Oleh : Fitri Khoirunisa, A. Md (Aktivis Back To Muslim Identity)
Wabah covid-19 belum berakhir, itu artinya masyarakat harus lebih bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya agar bisa makan setiap hari sehingga dapur harus tetap mengepul. Semua orang keluar untuk bekerja, baik laki-laki maupun perempuan. Tidak sedikit pula yang menitipkan anaknya karena kesibukan ayah dan ibunya yang bekerja. Bahkan baru-baru ini muncul aturan baru mengenai kesetaraan upah yang akan di terima oleh perempuan yang bekerja seakan-akan menjadi angin bagi para wanita.
Menurut data World Economic Forum pada 2018, perempuan mendapat upah lebih rendah daripada laki-laki. Butuh waktu 202 tahun bagi kaum Hawa agar mendapat upah yang setara dengan kaum Adam. (TheConversation.com, 9/1/2020)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berkomitmen untuk menentang segala bentuk diskriminasi, termasuk terhadap perempuan dan anak perempuan lewat peringatan Hari Kesetaraan Upah Internasional pada 18/9/2020 lalu.
Setiap perempuan berhak mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki dalam berbagai hal, termasuk perolehan upah kerja. Namun sayangnya, hingga saat ini data global yang dirilis oleh UN Women menunjukkan bahwa perempuan masih dibayar lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan perkiraan kesenjangan upah sebesar 16 persen. (Kumparan.com, 19/9/2020)
Sedangkan di Indonesia sendiri, data menunjukkan perempuan memperoleh pendapatan 23 persen lebih rendah dibandingkan laki-laki. Data yang sama juga menyatakan bahwa perempuan yang sudah memiliki anak, angka selisih gajinya jauh lebih besar dengan laki-laki. Tentu saja perbedaan upah tersebut berdampak buruk bagi ekonomi perempuan. Terutama pada masa-masa sulit di tengah pandemi COVID-19 seperti sekarang ini. (Kumparan.com, 19/9/2020)
Selain itu, posisi perempuan di dunia kerja juga masih kurang kuat. Hingga saat ini kebanyakan perempuan masih banyak berada di pekerjaan informal. Sehingga ketika ada pandemi seperti sekarang ini, tak sedikit pekerja perempuan yang harus hidup tanpa memiliki asuransi kesehatan dan perlindungan sosial. Tak hanya itu, pekerjaan mereka pun juga banyak mengalami hambatan, karena ada banyak perempuan yang bekerja di industri yang terdampak COVID-19, mulai industri akomodasi, hingga penjualan dan manufaktur. (Kumparan.com, 19/09/2020)
Pendidikan tinggi tidak menjamin perempuan mendapat upah yang setara dengan laki-laki. Hal ini tidak hanya terjadi di kalangan menengah ke bawah atau perempuan yang memiliki pendidikan rendah. Data tersebut menunjukkan bahwa banyak juga perempuan yang memiliki gelar D3/D4 atau sarjana, tapi upahnya masih lebih kecil dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi tidak mengurangi angka kesenjangan upah berdasarkan gender.
Dikutip dari Rindyanti Septiana,SHI dalam Muslimah News (25/9) memaparkan bahwa kondisi perempuan tak akan jauh berbeda dari sebelumnya, tetap terus berada dalam pusaran eksploitasi ekonomi. Meski ILO maupun UN Women menyerukan aksi menghapus bias dan stereotip gender, mempromosikan manajemen sumber daya ramah keluarga, membentuk skema pengupahan transparan dan adil, serta melibatkan perempuan dalam kepemimpinan usaha.
Inilah basa-basi khas sistem sekuler dalam mengatasi masalah kaum perempuan. Fakta kesenjangan upah diselesaikan dengan seremonial peringatan Hari Kesetaraan Upah. Padahal wanita tetap saja mendapatkan upah yang rendah tanpa adanya kesetaraan dengan laki-laki. Selain itu, dengan opini kesetaraan upah ini, kapitalis berhasil membuat para kaum ibu dan wanita keluar untuk bekerja sehingga melupakan perannya sebagai ibu dan pendidik generasi yang bermartabat yang sesuai dengan tuntunan Islam.
Sudah banyak racun dan angan-angan kosong serta basa-basi tanpa makna yang terus dihembuskan pegiat gender dalam menyelesaikan masalah perempuan. Namun, tak satu pun yang benar-benar menjamin perlindungan serta menghasilkan kesejahteraan bagi perempuan. Perempuan tetap masih menjadi tumbal dan korban dari kerakusan para kapitalis.
Dieksploitasi dalam pekerjaan, lalu diiming-imingi kesejahteraan, setelahnya mati perlahan-lahan. Sungguh sangat memilukan kondisi perempuan dalam kapitalisme. Apabila tidak diselamatkan, akan terjadi degradasi kualitas generasi manusia, sebab perempuan mengabaikan peran utamanya mengasuh dan mendidik generasi.
Bandingkan bagaimana sistem Islam (Khilafah) menjamin kesejahteraan perempuan sebagai sebuah kesadaran dan kebutuhan yang mendesak. Sedangkan ekonomi kapitalis yang eksplotatif menjadi penyebab eksploitasi pada perempuan. Sebaliknya, sistem ekonomi Islam melarang aktivitas ekonomi yang menzalimi orang lain atau upah yang tak layak. Selain itu, menjauhkan semua jenis aktivitas memanfaatkan kemolekan tubuh perempuan demi keuntungan materi karena melanggar ketentuan syariah.
Sistem Khilafah, dengan Khalifah sebagi penguasa memiliki peran, fungsi dan tanggung jawab. Khalifah memaksimalkan pengumpulan zakat, infak, dan sedekah untuk memenuhi kebutuhan orang miskin, baik laki-laki maupun perempuan. Kebutuhan pokok yang meliputi pendidikan, kesehatan, serta keamanan dipenuhi secara langsung dan gratis.
Pembiayaannya berasal dari harta milik negara, juga hasil dari pengelolaan harta milik umum seperti migas, tambang, laut, hutan, dan sebagainya. Pengelolaan yang baik dan disesuaikan dengan kebutuhan maka dapat dipastikan tidak akan ada lagi perempuan -sebagaimana laki-laki- yang harus menanggung kemiskinan. Alhasil, Islam tidak butuh kesetaraan upah di antara laki-laki dan perempuan, karena Khilafah menjamin kesejahteraan mereka dengan pengaturan berbagai kebijakan yang manusiawi.
Wallahu’alam