Cerpen, Word Pers Indonesia – Entah di mana, kurang jelas bagiku. Aku melihat dua orang bayi yang sedang di pelukan seorang laki-laki, berumur kurang dari setahun. Bayi yang sebelah kiri selalu mengajak bayi yang di sebelah kanan bermain, tapi ini membuat si pemangku merasa terganggu lalu melemparkan si bayi ke dalam got yang hanya pas buat si bayi.
Si bayi tidak menangis, dan berusaha keluar dari lubang sempit itu, tapi dia tidak bisa bergerak. Aku menghampiri, ketika melihatku dia tersenyum. Segera aku raih dan mengeluarkan bayi periang ini, dan meletakkan pada tempat yang baik untuk dia bermain.
Seperti tidak terpengaruh oleh kejadian yang baru saja dia alami, bayi ini dengan riang menuju air dan bermain di situ. Ada dua orang perempuan berada tidak jauh dari situ memegang hand phone, dan mengarahkan pada si bayi. Mungkin mau mengabadikan tingkah lucu dan berani si bayi.
“Mana ibu si bayi?” Bisikku dalam hati. Aku sangat menghawatirkan keselamatan si bayi yang bermain air tersebut. Apa lagi tempat yang dia masuki sekarang sangat berbahaya bagi dirinya.
Benar dugaanku, aku melihat air mulai masuk hidung dan mulut si bayi yang bergerak-gerak seperti menggelepar minta tolong.
Aku edarkan pandangan pada pria yang melempar bayi tadi dan dua orang perempuan yang memegang hand phone. Mereka malah mengalihkan pandangan.
Aku segera melompat dan meraih bayi yang hampir tenggelam ini. Mukanya sudah sangat pucat. Dengan panik aku berusaha mengeluarkan air dengan menyedot hidungnya. Tidak ada yang keluar. Aku berusaha semakin keras. Tetap tidak ada air yang bisa aku hisap.
Sambil berfikir sejenak, layak atau tidak layak yang akan aku lakukan berikut ini. Tidak boleh lama, selanjutnya aku angkat kaki si bayi dan membiarkan kepalanya ke bawah. Air mengucur deras dari mulut, dan hidung. Lama menunggu, air semakin lama semakin berkurang. Ketika tinggal tetesan, si bayi terbatuk. Aku lega, lalu mendekap si bayi. Wajah putihnya mulai memerah. Perlahan dia menggerakkan wajahnya dan berusaha tersenyum dan memandang ke mataku. Ketika mata kami bertemu, aku terbangun.
“Oh, rupanya ini sebuah mimpi.. . ”
Tubuhku berkeringat. Aneh… Belum pernah aku berkeringat sebelumnya ketika tidur di sini. Dan juga belum pernah bermimpi setiap kali aku menginap di cabang usahaku ini.
Aku kembali berusaha tidur, karena malam ternyata masih belum lagi jam tiga pagi.
Malam di Liku Sembilan adalah tantangan sendiri bagi pelaku usaha yang mencari uang sebagai penyambung kehidupan mereka. Sepi dan gelap bila malam menjelang. Untuk mengatasi masalah ini mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk menghidupkan jenset sebagai sumber penerangan mereka.
Krak! Suara di antara keheningan obrolan aku dan Nunu. Kami kaget. Suara itu sangat jelas terdengar. Berasal dari kumpulan pohon bambu seberang jalan.
Krak! Suara ini lebih keras dari yang pertama. Krak! Krak! Krak! Suara bersusulan semakin keras.
Nunu segera mengambil senter di dalam dan mengarahkan cahayanya ke arah suara-suara itu. Sekarang pohon-pohon bambu yang tadi kelihatan samar-samar dapat kami lihat dengan jelas. Aneh, tidak ada yang patah.
Aku yang pernah mengalami hal ini di Bukit Macan langsung merinding.
“Jangan, Nu!” Aku mencegah laki-laki gempal itu yang akan melangkah ke sumber suara.
“Nunu, berhenti!” Perintahku tegas ketika laki-laki 2 anak ini tidak mengindahkan peringatanku.
Muka bulat dan mata sipitnya melihatku ke arahku bingung.
“Kenapa, pak?”
“Pokoknya jangan!” Ucapku dengan mata tetap memperhatikan sekitar sumber suara tadi
“Ayo kita hidupkan api. Kumpulkan kardus-kardus, plastik-plastik!” Aku langsung bergerak mencari dua benda yang akan menjadi sumber api.
Begitu dapat, langsung dibakar di halaman kedai. Dengan bantuan mancis gas pelan-pelang api mulai menyala. Semakin lama semakin besar. Aku tumpuk kardus, plastik atau apapun yang bisa aku bakar. Aku ingin membuat api sebesar mungkin.
“Nu, jangan jauh dariku!”
“Kenapa, pak?” Pertanyaan penuh dengan kebingungan.
“Nanti aku jelaskan. Sekarang kita harus menjaga agar api ini semakin besar dan tidak mati.”
Walau tidak paham dengan situasi, pria dengan keahlian tambahan membuka jasa penambal ban motor dan mobil ini mengikuti perintahku.
Ada aroma darah menyeruak masuk ke hidungku yang aku tangkap di udara.
Seketika aku ingat anak istri laki-laki yang sedang bersamaku.
“Nu, lihat anak dan istrimu. Bawa api ke dalam. Jika mereka masih tidur, bangunkan dengan paksa.!”
Mata kecil itu memandangku bingung!
“Sekarang dan jangan bertanya!” Aku membentak dan segera diikuti.
Dari dalam terdengar suara- kepala keluarga itu membangunkan istri dan dua anaknya. Terdengar keributan dari dalam.
Aku fokus memperhatikan sekeliling dan menbaui udara. Aku tidak mencium aroma darah itu lagi.
Astaga! Aku langsung berlari ke dalam. Memperhatikan setiap orang. Dua anak yang masih diliputi rasa kantuk itu masih segar. Lalu perhatianku aku tuju pada ibu dari anak-anak tersebut. Pucat dan lunglai. Dari hidung dan bibirnya masih ada tetesan darah segar.
“Masih hidup!” Ucapku dalam hati.
Aku letakkan telapak tanganku ke kening wanita yang sangat lemas itu. Masih hangat.
“Ada apa Wak?” Kedua anak Nunu bergantian mempertanyakan padaku.
“Kalian jangan tidur. Jaga ibu kalian. Nu, kamu harus merokok, sekarang!” Dengan kalimat yang bernada jangan ada bantahan sambil aku menyerahkan sebatang rokok yang sudah aku nyalakan.
“Ikuti perintahku, maka tidak akan terjadi apa-apa malam ini. Jangan keluar dan usahakan api tetap menyala.”
Aku bergegas keluar untuk menjaga agar api semakin membesar. Apapun yang bisa aku jadikan sebagai bahan yang bisa dimakan oleh api dengan cepat, aku ambil dan menumpukkan ke atas api. Ban dalam dan luar motor bekas, sampah-sampah plastik, dan botol air plastik ataupun bekas-bekas papan. Pokoknya api harus hidup sepanjang malam.
Api semakin besar. Aku memandang pokok bambu. Tidak ada yang mencurigakan. Di bawah-bawah pohon dan semak dekat bambu, atau di sekitar pondok. Kalau-kalau ada cahaya mata dari mahkluk yang aku curigai. Tidak ada.
Aku juga tidak melihat anjing pertanda kehadiran pasukan Byuto yang selalu mengincar aku.
Krak! Kali ini suara berasal dari pohon di atas pondok. Reflek aku melihat ke arah tersebut. Satu bayangan yang tidak jelas bentuknya meloncat dari pohon ke pohon. Kemudian diikuti oleh suara dan bayangan yang sama sebanyak tiga kali dari pohon-pohon sekitar pohon pertama.
Ada suara lengkingan yang sama persis ketika aku berada di Bukit Macan waktu itu. Aku masih belum bisa melafalkan hingga sekarang. Entah teriakan, entah lolongan, antah dengusan.
Aku menunggu sejenak sambil memperhatikan sekeliling. Aku sangat waspada jika ada serangan dari yang lain. Untungnya tidak ada
“Nu, bagaimana kondisi di dalam?” Teriakku. Posisiku masih di dekat api.
“Semua masih terjaga, pak. Anak-anak ketakutan.”
Aku masuk. Di tanganku membawa sebatang bambu dengan api yang masih meliuk-liuk ditiup angin. Ketika aku melewati meja dekat pintu, bayangan seekor anjing meloncat dari bawah meja lalu berlari menjauh masuk ke dalam gelap bayangan hutan.
Tubuhku yang berkeringat sempat terkejut dan terpukau sesaat sebelum tersadar kembali dan bergegas ke dalam.
Dengan api yang menyala aku memeriksa setiap bawah meja, kursi atau tempat gelap lainnya yang ada di dalam kedai sekaligus tempat tinggal keluarga ini.
Sejujurnya aku sangat takut sekarang. Byuto dan pasukannya mengikutiku hingga ke sini. Sedangkan tujuh harimau muda tidak ada satupun bersamaku.
Jo si harimau belang yang selalu siap melindungi dan menyelamatkan aku saat ini ada di kampungnya.
Rival si pemarah yang merupakan wujud harimau putih yang selama ini melakukan hal yang sama seperti Jo sedang berada di kota bersama lima harimau lainnya
Nah, siapa yang bakal menyelamatkan aku dan semua orang yang ada bersamaku saat ini?
Aku semakin berkeringat. Tapi sekarang adalah keringat dingin refleksi dari ketakutanku.
Aku was-was dengan pergerakan apapun. Daun-daun yang ditiup angin, atau suara binatang malam yang tadi sempat tak terdengar.
Tiga lampu minyak yang aku temui aku hidupkan semua. Sayangnya mesin jenset tidak bisa dihidupkan kembali karena habis minyak sesaat sebelum suara bambu patah tadi.
Ruang tengah kedai terang oleh cahaya lampu. Tapi aku masih mewaspadai kedatangan belalang ataupun ngengat yang akan menabrakkan dirinya ke api lampu dengan maksud mematikan sumber cahaya.
Salah satu pertanda awal akan kedatangan Byuto adalah kehadiran salah satu atau kedua binatang ini untuk mematikan lampu dari rumah atau pondok calon target yang akan dihisap darah hingga kering tanpa menyentuh sama sekali ketika korban sedang tidur.
“Ada apa, Wak?” Lang anak tertua Nunu yang baru duduk di kelas enam SD ini ingin jawaban dari situasi sekarang.
Mata Nunu, Rara dan Mely memandangku menuntut hal yang sama. Mata bulat milik perempuan yang masih bersandar di dinding kamar memandang sayu ke padaku.
Jelas dia belum sadar dengan apa yang menimpanya. Hampir saja Byuto menghisap seluruh darah ditubuhnya.dan akan menjadi mayat tanpa setetespun cairan darah lagi
Itu kesimpulan yang aku ambil ketika melihat ada dua titik merah di bawah bibir dan hidungnya berdasarkan cerita yang disampaikan oleh Jo ataupun Rival kepadaku.
“Tidak tahu. Cuma Wak antisipasi saja dari binatang buas. Tadi ada beberapa suara pohon bambu patah.”
Jawabku dengan nada ragu apakah mereka akan percaya atau tidak. Dari pada aku menceritakan sesuatu yang tidak masuk akal tentang makhluk berbadan manusia dan berkepala anjing yang menjadikan darah manusia sebagai bahan konsumsi utamanya?
Untungnya tidak ada pertanyaan lain lagi. Pastilah ayah mereka sudah menjelaskan terlebih dahulu awal dari kejadian ini.
Di luar, api mulai mengecil. Aku segera mengambil ban yang banyak tergantung di dinding kedai bagian luar. Barang bekas itu aku jadikan bahan bakar untuk membesarkan api.
Cahaya redup bulan empat belas menciptakan batang-batang gelap di bawah pohon dan daun-daun memantulkan cahaya itu. Pendaran cahaya dari pantulan itu sebenarnya adalah hal yang aku suka. Tapi pada saat ini, aku ingin cahaya bulan segera berganti dengan sinar matahari yang hangat.
“Kalian jangan ada yang tidur. Kamu, Nu, merokoklah lagi setiapkali rokokmu habis.”
Insruksi yang aku berikan dari luar.
Sebenarnya aku sangat takut berada di luar. Tapi lebih takut lagi dengan kedatangan pasukan Byuto tanpa aku ketahui. Aku sangat tidak ingin pengurus usahaku terutama keluarganya menjadi korban dari keberadaanku di sekitar mereka.
Perlahan langit di arah timur mulai memerah. Pelan-pelan aku lega. Malam yang penuh misteri akan berganti dengan siang yang terang benderang.
Semburat merah semakin meluas. Ah, ini keindahan yang selalu dikejar oleh para penakluk ketinggian pegunungan. Keindahan yang merupakan candu yang sangat ampuh untuk membuat jiwa-jiwa petualang tidak pernah puas.
Aneh, sejak sesaat sebelum suara bambu patah tadi, tidak ada kendaraan yang lewat. Baik dari kota maupun dari arah Kepahiang.
Aku segera mengambil hp yang ada dalam kantong jaket yang sedang aku kenakan. Aku membuka grup info liku sembilan di Facebook.
Benar saja, tidak jauh setelah perbatasan Kepahiang ada pohon besar tumbang. Begitu juga di dekat rest area . Apakah tadi ada angin kencang atau hujan ya, yang bisa menyebabkan dua pohon tumbang bersamaan.
“Pasti ini ulah Byuto.” Kesimpulanku sok pintar hehe
Perlahan siang menjelang. Satu persatu kendaraan mulai melintas di depan kami yang menghadap meja. Di hadapanku, Nunu dan Lang masing-masing ada segelas kopi.
Rara memegang gelas berisi susu coklat di kedua tangannya. Dia ingin menghangatkan kedua tangannya dari dingin udara pagi. Begitu juga Meli. Lang mengambil inisiatif membuatkan minuman ini untuk kami.
Tumben anak ini rajin. Biasanya diperintahpun dia kadang agak segan melakukannya.
Wajah milik istri Nunu masih pucat. Walaupun tidak sepucat tadi. Pertanda dia akan pulih seperti semula.
Aku semakin lega dengan perubahan ini.
Pagi dengan minuman hangat yang berisik. Rara yang baru menduduki kelas 2 sekolah dasar dengan kecerewetannya kembali mengulas kejadian yang mereka alami tadi. Saling bersahutan dengan Lang.
Si ibu hanya menanggapi dengan senyum. Saat sang ayah bercerita, semua mata memandang dengan rona takut dan takjub.
Sesekali aku timpali sekedar untuk memeriahkan suasana. Tentu saja Byuto adalah rahasiaku yang tidak akan mereka ketahui. Apalagi soal Meli yang hampir jadi korban.
Adilkah aku? Nanti saja memikirkannya hihihi…
Langit mendung. Sekali-kali ada guruh terdengar. Gerimis mulai menyertai perjalanan begitu kami keluar dari jalan raya. Semakin lama semakin lebat.
Udara dingin pegunungan semakin dingin. Apa lagi ketika kami, aku, Nunu dan Leksy mulai masuk jalan setapak yang kiri dan kanannya dikelilingi oleh gelap hutan.
Rencananya, malam ini kami akan makan durian sepuasnya langsung di bawah pohon. Tidak perduli oleh hujan lebat
“Semakin hujan dan angin semakin banyak durian yang jatuh.” Kalimat dari mulut pemuda yang pernah menjadi salah seorang karyawanku itu meniadakan keragu-raguan kami.
Inilah kalimat yang membuat aku nekat walaupun kekhawatiran dengan kejadian malam tadi membayang terus menerus di mata dan otakku.
Dengan motor modifikasi untuk jalur berat sebagai alat angkut dari atau ke kebun, malam ini kami naiki bertiga. Joki kami, Nunu adalah pengendara yang handal menaklukkan jalan tanah licin dan naik turun seperti sekarang ini.
Udara sangat dingin. Aku merasakan Leksy menggigil di belakangku. Sementara geraham Nunu gemerutuk. Tubuh gemuknyapun sesekali bergetar.
Aku kira ini bukan dingin yang di sebabkan oleh hujan tapi oleh hal lain.
Leksy dan Nunu membenahi jaket mereka. Aku sibuk memperhatikan sepanjang kiri dan kanan jalan. Khawatir kalau-kalau ada yang mengikuti.
Aku berusaha tenang ketika melihat ada beberapa bayangan berlarian searah dengan kami di antara gelap pohon dan pura-pura tidak terpengaruh oleh peningkatan suhu ini.
Motor berbelok ke arah bibir tebing sebelah kiri lalu berhenti pada sedikit tanah datar. Leksy segera turun kemudian aku melakukan hal yang sama. Sedikit meregang-regang tubuh.
Dengan senter masing-masing di tangan kami menuruni tebing. Di depanku pemuda dua puluh dua tahun itu berjalan dengan semangat. Aku di belakangnya. Sedangkan pemilik kebun masih berusaha memarkirkan motornya dengan benar.
“Leks, kita langsung saja ke pondok. Tidak usah mencari duren dulu. Ambil saja yang kita temui di jalan yang kita tempuh. Kita hidupkan api. Aku dingin.”
“Siap, bos!” Jawabnya jenaka.
Inilah yang aku suka dari dia. Walau kadang ngeyel, dia selalu sigap dan melakukan dengan baik seriap yang aku instruksikan.
Seperti tadi sorepun, dia langsung tancap gas dari rumahnya di Kepahiang begitu aku kabarkan akan menjaga duren malam ini.
Aku ambil sebatang rokok, dan segera menyalakan dengan maksud agar ada api sebelum pemilik kumis tipis itu dapat menghidupkan api. Jaga-jaga kalau bayangan yang aku lihat tadi adalah gerombolan anak buah si manusia berkepala anjing.
Api sudah mulai menyala. Udara masih tetap dingin. Tapi setidaknya aku sedikit merasa tenang. Jika udara dingin ini disebabkan oleh Byuto, maka selagi ada api, pasukannya tidak akan berani menyerang.
Selagi kami tetap terjaga maka kami akan selamat.
Nunu sampai dengan dua buah durian besar di tangannya. Aroma khas menyeruak rongga pernapasanku. Begitu diletakkan di atas lantai bangunan ala kadar ini, aku langsung mengambill dan membelah buah yang penuh duri itu
Braaakkk…! Suara pohon patah, atau tumbang. Jatuh tepat di depan kami. Aku terlonjak. Durian di tanganku terlempar ke tanah. Leksy hampir saja terjerembab ke api kalau saja dia tidak dapat berpegangan pada tiang pondok. Nunu melemparkan dirinya tiga langkah ke belakang. Kalau tidak, salah satu dahan akan mengenai tubuhnya.
Sesaat kami terdiam. Terpaku pada tempat masing-masing.
Leksy yang paling muda segera memeriksa dahan yang hampir menimpa kami.
“Dahan durian.” Laporannya begitu melihat jelas benda yang jatuh barusan.
“Sayangnya tidak ada satupun buah bersamanya.” Lanjutnya dengan bergurau.
Hehe…masih bisa bercanda dia…
“Tapi api kita hampir saja mati.” Ada kesal di suara itu dan segera melanjutkan tugasnya membuatkan api sekaligus memasak air untuk menyeduh kopi.
Aku gusar, tapi berusaha menghalaunya dengan merokok. Di atas tebing, di antara cahaya kilat, aku melihat pantulan beberapa pasang mata.
“Hidupkan rokok, mari kita merokok bersama-sama… ”
Aku tidak tahu seperti apa nada bicaraku, dan berusaha tenang.
Tepat tengah malam bulan purnama menyinari kebun durian ini. Cahaya kebiruan lembut menerangi celah-celah yang tidak terhalang oleh dedaunan.
Hujan sudah lama berhenti sejak jatuhnya dahan durian.
Buk! Ada suara durian jatuh. Sedikit jauh dari pondok. Kami biarkan saja. Dengan niat akan diambil nanti setelah banyak.
Tapi aku melihat ada bayangan menyelinap dan mengendap-endap di gelap bayangan pohon-pohon .
Aku perhatikan dengan seksama. Ingin tahu itu bayangan apa. Byutokah? Atau mata-matanya? Bukan. Bukan mahkluk yang selalu mengikutiku tersebut.
Atau harimau? Bukankah harimau juga menyukai durian menurut cerita-cerita orang tua?
Tubuhku langsung meremang memikirkan hal ini. Mengingat pengalaman yang memalukan ketika berhadapan dengan Puyang Penjaga Rafflesia di desa Sungai Mati beberapa waktu lalu.
Sepasang mata kuning menyala terang dalam gelap. Sepertinya mata itu tepat memandang mataku. Aku melihat dua orang ‘pengawal’ ku, apakah mereka melihat atau tidak apa yang aku lihat.
Syukurlah mereka tidak tahu apa yang menjadi perhatianku. Andai mereka tahu, tentulah mereka akan jadi bebanku nanti (Halah,…gayaku…haha).
Dari hawa yang aku rasakan, ini bukanlah salah satu dari tujuh harimau muda. Harimau aslikah?
“Piu!” Aku mencoba berkomunikasi.
Tidak ada jawaban. Malah aku melihat harimau itu sekarang duduk dengan mengibas-ngibaskan ekor.
Nunu dan Leksy kaget dengan kata barusan.
“Ngomong apa bapak ni…” Celetukan Leksy menenangkan hatiku. Artinya mereka berdua belum tahu tentang komunikasi para manusia harimau.
Mereka malah tertawa ketika aku garuk-garuk kepala karena tidak tahu harus menjawab apa.
“Kalian tinggal di sini saja. Aku mau nyari duren yang jatuh tadi.”
Nah, dari mana keberanian ini?
Mantap aku melangkah menuju balik pohon durian yang besar di mana seekor harimau menungguku. Firasatku mengatakan demikian.
Benar, harimau itu tampaknya tidak akan membahayakanku. Begitu mata kami bertatapan, mulutnya menyeringai. Mungkin sebagai senyum selamat bertemu.
Aku merasakan pergerakan lembut dari pohon yang sekarang aku sandar. Semakin lama aku merasakan batang yang keras perlahan lembut, empuk dan berbulu. Menyadari hal ini aku melihat apa yang aku sandar.
“Astaga!” Aku kaget tak kepalang. Dari pohon durian yang aku sandarkan tadi perlahan keluar mahkluk sangat tinggi, berbulu putih. Matanya merah tapi ramah melihat ke wajahku.
Aku mengarahkan wajahku ke arah Nunu dan Leksy. Tidak ada yang memperhatikan kami. Aneh…ada seseorang melangkah mendekati mereka sambil membawa durian. Perawakan orang tersebut mirip denganku, bahkan pakaiannyapun sama dengan yang aku kenakan.
“Ah, nanti saja mengetahui orang tersebut.” Bisikku dalam hati.
Moment yang sekarang jauh lebih membutuhkan perhatianku.
Tapi bagaimana memulai pembicaraan pada mereka? Walau aku telah bergaul dengan para ‘harimau’ tapi aku belum diajarkan bahasa ‘mereka’. Dah makhluk sangat tinggi, berbulu putih dan bermata merah ini, bagaimana wajahnya? Bulu-bulu panjang menutupi bentuk wajahnya. Dan bagaimana bahasanya?
“Assalam….” Baru saja aku akan menyapa dengan salam. Satu tangan milik mahkluk putih itu memukulku sangat kuat hingga aku terbang di udara.
Aku terkejut tapi tidak takut. Harimau dan mahkluk yang melemparkanku tadi mengikuti arah ke mana aku terlempar.
Penulis: ie_majie SLE Bagus