Oleh : Elfahmi Lubis
“Kisah politik dan kuasa, tak pernah lepas dari dukun dan dupa. Semakin instan hidup bergerak, semakin irrasional cara kita bertindak”
Setidaknya ada beberapa peristiwa irrasional yang berhubungan dengan klenik dan kekuatan magis cukup menyita perhatian publik tanah air belakangan ini. Diawali isu soal dukun santet di Bayuwangi, dan tewasnya juru kunci Gunung Merapi, Mbah Marijan akibat terkena luncuran awan panas atau dikenal dengan istilah wedus gembel. Saat itu Mbah Marijan menolak dievakuasi ketika gunung merapi dalam status awas.
Belum lama ini ramai dicakapkan publik soal ritual “Kendi Nusantara” berupa pengambilan air dan tanah “suci” yang berasal dari 33 provinsi di Indonesia yang dibawah oleh para gubernur saat kemah peresmian titik nol Ibukota Nusantara di Penajam Paser Utara Kalimantan Timur. Dimana air dan tanah yang dibawa 33 gubernur se-Indonesia tersebut akan disatukan dalam kendi nusantara.
Terakhir adalah aksi si Pawang Hujan, yang menyedot perhatian publik nasional dan internasional pada gelaran motorGP di Sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Berat. Dimana ada sosok wanita paruhbaya yang hilir mudik di arena sirkuit sambil membawa dupa bertindak sebagai pawang hujan, yang tugasnya melalui menghentikan hujan selama berlangsungnya motorGP. Tapi sayang hujan tetap terjadi sebagaimana informasi perkiraan cuaca yang sudah dirilis Badan Metereologi, Klimatologi dam Geofisika (BMKG) bahwa akan terjadi potensi hujan dikawasan sirkuit Mandalika. Namun tak ayal, aksi si pawang hujan telah terlanjur viral dan menjadi “banyolan” banyak orang. Sebagian pihak menganggap aksi unik pawang hujan tersebut sebagai sisi menarik dari even internasional tersebut. Bahkan ada juga yang beranggapan itu merupakan kearifan budaya lokal masyarakat Indonesia. Sementara bagi yang kontra, aksi si pawang hujan merupakan praktek klenik yang irasional dan bertentangan dengan ajaran agama dan nalar akal sehat.
Praktek klenik juga sangat akrab dalam tradisi politik di Indonesia. Bukan rahasia umum lagi untuk memuluskan dalam meraih jabatan politik, digunakan cara-cara irrasional seperti memanfaatkan jasa dukun melalui media magis tertentu. Mulai pasang susuk, mandi kembang tujuh warna, bersemedi ditempat tertentu yang dianggap memiliki kekuatan magis sampai yang ada mengangkat guru “spritual” khusus. Oleh sebab itu, seiring tingginya permintaan jasa dukun atau orang yang dianggap memiliki kemampuan supranatural, praktek klenik tumbuh subur dalam tradisi politik kita. Bahkan, tidak jarang sang dukun memasang tarif fantastis untuk bisa menggunakan jasanya. Suatu yang ironi memang ditengah arus modernisasi, tapi itulah kenyataan yang tersuguh.
Praktek klenik ini, disebut-sebut pernah dilakukan elit bangsa dari dulu sampai sekarang. Selain itu praktik ini tidak mengenal status sosial, latar belakang pendidikan, maupun profesi. Jangan dikira orang yang berpendidikan tinggi bisa bebas dari praktek klenik. Soalnya, ambisi dan sikap serba instan seringkali membuat orang kehilangan rasionalitas sehingga tidak sedikit “terjebak” dalam praktek yang sering dikaitkan dengan purbakalisme ini.
Namun terlepas dari itu semua, dalam kenyataannya budaya klenik dan magis di masyarakat kita masih sangat subur. Lalu bagaimana sebenarnya praktek klenik dalam tinjuan teoritis. Tulisan saya ini mencoba untuk.memberikan perspektif lain bagi kita dalam melihat fenomena dan realitas klenik ini dalam sistem kepercayaan masyarakat Indonesia..Oleh sebab itu penulis, menyingkirkan jauh unsur subyektivitas dalam diri penulis, dan berusaha untuk seobyektif mungkin melihat fenomena dari sudut kajian yang berbasis ilmiah.
Menurut Wikipedia, klenik adalah sesuatu yang tersembunyi atau hal yang dirahasiakan untuk umum. Klenik identik dengan hal-hal mistis yang cenderung berkonotasi negatif. Kamus Besar Bahasa Indonesia menempatkan klenik sebagai sebuah aktivitas perdukunan. Klenik merupakan kegiatan perdukunan yang dipercayai oleh banyak orang. Praktik klenik di Indonesia sendiri ada banyak wujudnya, dan pertumbuhannya juga dinilai sangat subur.
Dr. Aris Fauzan, dalam Focus Group Discussion (FGD) tentang Klenikologi, menjelaskan bahwa secara historis kemunculan klenik pada masyarakat Indonesia dipengaruhi oleh banyaknya isme-isme atau sistem kepercayaan yang dianut masyarakat. Sebut saja misalnya kepercayaan dinamisme, animisme, Budha, Hindu, Islam, dan lain-lain. Di dalam isme-isme itu sendiri ada beragam aliran-aliran kepercayaan. Semua keyakinan tersebut merupakan kombinasi dari budaya lokal yang sudah ada sejak jaman dahulu, dengan agama-agama yang datang kemudian.
Kemunculan klenik juga didasari oleh faktor kepercayaan manusia pada Tuhan. Mengutip Antropolog Suhrawardi, menyebutkan dalam.konteks ini ada tiga hal bahwa pencipta adalah cahaya, akal immaterial (Immaterial Intellect) adalah cahaya, bahwa setiap spesis memiliki tuhan yang diidolakan yang merupakan cahaya immaterial yang mandiri.
Magis atau klenik adalah bagian yang tidak luput dari sifat-sifat dan karakteristik masyarakat Indonesia. Sejak era kuno, dalam banyak catatan Belanda, masyarakat nusantara sudah dikenal dengan kepercayaannya kepada hal magis, gaib, dan klenik. Melansir O’Keefe dalam teorinya, pada bukunya yang berjudul Stolen Lightning: The Social Theory of Magic, yang diterbitkan di New York pada 1982, menjelaskan tentang kepercayaan sosial terhadap hal-hal magis yang berkembang di masyarakat.
Kepercayaan masyarakat dengan hal magis atau klenik, tidak hanya dapat ditemukan di zaman batu saja, bahkan di setiap zaman, manusia akan selalu bertalian erat dengan hal-hal yang bersifat magis. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta yang dihuni manusia, hewan, dan tumbuhan semata, tetapi juga menciptakan roh atau jin yang tak dapat ditangkap dengan mata telanjang. Inilah yang kemudian melandasi pemikiran kolektif masyarakat Indonesia akan kehadiran magis dan klenik.
Sebagai penggambaran, salah satu riset yang dilakukan oleh Ayatullah Humaeni, ia menyoroti tentang karakteristik masyarakat Indonesia yang memiliki kecenderungan pada ritual dan kekuatan magis. Ia menulisnya dalam jurnal el-Harakah pada tahun 2017. Jurnalnya berjudul Ritual, Kepercayaan Lokal, dan Identitas Budaya Masyarakat Ciomas Banten.
Kehadiran makhluk-makhluk halus juga dipercayai mereka, bahwa makhluk halus itu bisa saja mengganggu kehidupan manusia. “Warga di Ciomas, Banten, memiliki kepercayaan yang masih bertahan hingga sekarang, perihal kegaiban dan hal magis. Adanya campur tangan jin dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Lebih lanjut, kepercayaan terhadap ilmu supranatural juga mendorong masyarakat untuk menggunakan ilmu-ilmu gaib dalam membantu mereka melalui masalah-masalah kehidupan. Melalui ritual-ritual dan formula-formula (berupa pantangan dan prosedur ritual), mereka menganggap dukun sebagai pendorong keberhasilan.
Masyarakat adat yang masih bertahan dalam kehidupan modern, akan menyambangi dukun untuk meminta bantuan, agar dimudahkan segala urusannya, sehingga dukun akan melalukan komunikasi dengan makhluk-makhluk metafisik, menjalankan budaya supranatural.
Meskipun ajaran Islam telah berkembang sebagai bagian yang menentang hal bersifat syirik (menyekutukan Allah), tetapi adat dan kebudayaan yang turun-temurun dari nenek moyang, tetap tak dapat dipisahkan, sekalipun dalam kehidupan modern. ***