Pengakuan Dua: Yang Terlupakan

Cerpen Bagus SLE Pengakuan Dua Yang Terlupakan Foto/Dok SLE

Cerpen oleh Bagus SLE

Sebuah mobil travel warna silver masuk parkiran. Seorang anak muda dengan tas di tangan keluar. Ragu-ragu dia memperhatikan sekeliling. Ketika matanya bertemu dengan mataku, tertegun sejenak lalu menunduk.

Supir travel juga turun lalu mengajak sang pemuda untuk masuk. Sang supir langsung duduk ketika selesai menyalami ku.

“Pak.. ” Antara terdengar dan tidak sang pemuda mengeluarkan kata itu dan segera memelukku dengan erat.

Walau agak lama, aku biarkan pemuda itu melakukan hal tersebut. Dalam hati aku bertanya-tanya tentang pemuda.

‘Silahkan duduk…. ‘ kalimat untuk melepaskan diri dari dekapan tangan kokoh si pemeluk.

“Terimakasih… ” Masih sambil menunduk.

‘Mau minum apa?” Aku menawarkan pada Ali, supir travel jurusan kotaku – Medan yang sudah lama jadi pelanggan kami.

“Biasalah, bang. Kopi racikan abang lah… ” Dengan logat Batak yang kental.

“Kamu siapa nama dan mau minum apa?” Dengan ramah aku menyentuh pundaknya.

“Grace… Pak… ” Lagi-lagi kata ‘Pak’ antara terdengar dan tidak. Masih menunduk dia melanjutkan,

“Kopi… ”

Sekilas aku melihat ke mata Ali. Sepertinya ada hal yang penting akan di bicarakan.

Aku panggil karyawan dan memesan pesanan tamu perdana pagi ini. Sebenarnya saat ini belum lagi jam tujuh pagi, kafe kami belum melayani tamu. Tapi Ali memiliki kekecualian khusus.

“Bang, sebenarnya adek ini mencari abang. Ada hal yang sangat penting untuk hidupnya.”

Aku tersenyum tipis menanggapi kalimat pembuka supir yang berbadan gempal ini.

Aku alihkan pandangan ke wajah bulat, bersih dan berkumis tipis itu. Lagi-lagi dia menunduk ketika mata kami beradu.

“Ada yang bisa bapak bantu?” Aku pasang senyum yang seramah mungkin agar si pemuda merasa nyaman.

Lama aku menunggu. Tapi tidak ada reaksi dari orang yang duduk persis di hadapanku. Aku alihkan pandangan pada Ali yang sedang menyeruput kopi. Sesaat dia tertegun, lalu meletakkan gelas kopi yang masih mengepulkan asap. Pemilik senyum ramah tersebut malah memandangku. Pandangan yang misterius.

“Aku tak tahan lagi!” Si pemuda lalu bangkit dan dengan cepat memelukku. Air kopi di hadapanku tumpah oleh goyangan meja yang kena gerakan tiba-tiba tersebut.

“Bapak… ” Dia memelukku dengan sangat kuat dan membuat tubuhku yang lebih kecil dari tubuhnya hampir tidak bisa bergerak.

“Sudah tak tahan lagi aku, pak… ”

Aku semakin bingung. Ali lalu bangkit dan menenangkan pemuda yang entah apa selama ini dia pendam, dan pagi ini dia lampiaskan padaku.

“Duduk dulu kau dek. Kau jelaskan siapa kau dan apa maksud kau ke sini.”

Perlahan aku terlepas dari rengkuhan yang sedikit agak menyesakkan nafasku.

Si pemuda lalu duduk dan kemudian buru-buru membuka tasnya, mengeluarkan dompet khas yang bahannya, aku yakin dari tenunan ulos. Aku naksir dompet itu.

Dari dalam dompet dia mengeluarkan foto kecil yang sudah usang. Lalu memberikan foto tersebut kepadaku.

Sebelum sempat aku perhatikan mulut kemerahannya mengucapkan kalimat yang membuat keningku berkerut.

“Menurut mamak, laki-laki dalam foto itu adalah bapak kandungku.”

Pelan aku ambil foto tersebut dari tangan yang gemetar itu dan memperhatikan gambar pada foto. Aku tersentak. Wajah pria itu adalah aku. Walau foto lama, tapi masih sangat jelas kalau itu adalah aku dua puluh tahun lebih dulu kala.

“Dari mana kamu dapatkan ini?” Suaraku mengambang. Antara ingin dan tidak mendengar jawaban dari pertanyaan itu.

“Dari mamak. Ini fotonya.” Sambil menyerahkan hp yang di layarnya menampilkan wajah seorang wanita.

“Ada fotonya waktu masih muda?” Aku masih ragu dengan gambar yang aku lihat.

“Ada, pak… ” Lagi-lagi kata ‘pak’ antara terdengar dan tidak.

Kemudian tangan yang memiliki kuku yang dipotong melewati batas tumbuh pernahan dan memperindah jari tersebut mencari-cari yang aku inginkan.

Bummm!!!! Sebuah bom meledak di kepalaku dan mengaktifkan sel-sel pengingat. Sontak gambaran-gambaran masa dua puluh satu tahun lalu bangkit dan menggetarkan aku.

Peristiwa selama dua minggu itu menampar ingatanku dan mempermalukan aku. Aku malu di hadapan anak muda ini dan Ali.

Dua puluh satu tahun lalu, aku dan seorang wanita muda remaja yang masih kelas tiga SMA melakukan sesuatu yang seharusnya belum kami lakukan.

Sehari setelah perkenalan, sang gadis yang periang itu membawaku ke rumahnya untuk menemani kesendiriannya. Kedua orang tuanya sedang dinas luar provinsi sedangkan adiknya yang masih kelas 1 SMA jarang pulang.

Tidak tahu siapa yang memulai dalam percintaan hitam tersebut. Selama dua minggu tiap hari kami melakukannya dan ibarat minum obat. Paling tidak tiga kali dalam sehari. Sebelum berangkat gadis tersebut sekolah, sepulang sekolah dan sebelum tidur.

Sekali lagi tidak tahu siapa yang menginginkan duluan. Selama waktu setengah bulan itu aku berdiam di kamar. Tidak pernah keluar sekalipun. Paling ke kamar mandi ataupun ke dapur. Selama itu pula aku belum pernah bertemu dengan adik si ‘pengurungku’.

“Hueks… ” Aku merinding dan mual mengingat itu. Semakin mau muntah saat mengingat aku lupa sama sekali dengan si gadis dan peristiwa itu setelah aku keluar dari rumah tersebut.

Bukan bermaksud melupakan. Tapi benar-benar lupa hingga pemuda yang ada di depanku ini muncul.

Hampir saja aku tidak mampu berdiri ketika mau mencari udara segar sejenak.

Grace memandangku. Berharap kalimat-kalimat yang akan menyenangkan hatinya. Aku menata hati dan gelombang besar di dada. Ketika sudah tenang aku kembali ke kursi semula.

Sumpah, aku bingung mau mengatakan apa. Aku memandang Ali. Berharap dia bisa menyelamatkan suasana.

“Mata kalian mirip, bang. Roman muka adek Grace, walau tak sama muka abang, tapi kayak-kayak muka orang Jepang, seperti wajah abang.”

Aku perhatikan dalam-dalam bentuk wajah anak muda di depanku. Dan memperhatikan gambaranku dalam foto yang masih di tangan. Ali tidak salah. Mata kecil hampir sipit itu adalah cerminan mataku dulu. Bola mata yang selalu bercahaya, tapi saat ini sendu.

Wajah bulat itu, jelas berbeda dari bentuk wajahku yang oval. Tapi semakin diperhatikan semakin aku temukan kesamaan. Sayangnya aku tidak bisa menjelaskan di mana kesamaan itu.

Kembali aku teliti foto usang itu Benar, wajah Grace saat ini adalah wajah aku dua puluh satu tahun lalu. Wajah yang hampir bulat itu hampir menyerupai pemuda yang sedang memperhatikan setiap gerak-garikku saat ini.

“Maaf kalau aku salah. Terimakasih bapak sudah membiarkan aku memeluk bapak. Permisi…”

Grace langsung bangkit dan mengambil kedua foto yang saat ini aku letakkan di atas meja.

Aku kaget. Segera mengejar tubuh yang sudah di ambang pintu. Menghalangi langkahnya dan segera memeluk tubuh yang matanya berkaca-kaca.

“Maafkan bapak, nak… ” Tidak ada keraguan lagi.

Dia membalas lebih erat lagi.

“Bapak…. ”

Oh… Mengapa aku rasakan sangat bahagia dengan panggilan itu?

Telpon genggam yang masih di tangan Grace berbunyi. Sekali, dua kali, tiga kali, dan aku melepaskan tubuh itu dari rengkuhan tanganku.

“Iya mak… ”
Selanjutnya bahasa daerah yang tidak aku ketahui apa penyebutan dan artinya.

Ada rona tegang di muka Grace. Entah apa yang di ucapkan si mamak ketika dengan wajah memelas dan di jawab dengan bahasa yang bisa aku mengerti.

“Sudah lah, mak. Aku sudah capek. Aku sudah tak tahan lagi… ” Lalu mematikan panggilan dari ibunya.

Grace kembali ke tempat duduk. Lama dia berdiam sambil memandang ujung sepatunya. Perlahan dia berbalik dan menghadap Ali yang sedari tadi mengambil tempat duduk yang terpisah dari kami.

“Tulang, tolong aku… ” Matanya sangat berharap.

Ali diam.

“Tolong jangan kasih tahu mamak kalau aku ketemu bapak… ”

Tidak ada jawaban dari Ali. Terlihat jelas dari raut mukanya yang bimbang.

“Tolonglah tulang… ”

Ali memandang dalam pada manik mata Grace. Sebelum menjawab dia menarik nafas dalam.

“Baik… ”

Tidak lama kemudian dia bangkit dan meninggalkan kami.

Sudah seminggu Grace bersamaku. Selama itu pula aku berusaha keras menjadi bapak dalam gambaran imajinasinya selama ini.

Seorang bapak yang akan membelanya, menghibur saat sedih, mengajak jalan-jalan dan memarahinya jika berbuat salah, dan memberikan pujian ketika dia mendapatkan prestasi atau hadiah saat ulang tahun.

Aku mengenalkan dengan kehidupanku yang suka akan alam. Kami naik gunung bersama, menyusuri sungai untuk mencapai air terjun, dan jika hari cerah kami akan menikmati sunset.

Selama seminggu kebersamaan aku tahu jika pemuda ini tidak mau bicara tentang ibunya. Setiap kali aku bertanya selalu dijawab dengan diam atau pengalihan pembahasan.

Aku selalu berusaha menahan diri agar kebersamaan ini tidak menimbulkan ketegangan. Sampai kapan aku bisa menahan diri?

“Pak, tolong jangan tanya apa-apa lagi tentang mamak… ”

Senja ini di atas gunung aku mendengar kalimat dari buah bibit yang aku tanam di ladang yang subur saat usiaku hampir tiga puluh tahun. Ladang yang ada di tanah persinggahan.

Aku mencari-cari alasan kalimat yang hampir berbisik itu dalam diam. Mata kami masih terpaku pada rona senja jauh di depan sana.

“Nak, keindahan di depan sana adalah gambaran kebahagiaan di hati bapak… ”

Aku merangkul pundaknya. Berharap dia menyandarkan kepalanya di bahu kecilku. Perlahan keinginanku di buat nyata. Aku pejamkan mata. Ingin meresapi peristiwa ini.

Ada angin yang berhembus sedikit kencang. Pelan-pelan aku buka mata dan melirik wajah yang ada di samping wajahku. Mata itu terpejam dan ada senyum di bibir yang tidak ada kemiripan dengan bibirku.

“Bertemu bapak adalah keinginan terbesarku.” Kalimat yang pelan tapi menghantam dengan sangat keras hatiku.

“Sejak aku tahu wajah bapak, setiap hari aku berdoa kita bertemu.” Lagi-lagi aku dihantam. Hantaman kali ini lebih keras.

Saat aku keluar dari rumah tempatku bersama ibunya membuat ritual cinta yang menumbuhkan dirinya, aku lupa akan episode hidupku selama dua minggu itu.

Begitu keluar aku langsung memesan tiket menuju kota persinggahan lain sebelum pulang ke kota asalku.

Aku menahan gejolak hantaman itu dengan memperhatikan sekeliling puncak gunung yang kami duduki. Jurang terjal mengurung semua sisi.

Ketika melihat langit, ada gumpalan kecil awan yang menarik perhatianku. Firasatku mengatakan akan ada badai malam ini.

“Nak, ayo kita turun. Sudah malam.”

Mengandalkan senter yang sudah dipersiapkan kami menuruni puncak dan melangkah menyusuri sisi gunung yang di kiri atau kanannya adalah lembah berbatu yang siap meremukkan tulang jika jatuh ke dasarnya.

Biasanya waktu turun dari puncak memakan waktu paling lama dua jam. Tapi kami menempuhnya hampir tiga jam. Aku harus menjaga langkah kaki anak lelakiku. Aku tidak ingin duri-duri atau ranting menggores kulit halusnya. Berlebihan memang.

Ketika sampai di pondok kebun yang sudah bagai rumah kedua bagiku, aku lihat dibawah pondok dandang berisi air sedang mendidih. Aku dan anakku segera menaiki tangga. Penjaga kebun langsung sibuk mempersiapkan makan kami.

“Air panas sudah aku siapkan, Dang. Air dinginnya sudah ada juga di ‘garang’.”

Aku mengerti maksud penjaga kebun. Dia sudah mempersiapkan air mandi untuk kami di tempat pencucian piring di samping dapur.

Setelah mandi dan makan malam, kami bercengkerama di berendo pondok. Sebuah pembagian ruang yang merupakan ruang terdepan sebuah bangunan rumah.

Tidak lama kemudian angin kencang datang. Berputar-putar di lembah. Ketika melewati celah pohon depan pondok, menimbulkan suara siulan yang mengerikan. Sesaat Grace terperangah dan memucat. Setelah mendengar penjelasan dari penjaga, kembali rona wajahnya mulai normal.

Menjelang tidur aku peluk pemuda di sampingku. Aku ingin melindunginya dari hawa dingin gunung yang sedang badai. Mungkin hal seperti ini juga yang dia inginkan. Grace menggeser tubuhnya semakin rapat. Tidak lama kemudian nafasnya mulai teratur pertanda dia sudah tertidur.

Aku sedang mempersiapkan diriku untuk ditinggalkan setiap saat. Aku hanyalah penebar benih. Tapi tidak pernah merawat ketika benih itu tumbuh dan berbuah. Tidak pantas bagiku untuk menikmati hasilnya.

Jikapun saat ini kami bersama, hanyalah hasrat untuk mengetahui dan bertemu si peladang penyemai.

Sekarang dia sudah tahu pemilik wajah peladang yang berpindah-pindah dalam foto yang dia simpan rapat-rapat. Setiap saat waktu kepulangannya akan tiba. Pasti meninggalkan bekas yang dalam. Mungkin suka dan mungkin juga luka.

Aku sudah merasakan luka bahkan saat dia masih dalam pelukanku sekarang ini. Luka akan ditinggalkan entah kapan. Waktu perpisahan itu pasti akan datang.

Luka itu semakin perih ketika tidak ada secuilpun informasi yang aku inginkan tentang ibunya.

“Bukan salah bapak, nak, jika selama ini kau terlupakan. Bapak bahkan tidak memiliki memori tentang peristiwa sebab keberadaan dirimu ke dunia ini, jika saja kau tidak muncul pagi itu… ”

Aku tidak tahu apakah kalimat itu pembelaan diri atau menyalahkan diri sendiri.

Di luar pondok, angin masih kencang. Siulan yang mengerikan itu masih saja terdengar. Semakin mengerikan jika tubuh dalam pelukanku ini akan pergi meninggalkanku. Dan itu pasti akan terjadi. Mungkin besok, lusa, minggu depan atau kapanpun.

Saat yang aku khawatirkan benar-benar tiba. Diawali dengan telpon dari si ibu. Sebenarnya hampir setiap hari mereka saling telpon. Kalau bukan anakku yang menelpon, maka ibunya yang akan menelpon.

Kali ini telpon dari sang mamak menimbulkan kekhawatiran di wajah mata dan nada bicara.

“Iya, mak, aku akan pulang. Mamak harus makan. Nanti mamak sakit… ”

Jiwaku bagai diiris dengan sembilu lalu disiram dengan air jeruk. Perih. Sangat perih.

“Kalau Grace mau. Bapak mau antar ke sana.”

Sebenarnya kalimat harapan. Harapan bertemu sang ibu sekedar permintaan maaf untuk menebus kesalahan dan mempertanggungjawabkan segalanya.

“Tidak, pak. Kalau bapak masih ingin bertemu denganku, jangan lakukan itu, pak… ”

Suara yang sangat cepat menimpali kalimatku. Ada permohonan di sinar matanya yang sendu.

Apa yang disembunyikan. Aku tidak mau menerka lebih jauh.

Travel silver masuk ke parkiran. Supirnya turun dan menyalamiku.

Anak bujangku menyandang tas di pundaknya. Memelukku. Pelukan selamat tinggal. Aku tidak kuasa menahannya lebih lama. Walau keinginan itu sangat besar dalam harapanku.

Ali dengan mobilnya yang berwarna perak membawa Grace anakku meninggalkan aku. Aku memandang mereka hingga hilang dari pandangan.

Tiba-tiba aku merasa sangat lelah. Lelah oleh kehilangan yang sangat dalam. Ditinggalkan oleh anak lelakikiu yang ketiga. Si bungsu yang tanpa sengaja terlupakan.

Pengakuan dua :
Yang terlupakan.

Terinspirasi dari kisah nyata tokoh ‘aku’.

Baca Juga: “Aku siap bertanggung jawab terhadap calon bayi kita… “
Baca Selengkapnya>>
https://wordpers.id/p-e-n-g-a-k-u-a-n-s-a-t-u/