Cerita Rakyat Bengkulu Ie_Majie “Pulang”

Cerpen Oleh: ie_majie

Angin laut pada sore ini berhembus sedikit kencang. Membuat rambut gondrong laki-laki tiga puluh tahu ini berkibar-kibar. Matanya yang biasanya teduh, saat ini sayu. Sendu memandang sisa-sisa sunset yang indah di sore yang baru saja berlalu.

Masih ada bias jingga di langit. Namun gelap lebih menguasai. Pemuda lajang ini tidak menghiraukan kesendiriannya di tempat yang telah diliputi malam. Matanya memandang nun jauh ke horizon.

“Mau apa kamu ke sini…?”

Selama dua hari ini terngiang kalimat seorang nenek, tetangga rumah sahabatnya, yang dia tuju. Walau bernada biasa, tapi kalimat itu sangat menghujam di hatinya.

“Iya, mau apa aku ke sini?” Menggumamkan kembali pertanyaan di sela-sela desau angin laut.

Dia tertegun sesaat setelah si nenek bertanya. Bingung mau menjawab apa. Sempat gelagapan.

“Eh… Ah, anu nek, cuma main sama Rino… ”

Cuma itu yang bisa keluar dari mulutnya yang ditumbuhi kumis yang agak liar, ketika berpapasan di ruang belakang, antara rumah utama dan kamar mandi.

Selanjutnya, buru-buru dia ke kamar mandi. Di kamar mandi, dia bingung mau melakukan apa. Sambil menunduk memandangi air, kedua tangan menopang tubuh kekarnya di bak air.

“Mau apa aku ke sini?” Gumamnya pelan.

“Iya, mau apa aku ke sini?!” Ulangnya.

Di langit sudah ada bintang-bintang.
Bulan sabit nampak terang. Langit cerah, ada gumpalan-gumpalan kecil awan, putih bersih. Di permukaan laut, ada kilau-kilau kecil riak air.

Keindahan pemandangan di sekitar bukit kecil di tepi pantai ini berbanding terbalik dari suasana hati Geo, pemuda yang baru pulang dari pulau seberang tiga minggu lalu.

“Mau apa aku ke sini?” Dia mempertanyakan kembali alasannya ke desa ini.

Tiga hari lalu dia sangat semangat ketika menerima ajakan sahabatnya ke sini, waktu berkunjung di rumah orang tuanya. Niatnya hanya bersilaturahmi dengan keluarga Rino. Setelah lebih dari sepuluh tahun dia tidak pernah ke sini, sejak tamat SMA. Terakhir saat mau pamit akan kuliah di tanah seberang.

“Apa yang akan aku lakukan di sini?”

Terus terang saja, ketika memutuskan pulang dari rantau, dia hanya ingin meninggalkan kekacauan hati dan hidupnya. Sudah terlalu lelah dia bertarung di negeri orang. Pertarungan jiwa dan raga, juga kehormatan.

Semasa kuliah, pada semester pertama, Geo, seorang atlit voly di kampusnya, dikalahkan oleh intrik-intrik ketika akan bergabung dengan tim nasional. Semestinya salah satu bangku untuk pemain jadi miliknya. Dan itu terasa sakit hingga sekarang jika diingat.

Berangkat meninggalkan kota kecilnya dengan tekad mengejar masuk tim utama voly negeri ini, tapi terhempas. Dihempaskan oleh ketidakjujuran salah seorang saingannya.

Malam sebelum ujian terakhir masuk tim utama, Geo diajak oleh teman-teman satu tim untuk pesta di sebuah club. Selain dari mereka ikut serta juga beberapa gadis muda, rata-rata masih duduk di bangku sekolah menengah atas.

Geo, pemuda kampung yang dari keluarga sederhana, baru merasakan pesta-pesta seperti itu, dan tidak tahu dengan resiko makanan dan minuman yang dicekoki oleh teman-temannya dalam pesta yang dia ikuti.

Dan, ketika bangun, dia berada di dalam kamar sebuah hotel. Seorang gadis di dalam pelukannya. Mereka telanjang. Hanya ditutupi selimut. Pakaian mereka tadi malam berserakan hampir di seluruh kamar.

Pemuda yang memiliki dasar agama yang kuat ini kaget dan segera meloncat. Dengan menutup tubuh bagian bawah dengan kedua tangan, dia segera berlari masuk kamar mandi dan dengan kasar menutupnya.

“Apa yang terjadi?”

Dari balik tirai, terlihat dia memeriksa seluruh tubuhnya.

“Aaarrggghhhh….!” Terdengar teriakannya.

Ada suara gedoran yang sangat keras dari pintu kamar. Semakin lama gedoran itu semakin keras. Geo buru-buru menyambar handuk dan segera menutup tubuhnya, segera menuju pintu dan membukanya.

“Angkat tangan!”

Beberapa orang polisi menodongkan senjata dan salah satu tepat ke keningnya.

Bayangan itu sangat jelas membayang di pelupuk mata Geo yang sedang terpejam. Dan peristiwa itu adalah awal kegagalan cita-citanya.

Selama sepuluh tahun dia mendekam di penjara, dengan tuduhan memperkosa anak di bawah umur, putri seorang pejabat yang berkuasa dalam menentukan nama-nama yang terdaftar dalam tim volly yang ingin dia masuki.

Keluar dari penjara, dia tidak berani menatap dunia. Dia merasa hidupnya tidak punya masa depan lagi. Terlunta-lunta di negeri orang, hingga seorang perempuan setengah baya menawarkan pekerjaan sebagai tukang kebun di rumah besar milik perempuan tersebut yang sudah lima tahun dicerai oleh suaminya.

Sebenarnya, pekerjaan sebagai tukang kebun itu hanyalah alasan. Pekerjaan yang sesungguhnya adalah sebagai pemuas nafsu si tante dan jadi pendamping ke mana saja perempuan genit itu mau pergi.

Geo tidak bisa menolak, jika keinginan liar perempuan dari ibu tiga anak ini tidak dilayani, dia akan dilaporkan pada polisi dengan alasan percobaan pencurian, atau pemerkosaan.

Sejahtera memang kehidupannya, dan Geo bisa memiliki pakaian bagus, menyetir kendaraan, keluar masuk mall dan hotel. Makan enak, naik pesawat dan liburan ke tempat-tempat yang selama ini tidak berani dia bayangkan.

Tapi sampai kapan kehidupan seperti itu? Itulah pertanyaan yang sering hinggap dihatinya setiap kesendirian menerpanya.

Dan tiga minggu lalu dia bisa membebaskan diri dengan rekomendasi dokter yang merawatnya. Rindu pada orang tuanya tidak tertahan lagi. Alasan tersebut bukan dibuat-buat, saking rindunya, Geo harus dirawat di rumah sakit.

Sekarang, Geo, mantan gigolo ini berada di belaian angin laut. Tubuh tinggi dan terawat dibaringkan di atas rumput.

“Mau apa aku ke sini?”

Geo tidak bisa membuat jawaban.

“Sebenarnya, mau apa aku pulang?”

Itu adalah inti dari persoalannya. Mau melakukan apa di desa? Atau di kota kecilnya? Mau melanjutkan meniti karir di dunia olah raga, usianya sudah tidak memungkinkan lagi. Mau mencari pekerjaan, pekerjaan apa dengan bekal ijazah sekolah menengah atas? Membuat usaha? Bekal apa yang dia punya? Atau mengolah tanah orang tuanya yang kosong dengan luas tidak sampai setengah hektar?

Android belasan juta di sakunya bergetar. Sementara jam puluhan juta di tangannya menunjukkan pukul delapan malam lewat beberapa menit. Dia ragu untuk menyambut panggilan itu. Ketakutan akan dihubungi oleh tante yang ‘memelihara’ dia hampir satu tahun belakangan, menjadi trauma tersendiri baginya.

“Ini nomor baru, tidak mungkin dia… ” Bisik hatinya.

Dengan mengumpulkan keberanian, Geo merogoh sakunya dan tertegun sesaat ketika melihat nomor baru yang menghubungi.

“Halo… Assalamu’alaikum… ” Laki-laki yang sedang berbaring di rumput menyambut panggilan di androidnya.

“Kamu di mana, Yo?” Suara Rino sahabatnya.

“Di pantai belakang rumah, Rin. Ada apa?”

“Ayah suruh kamu pulang. Makan.”

“Iya… ”
Jawabnya , kemudian mengakhiri obrolan tersebut. Dengan berat hati Geo bangkit dan meninggalkan bukit yang telah rela menerima jiwa letihnya.

Ada getar hangat di hati saat mendengar kata ‘ayah suruh kamu pulang, makan’ saat disampaikan oleh temannya yang tetap menerima dia, walau dengan kondisi sekarang.

Suara Vespa tua milik Riino memecah keheningan hutan di kiri kanan jalan yang berbatu. Geo yang mengendarai benda klasik tersebut sangat berhati-hati. Selain jalan yang membahayakan, Vespa ini bukanlah kendaraan yang pas digunakan untuk melaju di jalan seperti ini.

Tujuannya pulang ke rumah orang tuanya. Ingin memulai menata hati dan hidupnya di sini.

Memasuki desa dan melewati serombongan warga yang lagi berkumpul di sebuah warung, Geo memelankan kendaraannya, menyapa dan tersenyum. Meninggalkan orang-orang tersebut dengan pikiran masing-masing.

“Yo, benarkah kamu pernah masuk penjara karena memperkosa, dan lonte lanang?”

Geo sempat terhenyak oleh pertanyaan pemilik warung di desanya, ketika pemuda ini mau belanja. Sempat muncul rasa malu, dan emosi. Tapi pesan ayah Rino membuat dia hanya tersenyum.

“Biarkan waktu yang menjelaskannya, cik… ” Jawab Geo tenang. Jawaban itu adalah jawaban dari kediaman sesaat.

“Dari mana mereka tahu?”

Pertanyaan yang menyertainya setelah pertanyaan ‘mau apa aku di sini?’

“Mau apa, dang balik ke desa? Desa ini bukan tempat yang pas untuk orang seperti dang…!”

Kalimat menghujam adik laki-lakinya membuat Geo gemetaran. Gemetar menahan malu dan terlecehkan.

“Jadi, kamu yang menyampaikan kepada warga?” Lirih nada kalimat Geo.

“Kenapa? Dang malu? Itukan kenyataannya?” Dengan sinis adiknya menjawab.

“Untuk apa?” Tajam mata Geo menyelidik manik-manik mata adiknya.

“Sudahlah dang. Dang tinggalkan saja desa ini. Bikin malu bak dan mak, juga seluruh keluarga. Lagian tidak ada tempat dang di sini. Aku tidak akan berbagi rumah ini dan tanah kebun.”

Geo menahan nafas. Sudah jelas baginya sekarang. Adiknya telah mengusir dia dari rumah milik mereka. Geo paham kalimat adiknya. Adiknya ingin menguasai rumah dan tanah kebun milik orang tua mereka.

“Kalau ada yang harus keluar dari rumah ini, maka yang keluar itu adalah kamu!”

Seorang laki-laki tua dan hampir bungkuk keluar dari kamar. Matanya tajam! Telunjuknya tepat ke hidung sang adik yang bertubuh kecil, kurus, berkulit agak gelap, rambut kasar dengan mata liar.

“Sekarang kamu tahu dengan malu? Ke mana malu kamu selama ini ketika menghabiskan seluruh uang yang kakakmu kirim? Ke mana malu kamu ketika kamu menjual tanah sebidang demi sebidang, dan uangnya kamu bawa ke mana? Di mana malu kamu ketika kamu menjual cincin, kalung dan gelang ibumu yang dia dapatkan dengan susah payah, dan uangnya kamu habiskan untuk apa? Dengan itu semua kamu masih ada rasa malu?

Apakah malu kamu sedang kamu lupakan ketika menjual kopi yang aku dan ibumu yang sudah tua ini memetik dan mengangkutnya dari kebun menuruni dan mendaki bukit serta menyeberangi sungai, dan uangnya tidak kami ketahui berapa?”

Ayah Geo berhenti sejenak, mengatur nafas tuanya yang tersengal-sengal, lalu lanjutnya,

“Aku dan ibumu tidak malu dengan kejadian yang dialami oleh kakak kamu, tapi kami malu memiliki anak seperti kamu!!!”

Suara tua itu menggelegar. Terdengar oleh tetangga kiri kanan rumah. Laki-laki tua yang hampir bungkuk ini menegakkan tubuhnya dan mengeluarkan amarah, yang sepertinya telah lama dia pendam.

“Jika kamu ada rasa malu, kamu yang keluar dari rumah ini dan meninggalkan desa ini!!!”

Kalimat yang sangat tegas, hingga tidak ada yang bisa membantahnya.

Wajah adik Geo memucat. Semua yang disampaikan oleh ayahnya benar. Dan dia tidak merasa bersalah atas semua yang telah dia lakukan. Dia tidak ingin keluar dari rumah ini, dan tidak juga mau berbagi dengan kakaknya.

Pertentangan tajam antara ayah dan adiknya menimbulkan konflik batin yang mendalam bagi Geo. Puncaknya adalah saat hujan lebat malam ini. Pemuda yang sudah hilang kepercayaan diri ini kembali meninggalkan rumah. Membawa semua pakaiannya dan barang berharga lainnya sebelum barang-barang tersebut hilang dijual adiknya.

Vespa yang berat semakin berat oleh tas besar yang penuh di punggungnya. Jalan desa yang berbatu dilalui dengan hanya menggiring kendaraan tersebut.

Diujung desa, di kesunyian malam dalam hujan lebat, Geo menghidupkan kendaraan pinjamannya.

Dia ingin pergi diam-diam, dan belum tahu tujuannya.

“Mau apa aku di sini?” Gumamnya di antara hujan.

Suara vespa dan cahaya lampunya semakin menjauh.

Di kamar mereka, sang adik yang terpaut tiga tahun dari usia laki-laki yang hampir kalah dengan nasib tersebut, memandang langit-langit kamar, dengan kedua tangan di kening. Sementara di kamar lain, seorang laki-laki tua berbaring menekuri cahaya redup lampu lima watt. Sudut matanya mengalir air mata.

Di atas dipan yang sama, di sampingnya, perempuan tua memunggungi si laki-laki. Bahunya bergetar. Perempuan tua yang hanya bisa melepaskan perasaannya dengan tangisan.

Catatan :
Cik (bahasa Rejang) : Bibi paling kecil atau orang yang masuk dalam tuturan itu.
Dang : panggilan untuk kakak tertua dalam suku Rejang, baik laki-laki atau perempuan, atau orang yang masuk dalam tuturan itu.
Bak : Ayah (bahasa Rejang)
Mak : ibu (bahasa Rejang)

Posting Terkait

Jangan Lewatkan