Tiga Laki-Laki

Bab 1 : Tuhan… Tolong….

Baru saja Ryu melakukan siaran langsung FBnya, tiba-tiba…

” Assalamualaikum om… ”
“Waalaikumsalam… Masuk! ”

Dua orang anak laki-laki ada di depan pintu. Kucel, pucat, berkeringat, dan saling bergandengan tangan.

Ryu hentikan siaran langsung fb-nya dan segera mendekati kedua anak tersebut. Dengan lembut memegang pundak mereka dan menggiring mereka untuk duduk di salah satu meja cafe.

“Duduk sini ya, jangan takut. ”

Setelah mereka duduk, Ryu segera mengambil dua gelas air putih. Ketika menunggu gelas penuh, Ryu melihat ke mereka dan tersenyum. Sang kakak meraih tangan sang adik dan menggenggamnya. Ryu terharu melihat ini, tanpa tahu maksudnya.

Setelah gelas-gelas tersebut penuh, meletakkan di nampan yg terbaik yang mereka punya, dan memberikan pada mereka.

“Terimakasih om. ”

Mereka tersenyum, tapi Ryu melihat, itu senyum yang hampir sirna.

“Ayo diminum, jangan dilihat saja. ”

Pria kurus ini menawarkan ketika mereka hanya melihatnya saja. Sang kakak meraih gelas,tangannya gemetaran, dan segera mengarahkan ke mulut adiknya. Sang adik membuka mulut lalu meminum air tersebut. Sambil minum, mata sang adik melihat ke arah pada Ryu.

Setelah air dalam gelas tinggal setengah, sang adik menolak untuk minum lagi, dan sang kakak meminum sisanya hingga habis.

“Terimakasih om”

Ryu mengangguk, dan tersenyum. Ketika mereka sudah nyaman, pemilik cafe membuka pembicaraan.

“Anak-anak hebat di depan om, siapa ya namanya? ”

“Nama saya Jago om, dan adik saya namanya Tegar” Lagi-lagi senyum yang hampir sirna keluar dari bibir pucat itu.

“Umur saya 7 tahun dan adik Tegar 5 tahun” Tanpa diminta dia menjelaskan umur mereka.

“Rumahnya di mana? ” Tanya Ryu

“Di dekat jembatan kualo om”

“Ke sini tadi naik apa? ”

“Jalan kaki om”

Ryu mengernyitkan dahi.

“Om, om ada piring kotor tidak om? Biar kami cuci. Atau om mau beli sesuatu ke warung? Kalau ada nanti om catat, biar kami yang belanja. ”

Ryu terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba ini.

“Saya sudah bisa nyuci piring om” Sang adik memandang aku penuh harap.

“Kenapa?” Tanpa sengaja Ryu melontarkan pertanyaan yang kemudian disesali.

“Kami mau nyari kerja om… ” Jago menjawab dengan mantap!

“What?!” Ryu tertegun!

Deg! Sesuatu yang sangat keras menghantam lubuk hati Ryu. Seketika matanya berkaca-kaca. Segera dia alihkan pandangan.

Pikirannya berjalan cepat, mereka pucat, gemetaran, kaki dengan sendal jepit yang sangat berdebu.

Apa yang dimiliki saat ini? Ryu bergegas melihat stok makanan untuk jualan. Hanya ada mie instan.

“Om lapar nih, om masak dulu ya.”

“Ada yang bisa saya bantu om? ” Sang kakak langsung bangkit dan berjalan ke arahku.

“Tidak usah, kalian duduk saja. Kalian hari ini tamu istimewa om. Om akan masak yang istimewa buat kalian.”

Keduanya saling berpandangan.

“Tapi kami tidak punya uang om. Kami ke sini mau cari kerja.”

Jago mengucapkan kalimat ini sambil tertunduk. Tegar-pun begitu.
Melihat ini, Ryu merasa bersalah. Tanpa sadar telah menjatuhkan harga diri mereka. Ryu berusaha mengubah suasana ini.

“Ok, abang Jago bantu om iris bawang dan adek Tegar bantu om buka mie.”

Seketika wajah mereka cerah dan gerakan mereka gesit.

Ah… anak-anak hebat. Siapakah orang tua yang telah menanamkan ini pada mereka?

“Ayah kalian kerja apa? ” Tanya Ryu di sela-sela ‘kesibukan’ mereka.

“Ayah sudah seminggu pergi cari kerja om. Tapi belum pulang.”

Tegar menjawab sambil berusaha membuka mie instan.

“Ibu kalian di mana? ”

“Ibu meninggal pas melahirkan adek kami di rumah sakit. Adek kami sekarang sama ayah. Kata ayah, ibu meninggal karena kehabisan darah. Rumah sakit kehabisan darah dan ayah tidak punya uang untuk bayar darah.”

Kali ini Jago yang menjawab dengan nada datar. Tangannya cekatan mengiris bawang.

Ryu mengernyitkan dahi.

“Sekarang kalian tinggal sama siapa?”

“Berdua saja om.”

Hampir saja Ryu menumpahkan air rebusan mie karena terkejut. Berbagai pikiran dan banyak pertanyaan muncul tiba-tiba di kepalaku. Tapi Ryu tidak akan menanyakan itu pada mereka.

Ryu akan memasak mie yang terbaik yang mereka punya. Selama proses masak-memasak ini, Jago memperhatikan setiap detilnya. Sementara Tegar membereskan meja dapur, dan bersih!

Ketika mie hampir masak, Jago menyiapkan wadah, tiga mangkok yang memang selama ini menjadi wadah sajian mie sudah ada di dekat Ryu. Sekali lagi Ryu mengernyitkan dahi.

Mie sudah siap dalam mangkok, lalu memberi sentuhan akhir dengan hiasan seperti biasa disajikan untuk tamu. ‘Tamu’ kali ini juga istimewa dan mereka pantas mendapatkan pelayanan terbaik.

Ryu ajak mereka duduk di meja favorit pelanggan. Ketika makan, Ryu menarik kesimpulan tentang mereka. Jago orangnya tenang, berusaha mandiri, penyayang, dan pelindung adiknya, sementara Tegar seorang yang periang, cekatan, inisiatif, dan juga penyayang.

Di sela-sela obrolan usai makan, tiba-tiba Jago mengingatkan tentang catatan belanja warung.

“Om, buatlah catatan belanja om, biar kami yang beli. Nanti om tunjukkan tempat warungnya.”

Tegar berdiri mengambil pena dan secarik kertas di meja kasir, dan menyerahkan pada kakaknya.

“Om yang bilang, biar abang yang catat. Tulisan abang bagus om.”

“Benar kah?” Direspon dengan masygul.

Sesaat kemudian Ryu mendiktekan barang-barang yang akan dibeli di warung.

“Ada lagi om?” Tanya Jago.
“Sudah semuanya?” Ryu balik bertanya.

Jago membaca ulang hasil catatannya. Dan tidak ada yang tertinggal.

Lagi-lagi Ryu mengagumi mereka.

Segera Ryu bangkit dan mengambil sejumlah uang yang tertera dalam belanjaan, dan melebihi sedikit, mengantisipasi jika ada kenaikan harga, dan menyerahkannya pada Jago.

“Warung di mana om?” Tanya Jago.

“Itu…” Sambil menunjuk mall yang persis di seberang cafe.

Jago dan Tegar saling berpandangan. Ada ragu dan takut dari mata mereka.

“Ayo, om temani… ” Ryu bangkit dan meraih tangan mereka.

Ragu-ragu dan bingung mereka bangkit dan mengikuti. Sepanjang perjalanan menuju mall Ryu menggandeng tangan mereka. Melangkah dengan riang. Keduanya juga akhirnya melangkah dengan riang.

Sesampai di pintu masuk mall, mereka mengikuti prosedur mengantisipasi corona yang telah menguasai dunia. Cuci tangan, penyemprotan dan mengecek suhu tubuh. Awalnya kedua anak ini bingung dan takut, tapi setelah melihat Ryu, malah mereka berebutan untuk yang lebih dulu.

“Ya udah, adek saja dulu.” Jago memberikan tempat untuk adiknya lebih dulu. Ryu dan satpam mall tersenyum.

Ketika akan masuk ke dalam mall, keduanya memegang tangan Ryu. Ada yang berdenyut di hati laki-laki itu. Mereka melangkah riang. Ryu menuntun mereka memasuki tempat yang menjual sembako.

“Abang ambil keranjang yang ada rodanya ya, untuk tempat belanjaan kita nanti.” Ryu menunjuk pada susunan keranjang di depan pintu masuk. Dengan ragu Jago mengambil satu.

“Adek juga ya om… ” Mata bening Tegar melihat Ryu penuh harap.
Ryu mengangguk.

Setelah masuk, mereka terpana memandang yang ada di depan mereka. Tegar menarik tangan Jago untuk mulai melangkah. Ryu berikan kebebasan mereka untuk menjelajah gang demi gang. Ada perasaan riang dan terharu melihat langkah mereka, dan celoteh kanak-kanak mereka. Ryu merasa matanya berkaca-kaca. Ah, dia jadi melow….

Setelah puas mereka keliling dan bahan-bahan yang ada dalam catatan lengkap, Ryu mengajak mereka ke kasir. Tapi Ryu hentikan langkahnya, karena mendengar suara Jago yang mengajak adiknya melangkah.

“Ayo dek… ”
“Adek cuma mau lihat sebentar bang…. ”
“Ayo lah…”

Ryu menoleh ke belakang dan memperhatikan keduanya. Kami bertemu pandang. Mereka tertunduk dan pelan-pelan melangkah. Ryu menghampiri dan melihat apa yang menjadi perhatian Tegar. Oh Tuhan…. Tegar cuma mau melihat sosis?

“Tegar, Jago, sini…!” Ryu mengangguk sambil tersenyum. Isyarat pada mereka untuk kembali.

Dengan ragu keduanya berjalan kembali ke box sosis. Ryu menggeser penutup box tersebut.

“Ambil saja. Abang satu, adek satu.”

Lama mereka memandang mata Ryu.Ryu mengangguk dan tersenyum.

“Iya, ambil saja!” Ryu menegaskan.

Keduanya sibuk memilih. Ryu perhatikan keranjang masing-masing. Yang berat-berat seperti minyak goreng, susu, gula dan lain-lain dalam keranjang Jago, dan yang ringan-ringan seperti mie instan, teh kotak, dan lain-lain dalam keranjang Tegar. Pastilah Jago yang mengatur semua itu.

Sebelum ke kasir, Ryu memberikan sejumlah uang seharga dua pack sosis pada Tegar. Ryu ingin menanamkan rasa bahwa dia membeli sosis tersebut, bukan dikasih.

“Nanti sosisnya adek yang bayar ya…? ” Lagi-lagi mata bening itu memandangku dan aku tidak tahu maknanya.

Di kasir, tidak ada antrian. Sepertinya cuma mereka pengunjung mall saat ini. Pada petugas Ryu minta untuk memisahkan nota transaksi untuk sosis. Sebelum mengangguk, dia memandang Ryu, Jago dan Tegar. Ryu tidak tahu apa yang ada dalam pikiran sang kasir dan Ryu tidak peduli itu,

Ketika sudah dihitung, Ryu melihat saat anak-anak itu membayar. Ada senyum bangga di bibir, air muka mereka.

Ah…. Dunia memang tidak adil pada mereka.

Malam ini hujan badai disertai petir dan guntur yang saling berebut untuk memperlihatkan keberadaan mereka.

Di sela-sela obrolan dengan tamu, Ryu teringat dengan dua orang ‘karyawan’nya. Bagaimana kondisi mereka di suasana seperti sekarang? Sudah tidurkah, atau malah mereka tidak bisa tidur karena ketakutan? Sudah pulangkah ayah mereka? Ryu gelisah.

“Ada apa bang?” Tanya salah seorang tamu.

“Ah tidak apa-apa. Cuma abang khawatir dengan ‘karyawan’ baru abang.”

“Karyawan jangan dimanja bang, nanti mereka ngelunjak!”

“Ini beda, abang yakin setelah ketemu mereka, kalian akan malu.”

Tiga orang tamu cafe saling berpandangan. Mereka pasti bingung, pasti mereka menebak-nebak sosok ‘karyawan-karyawan’ tersebut.

“Abang titip cafe sama kalian. Abang mau melihat ‘karyawan-karyawan’ abang dulu.”

“Jangan lama-lama bang.” Salah seorang menjawab.

*siap! Paling lama satu jam. Nanti kalau kalian mau pulang, pulang saja. Seperti biasa.”

Maksudnya seperti biasa adalah jangan khawatir tentang soal pembayaran. Boleh pergi begitu saja atau letakkan uang pembayaran di bawah alas gelas mereka.

Ryu berlari menembus hujan, dan membuka pintu mobil. Dengan terburu-buru dia meninggalkan parkiran dan memacu mobil dengan kecepatan melewati normal, menuju arah rumah Jago dan Tegar.

Ketika mengantar mereka pulang tadi sore, Ryu sempat memperhatikan kondisi rumah mereka. Sebenarnya bukan rumah, hanya pondok sawah yang sudah tidak kayak lagi ditinggali dan berada di pinggir sungai.

Atap bocor di mana-mana, tidak Ada listrik, hanya mengandalkan lampu minyak, dan dinding yang sudah banyak bolong. Pondok tersebut di bagi dua ruangan. Ruang depan dan kamar. Tidak ada dapur. Kegiatan masak-memasak dilakukan di bawah pondok menggunakan kayu bakar. Tidak ada tanaman di sawah. Menurut Jago, ayahnya tidak ada modal buat menanam padi.

Ryu semakin cepat memacu mobilnya di jalan yang gelap. Untungnya himbauan untuk ‘stay atau home’ dan cuaca saat ini membuat jalanan sepi.

Duar! Suara guntur. Lalu disambut oleh cahaya petir yang menyambar bumi disertai suara yang mengguncang jantung. Ryu terkejut dan hampir saja lepas kendali setir yang dia pegang.

Ryu berhenti sejenak. Mengatur nafas. Setelah tenang dia kembali menjalankan mobil. Semakin lama semakin cepat. Nalurinya menyuruh untuk segera sampai tujuan.

Di depan gang menuju pondok Jago dan Tegar, Ryu menghentikan mobil, mematikan mesin, mencari senter, lalu buru-buru keluar. Diterpa hujan yang sangat lebat, disertai oleh suara guntur dan kilat yang bersahutan, setengah berlari Ryu menyusuri pematang yang licin Sekali-kali tergelincir. Dia tidak menghawatirkan itu. Baginya, dia harus segera tahu kondisi Jago dan adiknya.

Sampai di depan pondok, masih belum menaiki tangga, Ryu memanggil Jago dan Tegar.

“Jago, Tegar! ”
Dan diulangi lagi ketika sudah di depan pintu.

“Jago, Tegar!”

“Ayah…” Suara Tegar dari dalam

“Bukan, itu om bos! ” Suara Jago.

Dari lantai bilah bambu yang ada di bawah telapak kaki, Ryu merasakan mereka buru-buru bangkit. Beberapa detik kemudian pintu pondok dibuka. Dengan cahaya senter Ryu menyinari wajah mereka dan tubuh mereka. Mereka basah! Ryu arahkan cahaya senter ke dalam, air merembes dari atap yang bocor sama derasnya dengan hujan di luar. Dia tertegun.

Reflek Ryu merangkul mereka.

“Kalian kedinginan” Gumamnya.

“Iya om” Jawab Tegar merangkul leher Ryu.

Entah apa yang menyebabkan, tanpa sadar air mata Ryu jatuh. Untung gelap dan hujan, jadi tidak terlibat oleh kedua anak ini.

“Kita ke cafe saja ya.” Ajak Ryu.

Ryu menunggu jawaban mereka.
Setelah agak lama belum ada jawaban, dia bertanya lagi.

“Bagaimana, kita ke cafe saja ya… ” Setengah memohon.

“Tapi kami menunggu ayah kami om… ” Jawab Tegar sambil menahan isak.

Ryu tertegun. Apa yang harus diucapkan?

“Nanti ayah akan marah kalau malam-malam kami tidak ada di sini.” Jago menjelaskan.

Ryu langsung dapat ide.
“Kita tinggalkan pesan saja. Kasih tau kalau kalian di tempat kerja.”

Sengaja Ryu tekankan kata ‘di tempat kerja’. Menurut perkiraannya, ini akan membuat kebanggaan pada mereka. Dan itu berhasil.

“Iya om, pinjam senternya om, mau cari pena dan buku.”

Tegar melepaskan rangkulan tangannya dan membantu kakaknya mencari kertas dan pena. Setelah selesai, mereka memegang tangan Ryu.

Tanpa berkata-kata mereka menuruni tangga pondok. Langit kembali bergemuruh lalu menggelegar. Hujan deras disertai angin kencang. Ryu menggendong Tegar sementara Jago yang membawa senter berjalan mendahului. Setiap ada suara guntur dan kilat, Tegar mempererat tangannya di bahu Ryu.

Begitu sampai mobil, Ryu segera membuka pintunya, dan mendudukkan mereka di kursi samping supir. Mereka harus merasa aman, dan juga mengurangi rasa was-was.

Ryu menjalankan mobil dengan kecepatan normal. Ketika hampir memasuki jembatan Kualo, ada suara gemuruh dari arah hulu sungai. Ryu kaget dan sontak menghentikan mobil pas di tengah-tengah jembatan. Diterangi cahaya kilat, dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi. Air bah dengan cepat dan ganas menggulung semua yang ada di bibir sungai bahkan ‘rumah’ Jago dan Tegar.

Ryu tertegun sesaat, lalu langsung tancap gas segera meninggalkan jembatan begitu menyadari apa yang terjadi.

“Bang, rumah kita bang… ” Suara Tegar antara terdengar dan tidak.

Ryu melirik Jago, sekilas Ryu melihat air matanya turun. Hampir saja dia kehilangan kendali lagi ketika melewati tikungan tajam. Ryu tetap menginjak pedal gas hingga tandas, bahkan ketika menuruni turunan ujung jembatan.

Air bah sudah menyentuh badan jalan, dan Ryu lupa akan rem. Ryu harus melewati air ini. Harus! Ada suara gemuruh lagi. Kali ini suara jembatan yang ambruk dilanda air bah. Dia tidak perduli. Baginya, dia harus membawa dua anak ini melewati malam ini.

Duk! Sesuatu menghantam dinding bagian kiri mobil. Mobil oleng, dan sepertinya ban mobil tidak menyentuh jalan lagi. Ryu panik. Air mulai merembes masuk mobil. Wajah Jago dan Tegar pucat. Kembali dia injak gas dalam-dalam. Dan, mesin mati! Oh God, Ryu semakin panik. Dalam hati dia berdoa, “Tuhan, jangan kau cabut dulu bunga-bunga indah ini, ya Tuhan….”

Ryu rasakan mobil dibawa arus. Terombang-ambing lalu berputar cepat lalu diam! Jago dan Tegar saling berpelukan. Ryu memejamkan mata sambil berdoa.

“Tuhan,, tolong…. ”

Bersambung bab 2

Posting Terkait

Jangan Lewatkan