Ketika Emak Emak Jingkrak Jingkrak Di Panggung

“House music” memekakkan telinga menggelegar dari arena sebuah pesta. Rombongan ibu-ibu jingkrak-jingkrak di atas panggung. Sementara di barisan kursi-kursi tamu-tamu lain masih banyak yang menikmati santapan makan siang.

Bukan hanya sekali, tapi setidaknya ada tiga kali suasana seperti ini. Bapak-bapak dengan didampingi penyanyi yang disediakan oleh pihak pemilik orgen yang disewa, juga menyanyi diiringi oleh hentakan aransemen untuk musik malam, dalam ruangan tertutup tersebut.

Miris memang dengan kondisi seperti ini. Tingginya nilai adat dan budaya yang penuh akar budi pekerti telah tercerabut dari tanahnya.

Lalu ke mana posisi suara rebana, gendang, serunai, dan alunan biola? Entahlah, mungkin sudah habis dimakan rayap.

Tidak berani lagi berharap, apalagi bangga menceritakan pada teman-teman bule, bagaimana indahnya gerakan kaki dan tangan para penari di malam ‘Bimbang Gedang/Kejai Lai’ di sepanjang ‘Tarup’ di hajatan sebuah pesta perkawinan, baik di tanah Melayu atau tanah Rejang pemilik budaya tersebut.

Sulit mencari, atau bahkan sudah tidak ada lagi anak-anak muda gagah yang bangga bisa menari tarian tradisional yang penuh makna. Tidak ada lagi liukan tubuh indah seorang penari kala menari ‘Tari Piring’, ‘Tari Kain’, ataupun tarian adat lainnya.

Sudah tidak ada lagi kebanggaan bagi anak-anak masa sekarang terhadap adat istiadat. Mereka akan merasa terpuji jika bisa masuk sebuah cafe dengan musik hingar bingar dengan penerangan yang sangat fed up, dan ditemani para wanita dengan pakaian yang sangat minim. Kemudian, ketika pulang kepala pusing.

Jangan lagi ingin melihat ibu-ibu dan wanita muda duduk dengan anggun berbalut kebaya di sebuah ruangan yang diperuntukkan bagi keluarga pengantin lawan, dan dilayani dengan sangat baik. Sudah tidak ada lagi! Jika masih ada, cukup melihat di album tua milik kakek dan nenek.

Siapa yang harus salahkan? Kita semua. Kita semua yang salah. Kita tidak bisa mempertahankan jati diri kita. Kita terlalu lemah dan gampang ditaklukkan oleh sikap dan sifat hedonis. Lalu mengejar gemerlap ‘lampu’ di depan, dan ‘mematikan cahaya’ diri sendiri. Apa lagi ditambah oleh perilaku pemerintah yang hampir ‘meniadakan’ adat dan norma yang dicapai oleh nenek moyang kita.

Dan, jikapun ada, hanya sebagai seremonial belakang, yang hampir hilang makna.

Artikel Oleh: Bagus Presiden Republik SLE

Posting Terkait

Jangan Lewatkan