa belum di makan, nek?”
Ucap driver. Suaranya mengandung kekhawatiran.
“Kami menunggu kalian cung. Kita makan sama-sama.” Ucap kakek yang segera turun dari dipan reotnya, ketika melihat tamu-tamunya masuk.
Ah, Tegar langsung tersentuh.
Tegar tahu, anak kecil ini sudah sangat lapar, dan berharap segera makan. Sesaat dia teringat dirinya ketika seumuran ini dengan kondisi seperti ini. Dengan sigap Tegar membuka nasi yang dibeli di pasar tadi dan memindahkan ke dalam piring. Kakek dan nenek, masing-masing satu piring, dan satu piring lagi masih di tangannya.
Sekilas ada cahaya sedih dan kecewa dari mata sayu si anak perempuan.
“Ayo, dek, sini, duduk dekat abang. Adek makannya abang yang suap ya.” Tegar meraih si kecil dan memangkunya.
“Nenek dan datuk, ayo di makan dong nasinya.”
Sepasang orang tua tersebut saling pandang. Mereka hanya memandang nasi itu.
“Nek, tuk, makan lah. Jangan pikirkan kami.” Tegar Memberikan senyum yang sangat manis pada dua orang tua renta ini. Tapi keduanya belum juga menyentuh makanan tersebut. Sementara Tegar sudah menyuapi anak yang dia pangku. Awal-awalnya gadis kecil yang agak kotor ini malu-malu. Tapi semakin lama semakin lahap.
“Nenek sama datuk kenapa belum makan?” Tanya Tegar sambil menyuapi si ‘adik’, ketika melihat kedua orang tua ini masih belum makan.
“Kami tidak akan makan, kalau kalian tidak juga makan… ” Ucap datuk tegas.
“Oke, kami makan, asal kami di suap ya nek, tuk… ” Sahut si driver tambun ini.
Wajah renta nenek dan kakek ini langsung cerah seketika. Senyum mengembang. Manis sekali wajah mereka saat senyum mereka mengembang. Kebahagiaan langsung menaungi rumah kecil ini.
Ternyata, kebahagiaan itu tidak Mahal. Cukup dengan rasa saling menyayangi, memahami dan menghargai.
Sudah seminggu Tegar selalu pulang hampir jam 9 malam. Ketika sudah sampai cafe, langsung tidur. Ryu sama sekali tidak khawatir dengan kondisi ini. Dia tidak berusaha mengorek keterangan dari apa yang dilakukan oleh anaknya.
Ketika Jago mulai protes atas sikap si ayah yang berkesan melakukan pembiaraan atas kelakuan Tegarpun hanya ditanggapi dengan senyum.
“Abang jangan khawatir. Adek tidak akan melakukan hal-hal buruk. Kita tunggu saja, saat dia memberi kita kejutan.”
Kalimat menenangkan untuk si kakak yang mengkhawatirkan si adik. Walau tidak puas, Jago mengikuti kata-kata ayahnya.
Malam ini Tegar pulang seperti beberapa malam lalu. Langsung masuk kamar. Dan tidur tanpa menutup pintu lagi. Ryu yang tahu ini segera melihat permata hatinya ini.
Dia menemukan Tegar yang tidur dengan sangat pulas. Ryu duduk di pinggir tempat tidur. Matanya meneliti tubuh anak muda di depannya. Meneliti jari-jari dan telapak tangan yang agak kasar. Ada lepuhan di kedua telapak tangan itu. Di kuku jari-jari yang biasanya halus dan bersih, kini Ryu melihat ada sisa-sisa tanah yang belum begitu bersih ketika di bersihkan.
Lengan dan dada mulai berotot dan mengeras. Kulit tubuh mulai gelap terbakar matahari. Kedua kaki juga masih tersisa tanah pada kukunya. Walau tak mengkhawatirkan, tapi Ryu masih bertanya-tanya, apa yang dilakukan oleh anak bujangnya di luaran sana selama seminggu ini?
Ryu lalu berbaring di samping anaknya. Sebelah tangannya memainkan rambut si anak yang sudah mulai menemukan dunia lain bagi dirinya selain dari dunianya selama ini.
Ingatan Ryu kembali pada saat dia seumuran Tegar sekarang. Ketika itu dia minta izin pada kakaknya untuk tidak langsung pulang ke rumah setelah sekolah. Walau bingung, kakak perempuannya mengizinkan. Dengan syarat jangan melakukan hal-hal bodoh. Justru yang khawatir adalah suami sang kakak. Khawatir kalau-kalau sang adik sampai sakit.
Waktu semester dua sekolah menengah, Ryu menemukan salah seorang teman sekolahnya yang beda kelas sedang makan pisang mentah yang ada di belakang sekolah, ketika Ryu dan kawan-kawan lain akan melakukan kegiatan ekstra kurikuler. Dan teman tersebut tidak tahu kalau Ryu melihat apa yang dia lakukan. Ryu juga tidak ingin kalau teman tersebut, tahu kalau Ryu memergokinya sedang memakan makanan yang belum pas untuk di makan.
Selama mengikuti kegiatan, pikiran Ryu terganggu oleh apa yang dia lihat tadi. Ada apa sebenarnya yang dialami oleh si teman tadi?
Usai kegiatan ekstra kulikuler Ryu segera mencari Basar, teman yang dia lihat makan pisang mentah tadi. Ryu menemukan sosok yang dia cari sedang duduk menyendiri di samping aula. Ryu mengambil kesempatan ketika teman-teman yang lain sudah meninggalkan sekolah untuk menemui teman yang membuat dia penasaran ini.
Basar sedikit kaget dan menjaga jarak. Karena selama ini mereka belum pernah ngobrol secara langsung, walau sering berpapasan. Ryu ingin mentraktir Basar makan bakso atau apapun yang mengenyangkan.
“Sar, temani aku makan bakso, yuk, aku lapar nih…. ” Ajak Ryu ketika sudah berada di dekat Basarudin.
Basar bingung. Dia celingak-celinguk sekeliling lapangan. Mungkin mencari teman-teman yang biasa bersama Ryu.
“Mereka sudah pulang semua.” Lanjut Ryu menjelaskan jawaban dari celingak-celinguk nya Basar.
“Aku sudah kenyang, Yu.” Basar menolak secara halus.
“Ayo lah… Aku yang traktir. Aku tidak enak makan sendirian nih… “
Ryu menarik tangan Basar. Dengan terpaksa Basar mengikuti ajakan anak yang popular di sekolah mereka ini. Ada rasa minder di hati sekaligus bangga di hati Basar saat itu. Bagaimana tidak, Ryu yang selama ini dia anggap tidak mungkin berteman dengan dia, sekarang mau mentraktir dia makan bakso? Seketika juga Basar khawatir, jangan-jangan Ryu mau mempermainkan dia.
Basar memperlambat langkahnya. Ada kegamangan di hatinya. Benarkah Ryu sebaik ini? Tapi melihat sikap Ryu dengan teman-teman lainnya selama ini, Basar mulai menghilangkan kecurigaannya.
Di warung bakso, Ryu langsung memesan dua porsi bakso komplit dengan telur, dan dua mangkok es campur. Basar mengekori Ryu. Ada kecanggungan dari sikapnya. Mereka duduk berseberangan.
Ketika makan bakso itulah Ryu tahu kalau Basar sekolah tanpa ada dukungan keuangan dari keluarga. Dia sekolah modal nekat. Dia ingin menunjukkan pada orang-orang di desanya, juga keluarga kedua orang tuanya, bahwa dia, Basar, anak orang paling miskin di desanya bisa juga sekolah. Untuk itu dia akan mengerjakan apapun, selagi halal, untuk bisa menyelesaikan sekolahnya.
Ryu sangat senang melihat Basar menikmati bakso dan es campurnya.