Misteri Byuto Bab 13: Teror di Desa Lagan

Misteri Byuto bab 13 Teror di Desa Lagan
By: ie_majie

Pesta pernikahan adat malam ini sungguh meriah. Begitu banyak masyarakat yang menyaksikan. Tua, muda dan remaja. Mungkin karena sudah sangat lama acara seperti ini tidak pernah dilaksanakan lagi.

Tentu ada kerinduan di hati bagi yang tua dan keingintahuan terhadap akar budayanya bagi anak muda.

Ketika acara Bimbang Gedang akan dilaksanakan oleh Wan Murad maka penantian yang lama tersebut terobati.

Mendapat undangan pemilik acara melalui telepon beberapa hari yang lalu, tidak berfikir lagi, aku langsung menyetujui. Tidak sabar untuk tancap gas ketika tanggal Bimbang Gedang menjelang.

Suara gendang, rebana, serunai dan biola mengalun saling mengisi hingga menimbulkan harmoni yang agung. Harmoni yang lahir dari hasil penyatuan jiwa-jiwa penuh gairah pada zamannya.

Liukan tubuh penari mengikuti irama ceria yang ditimbulkan oleh tepukan-tepukan tangan pada benda sederhana berbahan kayu berbentuk bulat dari kulit kambing atau kerbau ataupun kulit sapi.

Lenggok tubuh dan gerak tangan, denting-denting cincin pada piring, langkah dan hentakan kaki pada papan, adalah bukti bahwa penari ini sangat menjiwai tariannya.

Orang ini adalah penari pembuka untuk tari piring. Terasa sangat singkat atraksi yang disajikan, padahal sudah melewati lima menit sang penari telah memukau setiap pasang mata.

Saat pemberian hormat tanda usai, mata penikmat gerakannya masih tertuju pada laki-laki yang mengenakan sarung, pakaian kehormatan untuk sebuah acara adat

Pengunjung yang sengaja datang bahkan banyak juga dari luar desa Wan Murad berdiri berdesakan di luar ‘panggung’ sangat sederhana untuk ukuran saat ini Tepuk tangan begitu meriah. Bahkan ada yang berteriak minta agar si penari berkenan kembali menari.

“Lagi. Lagi. Lagi…!’

“Tenang. Masih banyak penari lain.” Jawab beliau sambil menyeka keringat di keningnya.

‘Pengujung’ besar tempat para seniman ini dihiasi oleh dekorasi tradisii dan diterangi oleh lampu-lampu listrik pengganti petromak mengembalikan kenangaanku pada masa-masa kecilku tentang kemegahan acara seperti ini.

Kerinduan telah terobati. Telah sangat lama memori Bimbang Gedang mengendap di otakku dan sekarang kenangan itu memburai.
Hatiku buncah. Jiwaku merinai membasahi sanubari yang dahaga selama ini.

Aku berdiri di luar ‘tarup’. Merekam setiap adegan di dalamnya.

Sayangnya, cuilan pada pundakku memecahkan kosentrasi dan segera menoleh pada pencuil.

‘Yung, ‘anun’ Lagan minta ‘nga’ untuk menginap di Lagan.” Bang Dadin, anak tertua Wan Murad membuat hatiku galau.

“Sekarang, bang?” Tanyaku gusar.

“Iya.” Sambil merangkul pundakku menjauhi arena para penari dalam menunjukkan kepiawaian mereka.

“Tapi….” Mataku masih memandang para penabuh alat musik tradisional di dalam pengujung.

“Dilek kalau kelamaan di sini, Anun ketiduran. Beliau sudah terlalu tua untuk menunggu.”

Tanpa kerelaan, aku mengikuti langkah sepupu jauhku ini. Aku belum siap meninggalkan rangkaian acara di atas tarup. Tapi permintaan salah seorang nenekku tidak bisa juga aku abaikan. Kalimat ‘pemaksaan’ yang mengatakan ‘nanti kalau kelamaan….’ membuat aku berat hati meninggalkan keramaian.

Dulu, masa aku masih berseragam putih abu-abu, bang Dadin selalu menjemput untuk menginap di rumahnya atau rumah famili yang lain, setiap hari Sabtu dan Minggu.

Jarak antara desa yang berada dekat bandara tidak menjadi halangan bagi seorang ‘abang’ yang lebih tua setahun dariku itu untuk setiap akhir pekan ataupun liburan menempuh perjalanan ke rumahku yang berada dekat rumah dinas gubernur.

“Bang, dak usah jemput Minggu depan, biar Buyung datang sendiri.”

Bagaimanapun aku merasa tidak enak dengan Bang Dadin karena harus bolak-balik antar jemput. Apa lagi harus berganti angkot tiga kali.

‘Nga nak bunuh abang. Dilek bak juge Datuk bakal ngamuk beso.”

Posisi kami berdua bagai buah simalakama. Tidak dituruti kami dimarahi oleh orang tua, nenek atau kakek kami, dituruti menjadi hal yang memberatkan bagi remaja kelas satu SMA seperti kami.

Kadang aku iba melihat sepupu jauhku ini yang setiap Sabtu harus menjemputku atau membujukku supaya mau ke rumahnya.

Jika tidak berhasil, maka omelan panjang kali lebar dari orang tuanya atau dari kakek nenek kami akan setiap hari menyerang telinganya hingga aku datang kembali pada Sabtu berikutnya.

“Wan, kenapa aku harus dijemput terus? Kenapa tidak boleh datang sendiri? Aku kan sudah besar, Wan…”

Aku dan bang Dadin menghadap tokoh masyarakat itu pada suatu malam Minggu.

Wan Murad bangkit lalu duduk di antara aku dan anaknya sambil memeluk pundak kami berdua, lalu dia menjawab,

‘Yung, kamu itu anak laki-laki satu-satunya dari ayahmu. Kalau terjadi apa-apa dengan kamu di jalan, kami harus bilang apa sama keluarga dari pihak Palik?”

Pernah aku berpikir, hebat betul aku ini. Ke mana saja aku pergi dan di mana saja aku berada selalu mendapatkan keistimewaan hihi

“Wan, sepupu yang lain kan banyak. Kenapa tidak bergantian kami ke sini?” Aku melepaskan rangkulan di bahuku.

Dari pihak ayahku, aku memiliki saudara sepupu laki-laki lebih dari selusin dan perempuan hampir selusin pula.

Mata teduh itu memandang ke mataku dan terdiam sejenak.

“Ah, sudah lah. Wan mau latihan ‘bedendang’ lagi.” Entah alasan atau apa, paman yang baik ini adalah memang anggota kesenian tradisi tersebut

Aku tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang hingga malam ini masih menempel kuat di otakku.

“Bang, matikan AC-nya. Aku mau merokok…” Di sela-sela obrolan dan gurauan kami dalam perjalanan ke desa Lagan.

Laki-laki dengan tiga anak ini segera mematikan pendingin dalam mobil dan menurunkan kaca jendela.

“Masih ingat nga, Yung, waktu abang tidak tidur semalaman karena menggaruk seluruh badanmu gara-gara kamu mandi di saluran air yang kiri kanannya tumbuh pohon bambu?”

Pertanyaan candaan ini menimbulkan memori yang tidak bisa aku lupakan. Malam itu aku merasakan bagaimana sayangnya saudaraku ini padaku. Dia selalu duduk di sampingku sambil terkantuk-kantuk.

Padahal sebelumnya kami lebih sering ribut bahkan berkelahi, tepatnya aku yang selalu meninju atau menendang beliau haha…

Kata bang Dadin waktu itu, aku suka iseng kadang keras kepala. Kalau sudah begitu, maka pemilik wajah yang membuat aku kadang iri, karena menurutku dia mengalahkan ketampanan ku itu harus selalu mengalah. Kalau tidak, apa lagi sempat diketahui para kakek dan nenek, hmm…alamat bakal kena marah.

“Hahaha….” Aku tertawa sampai keluar air mata.

“Maafkan adikmu abangku yang ganteeenggg….hahaha.”

Menurutku aku harus minta maaf atas kejadian tersebut. Sejak kejadian itu aku belum minta maaf, karena tidak mau mendengarkan peringatan darinya, maka selama tiga hari aku tidak ke sekolah karena gatal disertai panas di sekujur tubuhku yang memerah..

Aku juga belum berterimakasih atas pengorbanannya menjaga, mengipasi, dan menggaruk tubuhku.

“Bang, makasih ya….” Kalimat tulus dariku dibalas dengan tatapan aneh dari mata beningnya.

Sambil tersenyum memandang aku, lalu ada rona bahagia di air mukanya.

“Sudah pintar bilang makasih adek Abang sekarang …” Tangan kirinya mau mengacak-acak rambutku seperti waktu kami masih remaja. Tentu saja aku tidak mau membiarkan perlakuan ini. Sama seperti dulu.

Dulu, kalau dia lagi kesal, atau mau menunjukkan senangnya, rambutku selalu jadi sasaran. Padahal, selain dagu, rambutku yang aku bersihkan dengan sampo Sunsilk hitam yang mengandung merang setiap dua hari sekali dan diminyaki Brisk biru, adalah andalan penampilanku.

Kalian juga pasti tidak rela kan? Hehe

“Dulu Abang iri melihat rambutmu yang hitam berkilat, lebat dan rapi. Tapi sekarang, bikin Abang mau ketawa…”

Lalu disambung dengan tawa mengejek. Itu yang aku rasakan. Rambutku sekarang malah botak bagian atas dari kening hingga ubun-ubun….

Sekitar 10 menit kemudian kami sudah sampai. Anun, panggilan nenek, sudah menunggu kami di ruang tamu sambil menggosok giginya dengan tembakau di sela-sela mengunyah sirih.

Kami menyalami lalu mencium tangan keriput tersebut. Perempuan tua ini merupakan sepupu dari kakekku dan merupakan kakak dari nenek Bang Dadin.

Baiklah, aku siap menerima wejangan apapun dari mulut keriput dan merah akibat air sirih yang dia kunyah dari perempuan bungkuk ini.

Baru saja pantatku dan Bang Dadin menyentuh kursi di samping kiri dan kanan Anun, Dang Wawan membawa 2 gelas kopi dan 3 buah durian yang besar-besar.

“Durian belakang rumah kita, Yung….” Dang Wawan mempersilahkan aku menikmati yang dia bawakan.

“Makasih, dang…” Jawabku sambil mengambil durian yang sudah dibelah.

“Hus… Cuci tangan dulu!” Anun menepis tanganku dan disambut tawa oleh bang Dadin dan Dang Wawan.

Durian kuning tembaga langsung aku arahkan ke mulut. Begitu digigit dan dikunyah, aku merasakan ada keanehan.

Begitu ditelan, brrrppp…brrrppp….brrrppp..
.tiba-tiba pandanganku bergaris-garis naik turun bagai layar tv hitam putih jaman dulu, lalu berbintik-bintik dan gelap! Apa yang Dang Wawan tambahkan?

Tong tong tong!

“Ada harimau.! Ada harimau!”

Suara-suara kentongan yang ditimpali teriakan ‘harimau’ membangunkan aku. Aku segera meloncat, tapi segera mundur kembali.

Di sekelilingku, dalam ruangan sempit, ada banyak orang. Aku sempat menginjak seseorang karena tempat aku terbangun ini tidak terlalu luas.

“Ini di mana? Bang…. Bang Dadin… Dang Wawan….” Aku memanggil dua saudaraku dalam kebingungan.

Sudah sangat pasti ini bukan di rumah Anun ataupun rumah Wan Murad. Lalu, bagaiman aku bisa ada di tempat ini?

Semua orang sudah bangun. Lalu lampu-lampu kaleng berasap tebal dihidupkan. Ketika ruangan sudah terang, aku semakin tidak tahu aku berada di mana.

Ruangan ini berdinding papan. Sepertinya rumah ini adalah rumah panggung. Di tempat aku berada saat ini ada 7 pria dewasa, 9 pemuda dan 5 remaja. Ditambah dengan aku berarti ada 22 orang laki-laki.

Dari ruangan sebelah ada suara perempuan yang menenangkan anak-anak yang menangis.

Semua mata dalam ruangan tempat aku berada menatap tajam ke arahku.

“Nga siape?!” Sebuah bentakan melemahkan jantungku. Sesaat aku tidak paham dengan 2 kata tersebut.

Begitu tersadar, aku tergagap

“Ku….ku…” Belum sempat aku menyelesaikan jawabanku, sebuah pukulan telak menimpa perutku. Lalu ada terjangan-terjangan dan pukulan-pukulan lain yang membuat aku tersungkur.

Teriakan “Harimaunye di sikak!” membuat anak-anak dan para perempuan menjerit tak karuan.

Sebuah benda mendarat di keningku dengan keras dan membuat aku tidak sadarkan diri.

“Hentikan!” Hanya itu yang sempat aku dengar sebelum aku lenyap kesadaran.

Aku membuka mata tapi pusing membuat aku menutup mataku kembali.

“Wan, orangnya sudah sadar!” Suara seorang remaja melaporkan kondisiku pada seseorang.

Aku mendengar langkah buru-buru dari beberapa orang. Sebuah tangan mendarat di keningku. Terasa sejuk.

“Ambilkan air minum.” Perintah si pemilik tangan pada seseorang. Tidak lama kemudian kepalaku diangkat dan sebuah benda berisi air diarahkan ke mulutku.

Setelah air membasahi kerongkonganku, perlahan aku membuka mata dan berusaha mengumpulkan kesadaran.

“Aduh, nyeri…!” Seluruh tubuhku terasa nyeri. Terutama pada kening. Sepertinya ada luka yang membengkak. Aku ingin meraba tempat tersebut, tapi dicegah oleh orang yang belum sempat aku lihat wajahnya.

Sisa air yang aku minum tadi dilumuri pada wajah lalu ke seluruh tubuh. Ajaib, perlahan rasa nyeri dan sakit mulai menghilang. Aku memperhatikan seorang laki-laki yang dipanggil ‘wan’ tadi.

Berumur sekitar 40 tahun. Berkulit putih, berkumis tipis, rambut ikal hitam, dan wajahnya….aku terpana. Mirip dengan bang Dadin. Tapi bukan bang Dadin. Lalu siapa?

“Saya Rindu Hati. Pemimpin kampung ini….”

“Yung, bangun…Bangun… Sudah siang!”

“Apa lagi sih ini?!” Aku membentak.

Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Aku segera membuka mata dan melompat.

Lah?! Lah? Lah… Apa lagi ini? Sekarang aku berada di kamar tidur Anun. Kamar yang aku ‘kuasai’ bersama bang Dadin dulu jika ke sini.

“Ngape nga, Yung?” Suara Anun cemas.

“Din, kamu apakan Buyung?” Nampak wajah Dang Wawan sangat marah.

Nah, bang Dadin adalah lelaki paling malang kalau sudah berurusan denganku…haha..
Dengan wajah kesal dia keluar kamar diikuti oleh dang Wawan. Terdengar omelan dari anak bungsu Anun tersebut.

“Adik nga datang sekali-sekali, nga pukul…”

“Dari SMA sampai sekarang, aku lagi yang salah….” Rungut si pengacak rambut.

Anun memapahku hingga meja makan. Dang Wawan segera membuatkan aku kopi. Sedangkan si serba salah enggan memandangku.

“Kamu kenapa berteriak waktu abang bangunkan tadi?! Suara yang jelas ingin meringankan dakwaan dua orang yang kami segani.

“Aku bingung, bang…” Dari nada bicaraku, jelas ada beban.

Anun mengelus punggungku dengan lembut. Perlahan aku tenang.

“Buyung trus… Buyung trus yang disayang….”

Aku memandang Bang Dadin. Juga Anun dan Dang Wawan. Nada itu jelas menunjukkan kecemburuan yang sudah sangat lama beliau tahan. Lelaki yang sudah mulai tumbuh uban itu mau bangkit. Tapi gerakannya tertahan begitu melihat dua pasang mata memandang tajam ke arahnya.

Aku tidak enak hati.

“Nun, siapa Rindu Hati?” Tiba-tiba saja aku menanyakan ini. Kali ini semua mata memandang aku tajam.

“Rindu Hati?” Sedikit ada kebanggan dari mulut keriput wanita di sampingku.

“Tadi ketika Buyung dibangunkan oleh bang Dadin, Rindu Hati baru saja memperkenalkan diri.” Aku cengengesan.

Semua terdiam. Mata mereka menuntut penjelasan berikutnya.
Nah, aku tidak tahu mulai dari mana menjelaskan peristiwa tadi.

“Wajahnya mirip sama bang Dadin. Tapi jauh lebih ganteng…” Aku mulai mengurai kejadian-kejadian setelah menelan durian tembaga dari Dang Wawan.

“Yung, Rindu Hati itu adalah nyata orangnya. Kalian ini adalah keturunannya.” Telunjuk keriput Anun diarahkan ke wajah kami.

“Menurut cerita tetua-tetua kita, dia memang sangat tampan. Sebagai pemimpin masyarakat kampung, dia berwibawa, baik hati, alim, adil dan berilmu tinggi. Sebagai saudara dia kadang-kadang keras kepala.”

“Yang terakhir, nga tu, Yung!” Bang Dadin menimpali cerita Anun yang membuat dia menerima jelitan mata tajam dang Wawan. Seketika pesaing ketampananku itu (haha…) tertunduk. Rasain Lo! Haha…

“Dia disegani oleh kawan dan lawan. Pada suatu masa, seorang ratu jin yang sangat menginginkan dirinya mengacau dengan mengerahkan harimau jadi-jadian untuk membuat teror dalam desa dengan menculik lalu memangsa penduduk satu persatu.”

“Tadi Buyung dipukul dan mereka mengira Buyung adalah harimau. Itu bagaimana ceritanya, Nun?” Aku ingin penjelasan yang mengakibatkan aku dikeroyok dalam ruangan sempit tadi malam.

“Karena penduduk sudah semakin takut keluar rumah, maka ratu jin mengirim pasukan harimau jadi-jadiannya menyerupai seseorang. Lalu ikut bercengkerama atau ikut tidur dalam rumah calon korbannya. Pada saat semua lengah atau tertidur harimau itu menculik lalu memangsa korbannya.

Untungnya Rindu Hati tau ciri-ciri manusia jelmaan harimau anak buah ratu jin, yaitu tidak memiliki ceruk antara hidung dan bibir.”

Anun lalu menunjukkan tempat antara hidung dan bibirnya.

“Karena semakin banyak warga desa yang menjadi korban, baik laki-laki, perempuan, anak-anak dan orang tua, membuat orang mulai takut. Rindu hati mulai menyuruh warga untuk mengungsi.

Perlahan hari demi hari desa Lagan ini semakin sepi ditinggal penduduk mengungsi ke Sukarami sekarang.”

Rindu Hati tidak ikut serta. Karena Ratu jin hanya menginginkan dia. Maka buyut kalian itu mulai melakukan perlawanan. Ditemani temannya 2 ekor harimau putih beliau mulai mengejar pengikut pembuat teror.

Pasukan perempuan jadi-jadian itu kalah lalu menyingkir ke pedalaman dekat desa Sungai Mati. Untuk membuat Rindu Hati merasa bersalah maka si ratu akan mengambil jiwa-jiwa para perawan atau perjaka yang meninggal di sekitar wilayah kekuasaannya untuk dijadikan pengikut. Dan bersumpah akan menjadikan siapa saja keturunan Rindu Hati yang laki-laki menjadi suaminya sebagai ganti atas penolakan cintanya oleh manusia yang telah membuat dia jatuh cinta.”

Seketika aku teringat peristiwa di pondok sawah Aldhan salah seorang harimau belang di desa Sungai Mati.

“Semasa pengejaran Ratu Jin, Rindu Hati bersama 2 harimau putih, dan 4 ekor harimau belang yang merasa terfitnah oleh ratu jin, dan seekor harimau hitam bergabung dan menetap di sekitar desa Rindu Hati sekarang.”

Aku mulai merinding. Jangan-jangan 7 harimau muda dari desa Sungai Mati itu adalah harimau-harimau yang berjuang bersama Rindu Hati, buyutku yang tampan itu? Aku merasa bersalah mengingat usia mereka.

Untuk mengurangi rasa bersalahku, aku menyeruput kopi yang sudah dingin.

“Sebelum meninggal, Rindu Hati menitip pesan agar menjaga keturunannya yang memiliki anak lelaki tunggal dalam keluarganya. Dan itu cuma kamu, Yung….”

Aku terpaku. Tidak tahu harus bagaimana.

“Nun, kita keluarga besar. Ada banyak di Malaysia, Singapura bahkan ada di Oman, mengapa aku saja yang seolah-olah mendapatkan keistimewaan?”

Terus terang aku tidak nyaman dengan semua kondisi dalam hidupku gara-gara ini.

Aku mencoba mengulang pertanyaan yang tidak dijawab oleh Wan Murad.

‘Ngape bukan ku…? Kenapa bukan aku….?” Bang Dadin di depanku bersungut-sungut sambil menatapku. Kedua tangannya mengepal di atas meja. Urat-urat di kedua lengan terlihat menonjol.

Umpatan dan sikapnya menyulutkan sikap ketersinggungan ku.

Aku segera bangkit dan mencengkeram kerah bajunya dengan kedua tangan

“Abang mau?! Ambil, bang! Ambil!”

“Yung, tenang, Yung…!” Suara Dang Wawan. Sementara aku lihat wajah tua Anun terpana dengan sikapku. Terlihat jelek sekali.

“Dang, diam!” Tidak ada lagi kesopananku yang membentak pemilik wajah persegi tersebut

Aku melompati meja dan mendorong Bang Dadin hingga ke dinding.

“Abang kira aku suka dengan semua yang aku alami?! Aku dikejar-kejar ratu jin, diburu oleh manusia berkepala anjing, dijemput dan masuk dunia lelembut dan saat tidur seringkali melakukan hal nyata dan itu BUKAN AKU pelakunya.

Abang mau? Ambil, bang! Ambil semuanya!”

Aku tersinggung. Aku marah dan aku meradang. Aku meloncat menembus plafon dan menjebol atap. Aku berubah menjadi elang yang marah. Lalu mengepakkan sayap mengudara dan terbang dengan cepat.

“Rindu Hati, aku benci kamuuuu…!” Teriakku sekuat aku bisa. Tapi yang terdengar adalah pekikan keras dari seekor elang.