Konferensi Internasional Al-Azhar Hasilkan 29 Rumusan Pembaharuan Pemikiran Islam

Wordpers.id – Konferensi Internasional Al-Azhar menghasilkan sejumlah rumusan terkait pembaharuan pemikiran Islam. Ada 29 rumusan yang dibacakan oleh pemimpin tertinggi Al-Azhar, Grand Syeikh Prof. Dr. Ahmed Thayyib pada penutupan konferensi.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Muchlis M Hanafi yang menjadi salah satu duta dari Indonesia. Konferensi Internasional Al-Azhar tentang Pembaharuan Pemikiran Islam ini berlangsung dua hari, 27-28 Januari 2020.

Konferensi dihadiri oleh para ulama, pemimpin dan cendekiawan Muslim dari 41 negara. Hadir juga dari Indonesia, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. Din Syamsuddin dan TGB. Dr. H. Muhammad Zainul Majdi, MA.

“Konferensi dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk menghadirkan pandangan-pandangan Islam yang moderat di tengah berbagai permasalahan yang muncul akhir-akhir ini. Pandangan tersebut sangat diperlukan untuk menunjukkan bahwa ajaran Islam sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat,” terang Muchlis setibanya di Jakarta, Jumat (31/01). 

Menurutnya, selama dua hari konferensi yang dibagi dalam tujuh sesi, para ulama mendiskusikan berbagai topik, antara lain: prinsip-prinsip dasar pembaruan pemikiran Islam; kontra narasi terhadap pemikiran dan ideologi kelompok ekstrem, radikal dan teroris (jihad, perang, khilafah, takfir/pengafiran, hijrah, dan lainnya); hukum keluarga; hak-hak perempuan; korupsi, kolusi dan nepotisme; konsep al-muwaathanah (citizenship/kewargaan negara) dan lainnya.

Salah satu rumusan hasil konferensi, kata Muchlis, antara lain menegaskan bahwa pembaharuan (tajdiid) pemikiran Islam sangat dibutuhkan untuk merespon hal-hal baru yang belum ada penjelasannya secara tegas dan rinci dari teks-teks keagamaan (Al-Qur`an dan hadis), demi kemaslahatan umum. Fatwa keagamaan tentang itu dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu, tempat, dan adat kebiasaan masyarakat, dengan tetap memperhatikan prinsip dan kaidah umum syariat, serta kepentingan umum. 

“Pembaharuan hanya boleh dilakukan oleh ulama yang kompeten di bidangnya agar tajdiid (pembaruan) tidak berubah menjadi tabdiid (pengaburan),” tegas Muchlis mengutip salah satu poin rumusan.

Rumusan lainnya mengindentifikasi bahwa pihak yang terdepan dalam menolak pembaharuan keagamaan adalah kelompok-kelompok ekstrem dan teroris pro kekerasan. Propaganda mereka berdiri di atas pemalsuan pemahaman dan manipulasi istilah-istilah agama seperti konsep mereka mengenai sistem pemerintahan, al-Haakimiyyah (Allah sebagai sumber hukum), hijrah, jihad, perang dan sikap terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan mereka. 

“Atas nama agama mereka melakukan pelanggaran pelanggaran terhadap jiwa, harta, dan kehormatan. Oleh karena itu, lembaga dan masyarakat wajib mendukung negara untuk menumpas bahaya kelompok-kelompok itu,” ujar Muchlis membacakan poin rumusan lainnya.

Dijelaskan juga dalam rumusan hasil konferensi ini, kata Muchlis, bahwa di antara pangkal kekeliruan berpikir kelompok-kelompok ekstrem-radikal adalah penyamaan antara masalah-masalah akidah dengan hukum-hukum fiqih yang bersifat praktis. Misalnya, anggapan bahwa perbuatan maksiat adalah kufur dan menganggap sebagian perbuatan mubah sebagai kewajiban. Inilah yang menjerumuskan masyarakat ke dalam kesulitan yang luar biasa dan sangat memperburuk citra Islam dan syariatnya.

Terkait jihad, lanjutnya Muchlis, konferensi ini merumuskan bahwa jihad dalam Islam tidak identik dengan perang. Peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya adalah salah satu jenis jihad. Perang itu bertujuan untuk menolak serangan yang dilancarkan para agresor terhadap kaum Muslim, bukan untuk membunuhi orang-orang yang berbeda agama sebagaimana anggapan kaum ekstremis.

Dalam Islam haram hukumnya mengganggu orang-orang yang berbeda agama dan memeranginya selama mereka tidak memerangi kaum Muslim. 

“Yang berwenang menyatakan jihad perang adalah pemerintah yang sah dari suatu negeri berdasarkan undang-undang dasar dan hukum, bukan kelompok atau perorangan. Kelompok yang mengaku memiliki wewenang ini, merekrut dan melatih para pemuda untuk dijerumuskan ke dalam pembunuhan dan peperangan adalah kelompok perusak di muka bumi serta memerangi Allah dan Rasul-Nya. Instansi yang berwenang (di bidang keamanan dan hukum) harus melawan dan menumpas kelompok-kelompok semacam itu dengan tekat yang kuat,” kata Muchlis.

Seperti dilansir website Kemenag, Konferensi Internasional Al-Azhar juga menyoroti masalah khilafah. Dalam salah satu rumusan yang dihasilkan, dijelaskan bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang diterima oleh para sahabat Rasulullah dan sesuai dengan kondisi zaman mereka. Namun demikian, tidak ada ketetapan dalam teks Al-Quran dan hadist Nabi yang mewajibkan untuk menerapkan sistem pemerintahan tertentu.

“Sistem apapun yang ada di era modern ini dibenarkan oleh agama selama mewujudkan keadilan, kesetaraan, kebebasan, melindungi negara/tanah air dan menjamin hak-hak warga negara apapun keyakinan dan agamanya, serta tidak bertabrakan dengan prinsip-prinsip syariat Islam,” demikian penegasan salah satu rumusan yang dibacakan oleh Muchlis.