Oleh : Sugiat Santoso (Mahasiswa Doktoral Studi Pembangunan FISIP USU)
Salah satu residu dari kombinasi sistem pemerintahan presidensial yang dipadukan dengan sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia adalah potensi ketidakstabilan politik. Dampaknya bisa berujung pada kebuntuan politik akibat dari tidak bertemunya kesepakatan antara eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR). Menjadi lebih buruk jika presiden tidak berasal dari partai politik dengan kursi mayoritas di DPR, tentu ruang dialog antar partai politik harus terus terbuka dan terpelihara demi lancarnya proses kebijakan pemerintahan.
Sejak keran sistem multipartai dibuka di Indonesia pasca Reformasi 1998 belum pernah ada satu pun partai politik yang berhasil meraih kursi mayoritas atau 50% plus satu di DPR. Pemilu 1999 misalnya, ketika Abdurrahman Wahid (Gusdur) terpilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR partainya yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hanya memiliki 51 kursi (11,3 persen) dari total 462 anggota DPR yang mana kala itu terdapat 21 partai politik yang meraih kursi di Senayan.
Dua tahun menjabat sebagai presiden tepatnya di tahun 2001, posisi Gusdur digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Adapun Megawati adalah Ketua Umum PDI Perjuangan yang kala itu menjadi partai dengan raihan kursi terbanyak di DPR yaitu 153 kursi (33,12 persen) dari total 462 anggota DPR.
Kondisi yang sama juga terjadi masing-masing dua periode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi) yang mana partai pengusung utama presiden terpilih bukan peraih kursi mayoritas di DPR. Pada periode pertama kepresidenan SBY (2004-2009), Partai Demokrat hanya meraih 56 kursi (10,18 persen) dari total 550 kursi di DPR yang mana saat itu terdapat 16 partai politik di DPR. Sementara pada periode kedua Presiden SBY, Partai Demokrat meski berstatus sebagai pemenang Pileg hanya mampu meraih 148 kursi (26,43 persen) dari total 560 anggota DPR yang diisi oleh 9 partai politik.
Berlanjut ke pemerintahan periode pertama Jokowi (2014-2019), PDI Perjuangan memang berhasil meraih kursi terbanyak tapi belum mampu menguasai parlemen karena raihannya hanya 109 kursi (19,46 persen) dari total 560 anggota DPR yang diisi 10 partai politik. Lalu, pada periode kedua Jokowi (2019-2024) terjadi kenaikan kursi PDI Perjuangan di DPR menjadi 128 kursi (22,26 persen) dari 575 kursi di DPR yang diisi 9 partai politik di DPR.
Ketua Harian Partai Gerindra
Keterpilihan Prabowo Subianto menghadirkan dilema yang sama dengan presiden-presiden sebelumnya yaitu terkait posisi partai pengusung utamanya bukan peraih kursi mayoritas 50 persen plus satu di DPR. Adapun Prabowo adalah Ketua Umum Partai Gerindra yang pada Pileg 2024 lalu meraih 86 kursi (14,83 persen) dari total 580 anggota DPR di Senayan. Selain itu, terdapat 8 fraksi di DPR yang mengharuskan setiap kebijakan baik itu pengesahan RUU dan pelaksanaan program prioritas membutuhkan komunikasi politik antar partai parlemen.
Selanjutnya pada kerangka strategis, Prabowo sebagai pimpinan tertinggi Partai Gerindra melalui hak prerogatifnya telah mendelegasikan sebagian tugasnya sebagai ketua umum kepada Sufmi Dasco Ahmad sebagai Ketua Harian partai. Mengenai pos Ketua Harian adalah posisi baru di struktur partai yang mulai muncul dalam Kongres Partai Gerindra di tahun 2020. Pertimbangannya kala itu karena Prabowo diangkat oleh Presiden Jokowi sebagai Menteri Pertahanan sehingga harus fokus menjalankan amanah di pemerintahan sementara aktivitas di internal partai dijalankan oleh ketua harian yang berperan dalam mengatur kegiatan operasional dan agenda partai sesuai dengan arahan Prabowo sebagai ketua umum.
Pemilihan Dasco sebagai Ketua Harian Partai Gerindra bukan tanpa alasan. Selain alasan senioritas dan ketokohan di partai berlambang kepala Burung Garuda tersebut, Dasco adalah sosok politisi dengan pembawaan yang tenang dan luwes dalam melakukan komunikasi politik sehingga banyak keputusan di internal maupun eksternal partai bisa selesai tanpa kebisingan. Kehadiran Dasco kerap menjadi pemecah kebuntuan ketika terjadi political gridlock (kemacetan politik) akibat terdapatnya institusi yang gagal bereaksi dalam proses pengambilan keputusan.
Tidak hanya itu, kemampuan Dasco dalam berdialog dengan semua stakeholders (pemangku kepentingan) dalam proses kebijakan, mulai dari elit partai, pemerintah, DPR, mahasiswa, akademisi hingga masyarakat luas menjadi nilai tersendiri. Bahkan Dasco kerap menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan DPR terhadap mahasiswa dalam melakukan koreksi terhadap keputusan yang bertentangan dengan kepentingan publik.
Posisi Politik Sufmi Dasco
Sejatinya Dasco memiliki peran ganda dalam perpolitikan di Indonesia. Peran pertama sebagai Wakil Ketua DPR masa bakti 2024-2029 dan peran kedua sebagai Ketua Harian Partai Gerindra. Pada titik ini Dasco memahami posisi politiknya harus mampu menjaga titik keseimbangan antara kepentingan pemerintah, DPR dan masyarakat demi kelancaran pemerintahan Prabowo-Gibran.
Dasco juga sangat menyadari bahwa sifat kepemimpinan Prabowo yang berlatar belakang TNI menekankan prisip kesatuan perintah dan tanggung jawab sehingga dalam seluruh pelaksanaan tugasnya di partai dan DPR mengutamakan loyalitas. Selain itu dalam menjaga harmonisasi terhadap seluruh elemen kekuatan politik, Dasco kerap turun langsung dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat. Misalnya terkait masalah pengaktifan kembali pengeceran gas LPG 3 kg hingga menyelesaikan polemik yang mengancam sejumlah siswa tidak bisa ikut jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).
Pada dinamika yang lebih praktis, peran Dasco sebagai Ketua Harian Partai Gerindra dalam melakukan lobby terhadap para pimpinan partai terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi hal yang sangat strategis. Apalagi di DPR saat ini fraksi terbagi dalam 8 partai yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, PKB, PAN, PKS dan Partai Demokrat yang memiliki kepentingan yang berbeda dalam lahirnya sebuah undang-undang. Penyebabnya setiap partai memiliki kedaulatan tersendiri terkait visi, misi, program serta plaform dalam AD/RT yang berbeda pula.
Ini pula yang menjadi alasan kehadiran Dasco yang merupakan sosok kepercayaan Prabowo kerap mengambil posisi sebagai alarm politik dalam mengawasi kinerja kabinet, baik menteri yang berasal dari partai politik koalisi maupun yang berlatar belakang profesional.
Posisi Dasco selalu memastikan program dan kinerja menteri sejalan dengan kebijakan pemerintahan nasional. Sementara dalam ruang yang berbeda utamanya dalam berkomunikasi dengan PDI Perjuangan yang saat ini berada diluar pemerintahan, Dasco kerap menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan partai berlambang banteng tersebut.
Terhadap seluruh dinamika politik yang terjadi saat ini, posisi politik Dasco adalah sebagai provider politik dalam menghubungkan banyak kepentingan. Baik dialog antar partai politik, kompromi dengan mahasiswa terkait RUU, komunikasi dengan masyarakat dan mengawal kepentingan pemerintah di DPR. Sebagaimana sifat yang ada dalam sebuah provider dalam konteks telekomunikasi, Dasco selama ini dianggap sebagai sosok yang jujur, bertanggung jawab dan mampu memelihara jaringan seperti yang diamanahkan oleh Presiden Prabowo padanya. Mungkin ini pula yang menjadi alasan Dasco adalah sosok politisi yang disegani kawan maupun lawan di ranah politik.(*)