Laporan Investigatif oleh Agus M. Maksum
(Berdasarkan penelusuran OSINT dari sumber resmi: Kemenkeu, BI, Detik, CNBC Indonesia, Merdeka, per Oktober 2025)
Jakarta, 17 Oktober 2025 – Babak Baru Skandal Keuangan Negara Publik dikejutkan oleh pernyataan mengejutkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang secara blak-blakan mengungkapkan adanya dana pemerintah pusat sebesar Rp 285,6 triliun yang mengendap dalam bentuk deposito di bank-bank komersial.
Jumlah itu naik hampir Rp 80 triliun dibanding tahun sebelumnya.
“Agak aneh nih. Kalau saya mau kritik, ya pemerintah pusat ini banyak duitnya. Tapi duitnya tidur di bank, bukan kerja buat rakyat,” sindir Purbaya dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Dengan nada heran bercampur geram, ia menambahkan,
“Kalau saya tanya anak buah saya, mereka bilang tidak tahu. Tapi saya yakin mereka tahu.”
Pernyataan itu memicu tanda tanya besar: mengapa ratusan triliun uang negara justru disimpan sebagai deposito, sementara negara masih menambah utang baru untuk menutup defisit fiskal.
Aroma Kejanggalan di Tubuh Kementerian Keuangan
Data resmi menunjukkan, dana pemerintah yang “tidur” dalam deposito melonjak drastis:
2023: Rp 204,1 triliun
2024: Rp 204,2 triliun
2025 (Agustus): Rp 285,6 triliun
Sumber internal Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) menyebut dana itu berasal dari berbagai unit vertikal kementerian, badan layanan umum (BLU), serta lembaga non-struktural yang menyimpan anggaran mereka sendiri di bank-bank tertentu.
Namun, hingga kini tidak ada pejabat yang berani memastikan asal dan tujuan penempatan deposito tersebut.
“Kalau benar dana itu atas nama pemerintah pusat, seharusnya tercatat di sistem Treasury Single Account (TSA). Tapi kalau disimpan lewat rekening lembaga, bisa jadi di luar radar utama Kemenkeu,” ujar seorang analis perbankan senior yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Negara Bayar Bunga Mahal, Tapi Duitnya Disimpan
Lebih ironis lagi, kata Purbaya, pemerintah justru menerbitkan surat utang (obligasi) dengan bunga tinggi — sementara uang negara sendiri malah disimpan dalam deposito dengan bunga lebih rendah.
“Kan saya ngutang, tapi uangnya malah ditidurkan. Itu bukan hanya janggal, tapi merugikan negara.” tegas Purbaya.
Selisih bunga antara surat utang dan deposito menunjukkan kerugian sistemik yang bisa mencapai triliunan rupiah setiap tahun — kerugian yang lahir bukan karena krisis, tapi karena kelalaian atau permainan tersembunyi.
Siapa Nikmati Bunganya?
Dugaan permainan pun muncul. Dalam praktik birokrasi, penempatan dana dalam bentuk deposito sering kali tidak lepas dari imbalan tak resmi, komisi, atau “jatah bunga” bagi pihak yang mengatur penempatan dana tersebut.
“Kalau dana ini sengaja disimpan di bank tertentu tanpa dasar kebutuhan likuiditas, besar kemungkinan ada motif ekonomi di baliknya,” ungkap sumber di lingkungan pengawasan keuangan publik.
Purbaya sendiri menegaskan, investigasi internal telah dimulai.
“Yang penting bagi saya, siapa yang taruh uang itu, di mana bunganya mengalir, dan kenapa tidak dilaporkan ke sistem treasury nasional,” tegasnya.
Skandal Lama Terulang: Dari Daerah ke Pusat
Fenomena dana pemerintah “mengendap” di bank bukan hal baru.
Pada 2020, KPK pernah menemukan Rp 252 triliun dana pemerintah daerah mengendap tanpa kejelasan penggunaan.
Kini, situasi yang sama terjadi — bahkan lebih besar — di level pemerintah pusat.
Laporan Bank Indonesia per Agustus 2025 juga mencatat dana pemerintah daerah di bank mencapai Rp 233,11 triliun.
Jika dijumlah, total uang negara “tidur” di bank mencapai lebih dari Rp 500 triliun, setara dengan seluruh anggaran pendidikan nasional 2025.
Sistem Keuangan Negara yang Retak
Skandal ini menyingkap retaknya tata kelola kas negara, meski pemerintah telah menerapkan sistem digitalisasi sejak 2019 melalui SPAN dan TSA. Namun, kenyataannya, ratusan triliun rupiah masih bisa disimpan di luar sistem resmi negara.
“Artinya ada celah manual yang dibiarkan terbuka,” ujar seorang pakar tata kelola fiskal dari Universitas Indonesia.
“Dan selama ada celah, selalu ada yang memanfaatkannya.”
Audit, Politik, dan Ketakutan Birokrasi
Menteri Keuangan kini menghadapi ujian terberat dalam kariernya.
Audit internal bisa terbentur loyalitas birokrasi, sedangkan audit eksternal BPK sering tersandera politik.
Selama investigasi berjalan, bunga deposito itu tetap berputar — entah ke mana, entah ke siapa.
Publik menunggu langkah nyata, bukan sekadar konferensi pers.
“Kalau cuma berhenti di wacana, berarti negara kita sedang membiarkan uang rakyat ditidurkan untuk kepentingan segelintir orang,” tegas Direktur Transparency Budget Watch, R. Arif Nurhidayat.
Kesimpulannya adalah, Ini adalah Ujian Moral Negara. Kasus dana Rp 285,6 triliun ini bukan hanya soal uang, tapi soal kejujuran dan transparansi.
Jika dibiarkan, ini bisa menjadi “harta karun gelap” terbesar dalam sejarah fiskal Indonesia modern.
Namun jika dibuka secara terang, ia bisa menjadi momentum reformasi keuangan publik yang sesungguhnya.
Dan seperti kata Purbaya yang kini jadi kutipan ikonik:
“Kalau saya tanya, mereka bilang tidak tahu. Tapi saya yakin mereka tahu.”
Editor: Redakasi