Cerpen: Benny Benardie
Sisa Pohon Mahoni tanaman kolonial masih tegak berdiri di Bengkulu Kota Marlborough. Masyarakat lokal menyebutnya Batang Kenina. Meskipun dahan dan rantingnya kini terancung oleh gesekan mesin chainsaw petugas pertamanan.
Sesekali masih tampak seorang perempuan berkereta angin (Bersepeda) mengoes melaju kencang. Pesona yang acap kali ku nanti dan ternyata perempuan cantik itu bernama Sri Maupasi. Ia sosok Srikandi dari Utara Bengkulu dan mungkin keturunan putri raja dari dusun pedalaman yang sudah lama hijrah ke kota.
Sri nama yang berarti cantik atau keindahan. Nah…Untuk Maupasi, banyak literatur namun belum aku temukan arti dari unjung nama itu. Mungkin Maupasi maksudnya singkatan dari “Mama Umpan Papa Sikat”. Bisa jadi ortunya dulu memberikan namanya Sri Maupasi yang berarti adalah keindahan mama umpan papa sikat.
”Ah…Tapi tak usah dihiraukan apa yang kupikirkan tentang arti nama itu. Lebih baik aku tetapkan dihati. Kalau dia sesungguhnya memang cantik dan menggairahkan semangat kelakianku. Dia membuatku tegar dan tetap optimis mengarungi hidup di negeri ‘Air Kecik Buayo Banyak’ ini, seperti pameo lama anak negeri selengex ini”.
Bila aku seekor ikan, tak hanya pesona kecantikan Sri yang membuat aku ‘klepak-klepek’, tapi ketawanya yang lepas tanpa beban membuat ‘insangku’ kembangkempis. Entah mengapa itu bisa terjadi! Mungkin mahabbah Tuhan jua yang bermain untuk ku.
Untuk saja khayalan ku ini tak terdengar oleh seekor kambing jantan. Bila Sang Kambing Jantan bisa mendengar, tentu Kambing itu akan berteriak geli, “Mmboook” katanya seakan mensuport atau mungkin juga menertawakan ulah insan yang kasmaran dihari senja.
Pendam Rasa
Kala itu senja Tahun 2016, awal diri ku berkesan berkenalan dengan Sri Maupasi. Saat itu ia bergaun hitam menyapa ku di depan rumahnya, sembari menggendong seorang bocah kecil.
Katanya dirinya sudah lama mengenalku. Kalimat inilah membuat keakraban dan tak ku hiraukan siapa anak kecil yang di gendongnya itu. Aku hanya fokus untuk Sri dan entah mengapa rasa itu sertamerta saja terjadi.
“Hei CK apakabar? Dah lama kita tak berjumpa”. Begitu sapa Sri Maupasi dengan memanggil inisial nama akrab ku, tentu CK bukan kepanjangan dari cipta karya. Teguran pertama memancing libido menggugah chemistry. Dari sinilah semuanya berawal.
Tak ku pikirkan rasa apa yang mendadak ada timbul dihati. Pikiran kala itu tak sempat bereaksi. Bisa saja itu rasa cinta. Bisa juga itu hanya empati atau hanya obsesi saja karena paras cantiknya. Yang jelas, tuturnya baik dan sopan membuat aku kagum.
Bila ada rasa gairah, aku rasa itu normal saja saat melihat Sri Maupasi tertawa lepas. Bingung? Ya…Memang kebingungan itu sempat berkecamuk, tapi aku sadar dan membiarkan rasa itu bermetamorprosa .
Benar saja waktu terus berlalu. Komunikasi kian berlanjut dengan romantika dan rasa yang menghujam terpendam. Diam tak mengungkap bukan artinya diriku kecut. Doa terus digaungkan menembus langit di Tuhan yang sama. Peluru tanpa kendali acapkali aku pelatukan.
Mungkin bila ini aku torehkan dalam Cerpen, tak pernah habis untuk di lukiskan. Muancukladi memang kisah ku ini dengan defininisi cinta yang unik. Cinta adalah rasa yang berkecamuk takkaruan dan menanti untuk diwujudkan agar mendapatkan rasa sayang.
Terbayang Raut wajah
Terik mentari Bengkulu Kota Marlborough yang menghitamkan kulit, tak mempupuskan banyangan raut wajah Sri Maupasi dengan kerudungnya. Harapan jiwa terus ku panjatkan di tahun 204 ini, untuk mengisi jiwa ku yang terkadang hampa dan sunyi. Seraut wajah purnama itu tetap ku nanti.
Terkadang ada rasa frustasi di jiwaku, saat banyak kabar berita miring Sri Maupasi yang ku terima. Merenung aku di teras beranda rumah sembari berucap, “Sampai hati dikau kiranya wahai pujaanku Sri Maupasi. Engkau biarkan hatiku luka dan kini masih berdarah menutup torehan asa rasa”.
Lintasan itu segera aku tampikan. Kuatnya rasa jiwaku pada dirinya membuat diriku tetap menganggap Sri Maupasi adalah sekuntum bunga nusa indah di taman sari. Bunga yang lama ku puja, meskipun di aral melintang menghadang, ia tetap aku puja. Ia bunga yang warnanya menarik hati.
Tak mau berprasangka, delapan kilometerpun aku tempuh berjalan kaki, hanya untuk menemui pujaan hati yang entah mengapa rasa ini bisa terjadi. Letih langkah kaki tergantikan dengan sumringah Sri Maupasi saat ditemui. Kesibukan ia bekerja tak tampikan diriku bertandang.
Keluhan nada kecewa tak aku tampakan diwajah. Tak pula terceritakan dituturku. Tetap aku tampakan lukisan harapan suci di raut wajahku. Tampak olehku ada gairah dimata pujaanku ini. Gairah rasa dahaga kasih insan berbudi. Ini membuat kata yang terucap terkadang terbatah-batah dihadapanya.
Rasa terdalam di relung hati juga tak mampu juga aku ucapkan. Mungkin renungan selama ini membendung rasa. tapi aku merasa puas untuk hanya dapat bertemu Sang Pujaan. Dari wajah Sri Maupasi aku melihat ukiran bicara hati.
Aku juga melihat kisah dibibirnya yang tipis. Meskipun aku belum mampu mengungkap rasa cintaku yang tulus kepadanya, tapi aku tetap mengharap cahaya tulus cinta ku dapat menembus kabut yang menyelimuti hati Sri Maupasi.
Rasaku Dia Tahu
Itulah perempuan, tak satupun yang mampu mengungkap isi hatinya. Klimaks memuncak membuat diriku menghantam peduli. Sebait kata ungkapan rasa cinta kulayangkan melalui pesan whatsAPP. Aku sadar andaikata apa yang akan terjadi. Aku tak peduli dalam kecemasan yang acapkali memperingati diri.
Bukannya rasa berkurang usai surat elektronikitu aku tayangkan, malah rasa cinta kian gundah menghujam jantung. Ungkapan tak dijawab. Senyuman gambar kartun membuat aku berwaksangka seperti bertepuk sebelah tangan, tertepuk kawan di sebelah.
Mungkinkah dia tahu kalau aku mengeluh dalam kerinduan ini? Bila tidak, alangkah malang nasibku di hajat yang terganggu. Ketidakpastian ini serasa kaku hidupku dalam penantian penanggungan.
“Untukmu Sri Maupasi. Ini ungkapanku yang sekian kalinya. Aku ingin katakan kalau aku sungguh tulus cinta kepadamu dan akan mengawinimu. Berilah aku jawaban dan kepastian. Tapi bila jawabanmu bergantung di awan tinggi, aku takkan kecewa. Aku kan tetap bersamamu. Hatiku takkan bertukar dan kepada Tuhan saja kuserahkan. Berilah aku jawaban wahai Sri Maupasi, meskipun diriku harus menanti diambang syurga”.
Itu tulisku di whatsAPP Sri yang hingga kini tak ada jawaban, selain rasaku menjawab kalaulah dirinya akan menerima. Tapi entahlah. Bila saja aku hidup zaman dahulu kala, tentunya kan ku tinggalkan Bengkulu kota Marlborough ini. Kan ku rambah hutan belantara dan menyepi disana. Tak tahan rasanya merendam rasa yang tak dapat dipaksa.
Akanku tempuh belantara berduri tanpa cita cinta dan rasa duka. Tapi itukan tak mungkin. “Emangnya gua gila apa?” kata orang kajarta.
Tapi itulah sekelumit kisahku pada Sri Maupasi sosok perempuan yang namanya berarti Keindahan (Sri) Mama Umpan Papa Sikat (Maupasi). Kini hanya pasrah sembari berharap takdir yang dapat di terima. Birakanlah jelingan matanya, sumrigahnya mencengkam dikalbu. Raut wajah cantikmu tetap tertawan dihatiku.
Sri Maupasi tetap dewi di hatiku dengan jelitamu. Akan ku tawan dirimu bersama sukma di dalam jiwaku. Bila kau tak dapat disampingku, aku tetap menunggu khilafmu. Jujur, bagiku kau umpama rembulan yang tinggi di awan, tapi ku tak berdaya hendak mencapainya.
Kamu tahu kenapa itu Sri? Karena aku bukan astronot. Bila aku dapat mencapai rembulan itu Sri, yakinkah satu kata untukmu, “Bederai”.
*Cerpenis tinggal di Bengkulu Kota Marlborough