Oleh: Bagus SLE
Udara panas yang mulai terasa menghangatkan tubuh, membuat aku terbangun. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ternyata saat ini aku berada di sebuah kamar yang rapi. Dan ini adalah kamar Jo.
Tubuh yang berkeringat membuat aku ingin segera mandi dan segera bangkit.
“Jam berapa sekarang?” Bertanya pada diri sendiri.
Aku mencari-cari hand phone yang aku ingat terakhir kali berada di saku celana. . Tidak ada. Lalu mengedarkan pandangan ke meja kamar, juga tidak ada. Setelah mencari-cari, ternyata benda tersebut ada di bawah bantal.
Aku sedikit tersenyum kecil. Jam pada layar menunjukkan hampir tengah hari. Ini rekor terlama aku tidur. Biasanya paling lama sebelum jam sepuluh pagi aku sudah terbangun.
Pertanyaan muncul di hatiku. Bagaimana aku bisa berada di kamar ini? Bukankah tadi malam aku masih di arena pertempuran tujuh harimau muda yang melindungiku?
Aku mencari si harimau belang hingga di dapur. Darii kamar mandi yang terpisah dari rumah utama aku mendengar ada orang lagi mencuci pakaian. Aku segera ke sana dan melongokkan kepala ke dalam melalui pintu yang terkuak.
“Mau kencing ya, bang?” Tanpa menoleh, Jo mengejutkan aku.
“Oh, nggak. Nggak kok. Sengaja nyari kamu.”
“Darah di baju abang agak susah hilangnya… ” Aku lihat Jo berusaha menghilang noda merah yang melekat di cuciannya.
Begitu tersadar kalau baju tersebut adalah baju yang aku kenakan tadi malam otomatis aku memperhatikan baju yang aku pakai saat ini. Sudah berganti semua hingga pakaian dalam.
“Siapa yang mengganti pakaian abang, Jo?”
“Aku bang. Tadi malam terlalu banyak darah, bahkan hingga ke pakaian dalam abang.”
Seketika aku membayang tubuhku yang telanjang bulat. Tanpa aku kehendaki, jengah langsung hinggap di hatiku. Aku malu.
“Kenapa bisa banyak darah di pakaian abang, Jo?”
Sambil membilas pakaianku, Jo memandang dan menatap dalam-dalam ke lubuk hatiku. Selanjutnya kembali menyibukkan dirinya. Tanpa ragu, dia membilas celana dalamku. Aku langsung terharu. Tidak banyak orang yang mau memegang celana dalam seseorang, apalagi cowok, kalau bukan karena dia merasa sudah merasa sangat dekat.
“Jam berapa kita pulang tadi malam? Dan bagaimana akhir dari pertempurannya?”
Tanpa menoleh sedikitpun, tanpa ada tanda-tanda akan menjawab pertanyaanku, Jo membawa ember yang berisi pakaian yang sudah dicuci yang akan dia jemur. Dia melewati aku begitu saja. Hampir saja aku meninju dia dengan kepalan tanganku yang amat geram.
Ini tidak boleh terjadi. Jangan ada lagi yang mengabaikan pertanyaan-pertanyaanku. Dengan kasar aku menghampiri pemuda yang sedang mengibas-ngibaskan celana yang aku kenakan tadi malam, memegang pundaknya dan memaksa dia menghadap ke arahku.
Tidak ada pengaruh. Aku menambah kekuatanku. Juga tidak mampu membuat Jo menghentikan kegiatannya, apa lagi untuk mengubah posisinya. Aku gunakan kedua tanganku, juga tidak berhasil.
“Abang mandi dulu sana. Tidak ada alasan airnya dingin. Setelah itu kita makan.”
Busyet! Malah membuat aku semakin geram. Tapi kali ini geram karena Jo menyinggung atas ketidakmampuanku untuk mandi, karena dingin air di desa mereka ini membuat aku tidak berani ke kamar mandi selain untuk buang hajat.
Jo membalas ‘serangan’ku padanya langsung ke titik rahasiaku.
Melihat aku tidak berdaya, dia tersenyum penuh kemenangan.
“Ayo mandi sana!” Perintah yang membuat aku terpaksa masuk kamar mandi sambil bersungut-sungut kesal.
Sebelum aku menutup pintu kamar mandi, masih aku mendengar tawa kemenangannya. Aku marah dan menyusun rencana pembalasan.
“Awas kamu, Jo!” Ancamku hanya dengan suara pelan, hehe
Setelah mandi, berganti pakaian di kamar, aku langsung menuju meja makan. Menu makan siang sudah terhidang.
Baru saja akan menyuap makanan ke mulut, Rival muncul menyertai angin. Dia langsung mencekal leher baju ku dan membawa aku ke belakang rumah, menyusul kemudian Jo.
Di depan aku melihat yang lain sudah berlari duluan menyusuri pematang sawah.
“Mengapa tidak berubah?”
Aku bertanya-tanya dalam hati. Mencari-cari jawaban, dan berusaha menghubung-hubungkan dan aku dapat kesimpulan, bahwa mereka tidak akan berubah kalau siang hari.
“Tidak bisa berubah atau tidak mau berubah pada siang hari?” Aku langsung menodong pertanyaan ini ke telinga Rival yang menggendong aku di punggungnya.
Di belakangku aku rasakan ada angin lain. Bukan angin yang menandakan Jo. Sepertinya ini angin harimau putih yang lain. Diaz tiba-tiba ada di belakang kami.
Rival dan Diaz berbelok dari jalur yang di tempuh oleh orang-orang yang terlebih dahulu.
Ketika kami mengubah jalur, Jo yang ada di belakang Diaz menyusul empat orang yang ada di depan. Aldhan, Fatur, Desta, Igo lalu di susul oleh Jo yang mempercepat larinya.
Nah, mengapa mereka berpisah sekarang? Masing-masing tujuannya ke mana?
Sebenarnya aku mau turun dari punggung Rival. Atau berpindah ke punggung Diaz yang tubuhnya lebih besar dari kami berdua. Tapi rasanya sia-sia. Selain aku merasakan bahwa mereka berdua saat ini diberi peran lebih untuk menjaga keselamatanku, aku pasti tidak akan bisa mengimbangi langkah mereka.
Selagi sedang menimbang-nimbang hal di atas, Tiba-tiba, kami meluncur ke dalam jurang yang di bawahnya mengalir sangat deras sungai yang berbatu.
Aku memejamkan mata. Tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi pada tubuh kami selanjutnya.
Byur…! Aku menunggu titik balik air yang membawa kami kembali ke atas. Aneh, kok malah semakin turun ke bawah? Atau kami tenggelam?
Sebenarnya sekarang ini aku dan dua harimau putih ini berada di mana? Ketika aku membuka mata, kami tidak lagi berada di dalam air. Tapi sebuah goa yang besar dan ada bias-bias cahaya yang masuk dari langit-langit.
Cuma kami bertiga.
“Abang tinggal saja di sini dulu. Abang akan aman selama abang tidak keluar dari goa ini.”
Selanjutnya, dua orang ini lalu menembus air yang menutupi mulut goa. Aku tidak diberi kesempatan sama sekali untuk bertanya, ataupun memberikan reaksi atas ucapan tadi.
“Hei, kalian ke mana? Aku kalian tinggalkan di mana?” Hanya gema suara ku yang membalik oleh dinding-dinding goa, dan hilang oleh deru air yang mengalir deras dan besar dari atas tanpa aku tahu berasal dari mana.
“Sialan!” Aku mengumpat-ngumpat sambil mengelilingi seluruh permukaan goa. Hanya dinding batu yang lembab. Tidak ada keistimewaan apapun yang membuat aku bisa menikmati waktu-waktu di dalam perut bumi ini, yang entah ada di mana.
Aku merasa benar-benar ditinggalkan sendirian. Di dalam goa yang lembab. Untuk berapa lama? Aku yakin ada alasan sendiri mereka melakukan ini. Lalu alasan itu apa? Keselamatanku kah? Kesalamatan dari bentuk ancaman yang bagaimana?
Dari penyelenggara pesta atau dari Byuto dan pasukannya?
Kebosanan sudah mulai melanda. Sudah entah berapa kali mengelilingi isi dalam goa, berharap ada sesuatu yang menghilangkan kebosanan, atau malah bertemu pintu rahasia menuju gudang harta karun misalnya.
“Hmmm… Siapa tau memang ada pintu rahasia menuju ruang yang menyimpan harta karun.”
Maka, dimulailah ‘perburuan’ pintu rahasia menuju harta karun tersebut. Jengkal demi jengkal dinding goa di perhatikan dan di raba-raba dengan sangat teliti. Lantai bawah, dinding dan ceruk-ceruk di balik bongkahan batu. Sia-sia.
Di tempat yang kering, lebih tinggi dan agak hangat, aku duduk istirahat. Pandangan tidak lepas dari air yang menjadi pintu goa ini.
“Mengapa tidak mencoba mengusir kebosanan dengan melewati air terjun tersebut?”
Aku melupakan pesan dua harimau putih tadi.
Langsung saja aku melompat turun. Baru saja jemariku menyentuh air, aku dikagetkan kemunculan seseorang. Menerobos deras curahan air dengan membawa beberapa utas rotan, kayu gelondongan besar sepanjang kurang lebih setengah meter, kulit kambing, pisau kecil, dan kampak.
Aku mundur beberapa langkah. Aku gemetar. Siapa yang akan menolongku dari orang yang wajahnya masih ditutup oleh caping pelindung kepala?
Lekat aku arahkan mata memperhatikan tangan dan kapak di pinggang laki-laki misterius ini.
Entah tidak tahu keberadaanku, atau memang dia tidak memperdulikan aku. Laki-laki yang menurut perkiraanku dari bentuk badannya, setengah baya ini sama sekali tidak menoleh padaku, apa lagi untuk melihat ataupun mengajak bercakap.
Satu persatu bawaannya di letakkan di lantai goa. Sedikit kekhawatiran terselip di hatiku, saat dia mulai menyentuh kapak. Aku bersiap-siap mengantisipasi kalau-kalau kapak itu akan di lemparkan ke arahku.
Pria tersebut memperhatikan kapak sesaat dan memikirkan sesuatu. Saat berikutnya dia duduk berjongkok, lalu memotong gelondongan kayu. Lama aku berharap laki-laki pemotong kayu ini melihat ke arahku, terserah dia mau bicara apa, atau malah bersikap yang mengancam.
Dari pada sekarang. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak dijawab itu memang sakit, tapi keberadaan kita yang ada tapi bagai tak ada itu, lebih sakit bro…
Hatiku berdegup-degup menahan emosi. Sumpah serapah menyertai setiap degup tersebut,walau hanya dalam hati. Aku bertekad supaya laki-laki yang sudah memotong kayu bulat yang dengan kecepatan yang harus diacungi jempol itu, harus mengakui keberadaanku.
“Hmmm… Dia belum tahu berhadapan dengan siapa… “
Berbagai ide usil dan sedikit kurang ajar bermunculan di hatiku.
Pertama aku mencari batu dan melemparkan ke dinding goa di belakang orang aneh yang sekarang sedang membuat lubang pada salah satu potongan kayu.
Suara batu yang menerpa dinding di belakangnya tak mengusik si laki-laki aneh ini.
“Atau orang ini tuli?”
Tanganku meraih batu yang lebih besar, dan segera melempar, tepat mengenai kayu yang sedang dilubangi.
“Yes! Berhasil!” Aku kegirangan.
Pembuat lubang kayu itu hanya menghentikan pekerjaannya sejenak, dan memandang pada batu dan kayu yang ada di tangannya. Lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Halo, ada orang di sini… “
Dengan volume suara sedikit dikeraskan, supaya di dengar oleh si manusia caping pemilik kapak.
Hanya suara deru air terjun, tak ada yang lain…
“Ke sini saja ding… “
Ading adalah panggilan untuk orang yang lebih muda bagi orang suku Serawai.
Aku menebak-nebak asal suara. Benarkah orang dengan perlengkapan kapak mengkilat itu memanggilku? Oke, ambil kesimpulan bahwa suara ajakan itu berasal dari orang yang aku belum ketahui bentuk wajahnya.
Pura-pura enggan aku melangkah mendekat. Berdiri tepat di depannya. Tidak ada reaksi. Masih sibuk dengan apa yang dia lakukan.
“Ehem… ” Masih tidak bisa membuat mata yang sibuk dengan pekerjaannya tersebut, beralih melihat ke arahku.
Kekesalan-kekesalan yang aku pendam selama ini kepada tujuh harimau muda yang tidak pernah menjawab pertanyaanku, di tambah dengan tidak diakuinya keberadaanku di dalam gua ini, membuat emosi memuncak.
Serpihan-serpihan kayu yang ada di bawah kaki, dengan menggunakan jemari kaki kanan, aku cuil ke arah wajah orang aneh ini. Hanya dengan sedikit mengibaskan kapak di tangannya, ‘senjata’ yang digunakan menyerangnya, malah berbalik menyerang wajahku, tanpa dapat dihindari. Inikah yang namanya senjata makan tuan?
Ada suara tawa yang sangat jelek keluar dari bibir di depanku.
“Duduk sini!” Menunjuk potongan kayu satunya.
Perasaan bagai baru saja mendapat jawaban cinta dari seorang anak perawan, kebahagiaan yang membuat melayang-layang, atas kemenangan mendapatkan perhatian dari tukang kayu yang ada di dalam gua minim cahaya ini.
Setelah duduk di tempat yang disediakan, aku memperhatikan wajah orang yang ada di samping kananku. Seperti dugaan, berumur paling tinggi lima puluh tahun berjambang dan berjenggot pendek dan rapi. Jenggot dan jambang yang hampir memutih semua.
Aku perhatikan raut wajahnya yang masih tampan itu lebih dalam. Ingin tahu lebih banyak informasi dari pancaran muka dan sinar mata. Tidak mendapatkan lebih banyak jawaban, selain aura ketenangan.
“Bikin apa, dang?”
Mendengar pertanyaan ini, matanya memandang wajahku.
Deg, jantungku berhenti sesaat berdetak melihat matanya memandang tepat ke mataku. Apakah arti pandangan itu? Yang pasti bukan pandangan cinta ataupun membunuh, haha
“Kamu orang Rejang ya?”
Tergagap dengan pertanyaan yang jauh dari perkiraan, mengakibatkan aku juga gagap menjawab.
“I… Iya, iya, Dang… “
Dang adalah panggilan hormat untuk kakak tertua dalam suku Rejang, dan untuk seluruh kakak bagi suku Serawai.
Tiba-tiba saja laki-laki tua ini merangkul aku dengan kuat. Aku berusaha melepaskan diri. Tapi dia tidak memberikan peluang itu.
Sambil mengguncang-guncangkan bahuku, dia tertawa terkekeh-kekeh.
“Uku tun Jang kulo” Ucapan ini mengandung kebahagiaan dan keakraban. Kalimat barusan yang berarti ‘Aku orang Rejang juga’ ini mengubah suasana berubah drastis.
Kalau tadi aku diacuhkan, sekarang malah bingung, aku diperlakukan bagai orang yang sangat dirindukan.
“Hampir empat puluh tahun dang tidak pernah lagi menggunakan bahasa Rejang. Setiap saat berbahasa Serawai, karena berada di lingkungan saudara-saudara orang Serawai.”
Terjawab sudah arti perubahan sikap tersebut.
“Dang bikin apa?” Pertanyaan yang tertunda sejak tadi.
“Kerangka redab. Dalam bahasa kita rebana.”
“Dang yakin bisa membuat redab dalam goa yang remang-remang ini?”
Tanpa menghentikan gerakan tangannya, dia menatap aku lucu. Aku merasa Dang Din, nama laki-laki ini, meremehkan pertanyaanku.
“Dang bahkan bisa membuat rebana dari memotong kayunya, hingga selesai sambil menutup mata dengan kain.”
Jawabnya bangga.
“Selesai?” Pertanyaan mengandung penasaran dan kagum.
“Tidak!” Disambut suara tawa yang membuat aku nyengir sesaat, lalu ikut tertawa.
“Tapi setelah melakukan berulang kali, dan menemukan rahasianya, Dang berhasil membuat Rebana jauh lebih sempurna ketika di buat dengan cahaya penuh.”
“Rahasianya di mana, Dang?”
“Pada penyatuan jiwa agar seirama dengan semua yang digunakan dalam membuat redab ini.”
Ah, aku tidak mengerti dengan pelajaran tingkat tinggi ini, tapi manggut-manggut, biar dikira paham…
Setiap ayunan kapak menimbulkan irama yang menggema di goa ini. Menarik minat untuk aku perhatikan ketukan demi ketukan mata kapak memotong-motong daging kayu, hingga meninggalkan kayu yang berbentuk lingkaran.
Dang Din merabai setiap permukaan lingkaran kerangka redab atau rebana tersebut. Sekali-kali dia menggunakan mata pisau kecil yang ada di pinggangnya, untuk meratakan sisa-sisa kapak.
Tangan kekarnya merogoh kantong celana dan mengeluarkan sesuatu, tapi kurang begitu jelas bagiku.
“Pecahan kaca sebagai penghalus.”
Dia menjelaskan apa yang akan aku tanyakan.
“Oh, sebagai pengganti ampelas… “
Sambil memperhatikan gerakan-gerakan tangannya, aku menyimak kata demi kata yang keluar dari pembuat redab. Kadang kami tertawa lepas, kadang hening, hanya ada suara gemuruh air dan gesekan-gesekan pecahan kaca pada kayu.
Hoaammm…aku menguap. Bukan karena bosan, tapi karena aku merasa lelah. Ada kekhawatiran menyelinap,mengingat kejadian-kejadian beberapa hari ini, yang selalu ada kejadian menakjubkan kalau rasa kantuk sudah melanda.
“Sudah,tidur saja. Dang akan selalu ada di sini”
Kalimat ini menghalau kekhawatiran di hatiku. Ada rasa aman pada perasaan.
Samar-samar alunan suara redap mengembalikan aku pada kesadaran, tanpa membuka mata. Semakin lama semakin jelas. Irama alat musik tradisional di semua suku dalam wilayah Bengkulu ini telah membangunkan aku.
Ingatanku kembali pada peristiwa kemaren, ketika ada pesta. Lengkap dengan semua kejadian. Tidak, aku tidak boleh tertidur. Segera aku melompat.
Ternyata suara alunan redap yang magis tadi berasal dari ketukan-ketukan tangan dang Din pada sebuah redap di pangkuannya yang bersila.
Berapa lama aku tertidur? Setengah hari kah? Melihat masih ada bias cahaya dari atap goa, aku memperkirakan hari masih siang.
“Sebentar sekali kamu tidur, ding… Suara redap dang menggangu tidurmu, ya? Maaf, dang tidak sabar lagi ingin mencoba redap yang baru saja selesai… “
Dang Din menghentikan tepukan-tepukan tangannya pada alat musik ini. Ada perasaan menyesal karena telah membangunkan aku.
Perkiraanku, aku sudah tidur paling tidak setengah hari. Hitunganku paling cepat waktu yang digunakan oleh dang Din untuk menyelesaikan sebuah redap memakan waktu setengah hari.
“Berapa lama aku tidur, dang?”
“Sepertinya tidak memakan waktu sepenanak nasi… “
Aku mengulang dua kata terakhir. Sepenanak nasi… Rasanya sudah sangat lama pengukuran waktu ini sejak terakhir aku dengar. Dua kata itu sering di sebutkan oleh orang tua dan kakek-nenekku, sebelum aku mengenal bangku sekolah.
Dua kata tersebut menggambarkan kurang lebih 2 jam.
“Kurang dari dua jam?!” Aku terperangah! Artinya dang Din membutuhkan waktu menyelesaikan lanjutan pengerjaan sebuah redap tidak sampai dua jam, dan sudah termasuk uji coba?
Aku mengangguk-angguk kagum.
Suara jangkrik mulai terdengar dari luar goa. Ada keriuhan suara satwa liar. Mungkin waktu sudah memaksa mereka pulang ke sarang, itu tandanya hari menjelang malam.
“Dang… Hampir malam… “
Ada getar ketakutan dari kalimat ini. Dan kenyataannya aku memang takut setiap kali waktu masuk dalam pangkuan gulita. Beberapa hari ini semua peristiwa menegangkan selalu saja pada waktu-waktu itu.
“Tidak usah khawatir, ayo ke sini, kita main redap.”
Duduk di samping dang Din, ada kenyamanan aku rasakan. Nyaman dan terlindungi. Selain kedewasaannya yang mengukur kejadian, juga dia paling tidak tahu tentang daerah ini.
Ketukan-ketukan pada redap di pangkuan dang Din pelan-pelan menggiring suasana hatiku masuk pada alam bawah sadar, tentang kemegahan-kemegahan, kesedihan, kegembiraan, bahkan tragis.
Apakah aku merindukan suara-suara ini? Sepertinya jiwaku mengatakan iya. Karena rasanya jiwaku menikmati suara redap ini. Kadang merasakan rintihan, keriangan, kadang seolah lagi berada dalam situasi cinta yang menggelora, kadang seolah bagai tentara siap perang.
“Ding, ini coba… “
Dang Din menyadarkan aku dari rangkulan mesra irama redap. Aku tersipu malu.
“Oh… Jangan dang. Biarkan aku menikmati alunan ketukan-ketukan jemari dang pada benda indah ini… “
Waaawww… Benarkah kalimat itu keluar dari mulutku? Kalimat seindah itu? Aku tidak percaya sama sekali.
Benda yang mengandung magis ini masih tetap disodorkan padaku. Tanpa bisa menolak, aku menerima dan merabai setiap lekuk dan permukaan benda ini. Sangat halus. Padahal hanya menggunakan kapak, pisau kecil dan potongan pecahan kaca.
Asal ketuk, tanpa ada keinginan sama sekali. Jujur, aku tidak pernah bisa menggunakan alat musik satupun! Kadang hingga mendapat bentakan orang yang mengajarkan.
“Dang saja. Aku lagi malas… ” Pengakuan yang terus terang sebenarnya.
Dengan muka kesal dang Din menerima benda dari tanganku. Aku menolak mentah-mentah niat baiknya untuk menurunkan keahliannya mempermainkan perasaan pendengar melalui alat sederhana ini.
Memang malam menjelang. Suara binatang malam semakin riuh. Bulan enam belas belum memunculkan terangnya. Dang Din masih menampakkan kesal. Tidak ada ketukan yang bisa memainkan rasa kembali. Di satu sisi aku tidak mau mempelajari ilmu yang ia punya.
Mungkin dia berfikir aku orang yang terlalu angkuh.
Aku menghampiri laki-laki yang sedang menghadap mulut Goa yang ditutupi oleh air terjun, bermaksud mengembalikan suasana hatinya.
“Dang, maafkan aku… Bukan maksud menolak niat baik, dang. Tapi karena aku belum siap mempelajari yang bagi aku ilmu tinggi ini. Aku masih memikirkan banyak hal, terutama yang terjadi tiga hari tiga malam terakhir ini.”
Wajah yang kesal tadi, berubah sedikit cerah. Mataku yang sudah menyesuaikan dengan suasana gelap goa, dibantu oleh biasan cahaya malam yang redup, memperlihatkan bagaimana perubahan air muka tersebut.
Kehangatan seorang Dang Din yang menurutku maestro pembuat redap dan menggunakannya, kembali aku rasakan. Rasa keberadaan yang tidak diakui awal-awal tadi lenyap entah kemana.
Sekarang kami bagai saudara yang sudah sangat lama tidak bertemu