Kami Pulang Nak

Oleh Bagus Yuarto

Cerita penutup, tentang ayah dan adik kandung Jago dan Tegar

Malam dengan hujan badai ditambah suara guntur bergemuruh yang menyeramkan, dan diselingi oleh kilat yang menakutkan. Malam sangat gelap yang hanya disinari oleh kilau kilat.

Saat kilau kilat, terlihat satu bayangan kurus membawa beban, berjalan terburu-buru. Bayangan hitam itu berjalan sangat cepat menyusuri pimggir jalan aspal.

Sesekali ada senyum indah tergambar dari bibirnya yang pucat karena air hujan.

“Dingin yah… ” Suara kecil yang gemetaran dari mulut kecil dari anak kecil yang mendekap tubuh ayahnya.

“Sabar ya sayang. Sebentar lagi kita sampai.”

Pria ini berjalan semakin cepat. Tangan kanan yang menenteng karung dan tangan kiri menopang pantat si kecil di punggungnya, tidak menghalang langkah nya, walau malam mencekam.

“Kita harus cepat sampai nak, kasihan abang Jago dan Tegar. Pasti mereka ketakutan.”

Membayangkan dua nama tersebut, laki-laki ini semakin mempercepat langkahnya yang sudah cepat. Entah apa yang diinjaknya hingga dia terpeleset dan hampir saja terjatuh.

“Lapar yah… ” Suara anak perempuan dipunggungnya mengiris hatinya.

“Adek harus kuat ya. Kalau sudah sampai rumah, ayah akan segera masak. Nanti kita makan bersama abang Jago dan abang Tegar.”

Dia berusaha menguatkan gadis kecil yang di punggungnya. Dia tahu si anak sudah sangat kedinginan dan kelaparan. Getaran-getaran lembut di pundaknyalah yang memberikan isyarat itu padanya.

Sepanjang perjalanan ini, yang dia bayangkan adalah dua anak laki-lakinya yang juga masih kecil, yang terpaksa dia tinggalkan karena harus mencari kerja agar anak-anaknya bisa makan.

Anak laki-laki yang tortua baru berusia tujuh tahun dan adiknya baru lima tahun. Ketika dia pamit seminggu lalu, tidak ada apapun yang bisa di makan.

“Mereka makan apa selama ini?”

Air mata ayah bertarung dengan hujan ini mengalir bersamaan dengan air hujan.

Seminggu lalu dia mengumpulkan anak-anaknya untuk membicarakan rencananya untuk meninggalkan mereka.

“Bang, adek… Ayah besok, pagi-pagi sekali, akan mencari kerja. Supaya kita bisa makan. Adek Nur ayah bawa. Abang Jago jaga adek Tegar ya. Dan adek Tegar jangan nakal. Harus nurut kata abang. Kalau pergi harus berdua ya, dan sebelum maghrib harus sudah pulang.”

Dua anak kecil ini mengangguk. Dua senyum dari bibir kecil anak-anaknya memberikan kekuatan lebih untuk dia tinggalkan. Dan Dua senyum kecil itu juga yang mengantarkan langkahnya mencari kerja di pagi itu, seminggu yang lalu.

Seperti dugaannya, tentulah sulit dia mendapatkan kerja sambil membawa anak. Di hari yang panas dan tanpa bekal apapun, dia berusaha mendapatkan pekerjaan. Rumah makan, warung bakso, cucian mobil dan motor, kuli bangunan, kebun-kebun, sudah dia masuki untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi tidak ada satupun yang menggembirakan hatinya.

Sudah lewat tengah hari. Perutnya sudah sangat lapar. Kerongkongannya kering. Dari kemaren sore belum ada makanan yang masuk ke perutnya. Dia lebih mementingkan anak-anaknya. Yang dipikirkannya adalah Nur yang saat ini dalam gendongannya. Hanya dua buah pisang yang baru masuk perut anak gadis kecilnya, dan pisang itupun diberikan oleh pemilik warung makan tempat dia menanyakan pekerjaan tadi.

Semakin lama langkahnya semakin jauh. Matanya sudah berkunang-kunang. Nur mulai rewel. Laki-laki kurus dan hitam ini lelah. Di teduh bawah pohon pinggir jalan, sempoyongan dia melangkah untuk berteduh dan mengistirahatkan tubuhnya yang mulai lemah.

Ketika terbangun, hari sudah gelap. Suara azan maghrib terdengar dari mesjid tidak jauh dari tempat dia tertidur.

Anak gadis kecilnya tidak lagi dalam pelukannya. Dia mencari-cari sambil memanggil nama anaknya.

“Nur…. Nur…. Nur…. Di mana nak?”

Lama tidak ada suara dan sosok Nur. Tubuh kurus itu panik. Dia mencari-cari ke setiap arah yang menurutnya kemungkinan ada anak bungsunya itu.

Agak jauh dari pinggir jalan, ada suara samar-samar masuk ke telinganya. Dia menyimak dengan seksama suara itu.

Itu suara Nur yang memanggil dirinya. Ya, tidak salah lagi. Itu memang suara Nur yang lagi memakan pisang. Pisang tersebut masih berada di pohonnya tapi sudah roboh.

Hari ini Pencipta telah memelihara ciptaannya.

Ayah Jago membawa Nur menuju mesjid yang tadi memanggilnya. Dan mereka akan memasuki rumah pemilik panggilan indah itu.

Lelaki kurus itu membawa Nur pada kamar mandi milik mesjid dan membersihkan diri mereka. Hari ini dia akan mengadukan nasibnya pada yang maha segalanya.

Saat dia masuk mesjid, sholat berjemaah telah selesai. Satu persatu jemaah maghrib sore ini meninggalkan mesjid dan pulang ke rumah masing-masing. Hanya tinggal beberapa orang sepuh, dan tiga orang yang masih muda.

Di akhir sholat wajibnya, ayah yang telah meninggalkan dua anaknya ini berdoa dengan khusuk. Memasrahkan jalan hidupnya dan menitipkan dua anak laki-lakinya yang saat ini tidak dia ketahui nasib mereka.

Begitu khusuk dan pasrah hingga tanpa sadar dia menangis hingga sesenggukan. Suara tangis yang memilukan ini menarik perhatian semua yang mendengarkan, dan melihat sosok kurus pasrah ini.

BACA JUGA:  Pengakuan Tiga: Laki-laki Di Antara Empat Benua

Seseorang yang lebih tua lalu bangkit dan merangkul jiwa kemah ayah Jago. Dan lelaki yang menangis ini semakin keras tangisnya. Dia merasa Tuhan sedang memeluknya. Air matanya semakin berurai.

“Tuhan, berikan kami sedikit kesenangan. Berikan anak-anakku sedikit kebahagiaan… ” Bisiknya pada bahu yang nerangkulnya.

Tangan orang tua yang merangkul pundak lelah itu nembelai rambut pemilik kepala yang ada dibahunya. Belaian dan rangkulan yang penuh cinta itu merasuki jiwa yang haus kasih sayang itu. Dia belum pernah merasakan pelukan seperti ini selama hidupnya.

Dia adalah anak yang tidak diharapkan. Bibit yang datang dari entah milik siapa, disemai dengan paksa oleh tujuh laki-laki mabuk pada seorang wanita muda kelas dua SMP.

Tumbuh dan berkembang tanpa perawatan, dan lahir ke dunia tanpa dikehendaki. Ditolak dan dirundung di mana saja dia berada, dan berakhir di tangan lembut seorang janda tua yang hidup sendirian, yang disia-siakan oleh anak-anaknya. Dan, janda tua inilah yang menjadi ibu baginya.

Di usia remaja dia telah mengalami pelecehan seksual oleh perempuan kaya istri simpanan seorang pejabat di desa sebelah. Dan untungnya, dia bisa cepat menyelamatkan diri, hingga tidak terlalu lama jadi budak seks sang perempuan haus tersebut.

Usia dua puluh dia menikahi seorang gadis, yang juga malang. Gadis yang seringkali hampir jadi korban pemerkosaan ayah tirinya, demi untuk menyelamatkan sang gadis.

Ketika tersadar dari kenangan pahitnya, dan tahu kalau saat ini berada di pundak orang asing, buru-buru dia menghapus air mata dan melepaskan diri dari bahu sang perangkul.

“Maaf… ” Dan segera mau bangkit. Tapi orang tua itu meraih tangan dan menariknya untuk segera duduk kembali.

“Kita sholat isya lagi nak. Sebentar lagi.” Ucap orang tua dengan lembut.

Setelah sholat isya, dan setelah obrolan panjang, ayah landing Jago dan Tegar diajak oleh pak imam ke rumahnya.

“Terimakasih pak imam. Terimakasih… ” Ucapan yang sangat takzim dari hati paling dalam.

Dalam obrolan panjang itu, ayah kandung Jago dan Tegar akan bekerja menjaga dan mengurus kandang ayam potong milik pak imam. Sebelum meninggalkan mesjid, laki-laki yang bahagia ini langsung sujud syukur pada yang maha pengatur, di depan mihrab.

Sepanjang jalan menuju rumah pak imam, tak henti-hentinya sang ayah yang menginginkan kebahagiaan anak-anaknya, menciumi pipi Nur, anak bungsu yang saat ini dia gendong.

Dan sore tadi dia pulang untuk menjemput Jago dan Tegar untuk di bawa bersama, menjalani hari-hari mengurus ayam-ayam.

Di antara cahaya kilat, laki-laki yang berjalan dengan began itu melihat di kejauhan sebuah mobil warna putih meninggalkan mulut gang, yang sebentar lagi akan dia masuki.

Gang menuju rumah, tepatnya pondok sawah, yang di dalamnya ada dua anak laki-lakinya. Dia khawatir dua anak tersebut belum makan dari pagi, atau bisa jadi dari kemaren.

Bayangan hitam sekarang berlari. Menyusuri jalan gang. Dia tertegun sejenak. Ada suara gemuruh dari hulu sungai yang ada di dekat rumah mereka. Semakin lama semakin mengerikan suara tersebut.

Sesaat dia tersadar. Bayangan kurus yang menggendong anak perempuan kecil di puncak dan menenteng karung kecil semakin mempercepat larinya.

“Jago…. Tegar…. Ayah pulang nak…!”

Gemuruh air bah semakin dekat. Dia menyongsong air yang mengamuk itu.

“Ayah bawa beras, nak. Kita akan segera makan nasi sekarang!” Teriaknya di antara guruh, lebar hujan, dan petir. Suara teriakan itu di bawa angin badai menjauh ke belakang.

Saat peyir menerangi pandangangannya, saat itu juga dia melihat rumah yang menjadi tempat perlindungan anak-anaknya digulung oleh air dengan kejam!

“Abang…. Adek…. Tunggu kami nak….! Kita akan makan nasi sebentar lagi….!”

Dia menyusul reruntuhan rumah yang masih terlibat di atas gulungan air. Berusaha mengejar. Tangannya tidak melepaskan apa yang dia pegang.

Ada pohon besar yang melintas, dan dia berusaha melincati pohon tersebut, dan berhasil. Tapi tak lama, karena pohon tersebut kemudian terbentur tiang jembatan lalu oleng dan berputar-putar. Lalu ada gulungan air lebih besar datang menyusul. Jembatan goyah dan ambruk.. Bergemuruh keras. Reruntuhan jembatan itu menimpa dan menenggelamkan kayu besar.

Ayah Jago dan Tegar masih mendekap karung beras, dan anak perempuannya dengan erat.

“Jago…. Tegar…. Kami pulang nak…! Ayah bawa beras….!” Teriaknya. Tapi kali ini suaranya tidak terdengar. Air dan reruntuhan jembatan telah menenggelamkan mereka Je dasar sungai.

“Ayah bawa beras, nak… Kita akan segera makan nasi…!” Teriak hatinya sebelum dia hilang kesadaran, dan masih mendekap kuat karung beras 5 kg pembagian bantuan wabah penyakit, yang diberikan oleh orang yang merasa tidak pentas menerimanya.

Dipunggungnya, anak gadis kecilnya memegang erat lehernya.

“Kita akan segera makan nasi nak… “

Kalimat terakhir, seiring dengan hilangnya kehidupen mereka.

#

Mau tahu kisah Jago dan Tegar? Baca kisah TUHAN JANGAN KAU CABUT DULU BUNGA-BUNGA INDAH INI 1-15