Jauh sebelum bangsa Eropa membawa minuman tradisional mereka seperti whisky dan wine, Indonesia sebenarnya sudah kaya dengan mengenal minuman beralkohol lainnya.
Dahulu, minuman beralkohol ini justru memegang peran penting dalam ritual adat dan sosial. Misalnya tuak bagi orang Batak dan masyarakat Sumatera pada umumnya. Bagi mereka, tuak adalah warisan budaya yang diturunkan dari generasi demi generasi untuk terus dilestarikan.
“Ada legenda yang menyertainya sebagai bagian tidak terpisahkan dari adat diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Batak percaya bahwa dahulu kala di sebuah perkampungan di pinggiran Danau Toba terdapat seorang lelaki tua yang hidup dengan anak perempuannya yang cantik luar biasa. Lelaki tua itu bernama Jalotua sedangkan anak perempuannya bernama Pitta Bargot Nauli. Jalotua yang hidup sebagai duda sejak Pitta berusia dua tahun hanya hidup dari sepetak tanah yang tidak bisa membuatnya terlepas dari kemiskinan,” tulis keterangan tertulis seperti dilansir dari Metrotvnews.com.
Kesengsaraan hidup yang dialami oleh keduanya seakan tidak pernah berhenti. Hingga akhirnya Pitta anak perempuan semata wayang itu sakit keras. Kemiskinan yang membelit Jalatua tidak bisa melepaskan dari nestapa.
Jalatua kemudian pergi mendatangi orang kaya di kampung untuk meminjam uang guna pengobatan Pitta. Tanah sepetak satu-satunya yang selama ini menjadi tumpuan hidup terpaksa dijaminkan pada orang kaya tersebut.
Lelah dengan kemiskinan yang mendera, Pitta Bargot mengusulkan pada ayahnya untuk melaksanakan “margondang,” untuk berdoa pada Mulajadi Nabolon agar dapat mengubah nasib sialnya. Namun, biaya untuk membuat margondang itu besa.
Pitta akhirnya menawarkan diri untuk dijadikan jaminan agar dapat dipinjami uang oleh orang kaya di kampung tersebut. Orang kaya di kampung akhirnya memberikan pinjaman. Orang kaya kampung tersebut tahu bahwa Jalatua tidak akan sanggup membayar utangnya, dia berencana menjadikan Pitta Bargot sebagai istri kelima.
“Sebelum ritual itu, Pitta berkata pada ayahnya, ‘Jika aku mati janganlah mayatku dikubur. Karena aku akan berubah jadi sebatang pohon yang bisa Ayah saksikan sepanjang masa. Jika mau membuat rumah, ambillah rambutku untuk jadi atapnya, jadikan tanganku sebagai tiang-tiang, badanku untuk lantai dan dinding. Jika tak punya uang, pukullah mataku hingga air mataku keluar. Tampunglah air mata itu karena dapat dijual sebagai minuman yang disukai banyak orang,” lanjut kisah itu.
Singkat cerita, pada saat ritual, Pitta Bargot memohon agar kepada Mulajadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa) agar dapat dijadikan sesuatu yang bisa membebaskan ayahnya dari kesusahan. Pada saat gondang ditabuh, Pitta kerasukan kemudian kakinya melesak ke dalam tanah lalu perlahan menjadi sebuah pohon. Pohon itu kemudian beranak pinak dan memberikan kehidupan bagi orang lainnya.
Itulah cerita rakyat mengenai tuak Batak yang dihasilkan dari fermentasi Enau atau disebut pohon bagot dalam bahasa daerah. Nama bagot merupakan adopsi dari tokoh legenda Pitta Bargot yang bersedia mengorbankan dirinya demi berbakti kepada orang tua.
Sebagai legenda tentu banyak versi yang beredar di masyarakat. Terlepas dari berbagai versi yang berbeda satu sama lain, hal ini semakin meyakinkan kita bahwa tradisi memproduksi dan mengkonsumsi minuman beralkohol sejatinya adalah budaya asli nusantara.
Penulis: Elang Riki Zanuar
Editor: Redaksi