Oleh: Bagus Republik SLE
Lalu, aku harus menulis apa? Bukankan ideku sudah sangat lama disimpan dalam peti yang berkarat dan kuncinya sudah ku benam entah di mana?
Aku sudah berlelah-lelah dalam memunculkan ide brilian untuk aku jadikan cerita yang dahsyat. Tapi justru aku pusing sendiri. Otakku mandeg seperti roda yang asnya telah berkarat di makan waktu. Tidak! Ini tidak boleh terjadi, mengingat kejayaan masa laluku di ranah penulisan di kota kecil ini.
Seharusnya aku tidak masuk dalam permainan adu cerita ini. Tapi untuk sebuah perjalanan, apa dayaku untuk menolak?
“Baiklah, kita terbitkan cerita kita di face book, dan biarkan para pembaca yang menentukan siapa pemenangnya!” Justru aku yang memberikan tantangan ini, dan sekarang aku malah buntu ide.
Seperti janji sebelumnya, aku akan dijemput di SLE, tempat kami mengikrarkan janji yang menyiksa ini. Dan sang rivalku, seorang penulis muda yang sudah menerbitkan tiga buku, datang tepat waktu.
Tujuan perjalanan sudah dipetakan, dan tujuan pertama adalah pesta pernikahan yang ada di kabupaten lain. Dan sialnya, aku tidak tahu alamat pasti pesta tersebut. Terbayangkan bagaimana kacaunya perjalanan ini?
Dalam perjanjian, setiap tujuan harus dijadikan sebuah cerita pendek. Jangankan untuk dijadikan sebuah cerita, mau memulai apa dalam cerita itu aku belum tahu. Ditambah lagi aku tidak bisa ‘turun’ dari panggung. Pesonaku semasa sekolah belum lenyap. Semua teman sekolah seperempat abad yang lalu inginkan aku ada di frame foto mereka. Mana sempat aku menulis cerita jika pesta ini jadi ajang reuni kawan-kawan sekolah? Berasa seperti anak SMA? Iya, dan memalukan, karena ini aku jadikan alasan karena tidak menulis apa-apa dalam pesta ini.
Oke, aku mencari alasan, tapi dalam perjalan selanjutnya aku sudah mempersiapkan alasan lain, jika aku tidak juga mampu melahirkan sebuah tulisan.
“Ide, ke mana dirimu? Datanglah…!” Aku membatin di atas boncengan motor yang akan membawa aku dan si penulis muda ke tujuan kami berikutnya, yang sudah kami sepakati.
Gunung Bungkuk sudah tepat di depan mata. Tapi bukan itu tujuan yang akan aku ajak penantangku ini. Sebuah pondok kecil yang ada di tengah-tengah kebun karet dan durian, yang berada tepat di kaki gunung ini. Ke sanalah aku akan memaksa ide-ide dahsyatku bermunculan.
Kami tinggalkan motor di desa terakhir, di rumah penduduk yang sudah aku kenal dekat, dan di pondoknyalah aku akan melahirkan cerita yang akan mengguncang dunia, setidaknya duniaku sendiri.
Mantap aku ajak Muhammad Bisri Mustofa, si Penulis muda itu menyusuri jalan tanah yang menghubungkan kebun-kebun sawit, kebun kopi, kebun karet dan sawah ladang penduduk. Untungnya hari tidak hujan pagi tadi, dan cuaca panas dan mendung bergantian. Jadi, perjalanan sedikit lebih enteng karena jalan tanah ini tidak licin.
Sesekali kami berpapasan dengan motor yang sudah dimodifikasi supaya bisa melalui jalan tanah becek dengan beban yang berat. Jadi sepanjang jalan ini, tidak putus-putusnya jejak rantai yang terpasang pada ban.
Ibarat Ninja Hatori, kami naik turun bukit dan menuruni lembah. Bajuku sudah basah oleh keringat, dan aku berhenti sesaat untuk membukanya dan menyampirkan begitu saja di pundakku. Tas goni kebanggaanku yang didisain dan dikerjakan khusus untukku oleh Egempa Septianto masih tetap aku pasang dengan gagah di belakangku. Sebenarnya ini sedikit memberikan istirahat jantungku yang berdetak sangat kencang dan sedikit sesak pada nafasku.
“Nafasmu kayak kuda” gurauku untuk membuka obrolan. Karena hampir sepanjang perjalanan ini kami hanya diam. Mungkin Bisri berfikir tentang cerita yang akan dia tulis. Dan cerita langkah ini pasti dia masukkan dalam ceritanya.
Berfikir begini, timbul niatku untuk mengacaukan fikirannya tersebut. Supaya ide-idenya tidak sempat mampir di fikirannya. Aku tersenyum kecil dengan ide ini. Aku sudah melakukan tekhnik jitu untuk mengalahkannya hahaha
“Untuk menghemat tenaga dan supaya perut tidak turun, gunakan tekhnik per pada lutut dan sendi kakimu.” Aku membocorkan ‘tekhnik rahasia’ku ketika melangkah pada jalan yang menurun.
“Wak, brapa lama lagi perjalanannya?” Kebayangkan bagaimana dongkolnya aku dengan panggilan ‘wak’ tersebut? Kebayangkan bagamana tuanya aku?
‘Sialan nih anak!’ gerutuku dalam hati hihihi
“Sekitar 1 jam lagi,” jawabku santai.
Lagu Ninja Hatory sangat tepat menggambarkan perjalanan ini. Bukit-bukit dan lembah-lembah sudah ditanami kopi atau sawit, sehingga jumlah oksigen di udara turun drastis. Mestinya perjalanan ini menyejukkan dan tidak membuat nafas cepat tersengal-sengal. Kapitalis sudah menjamah desa pedalaman ini.
Persimpangan pertama sudah terlewati. Dua tanjakan dengan kemiringan setidaknya 35 derajat, akan segera dituntaskan. Keringat mengucur pada kulit tubuh bagian atasku yang telanjang. Muka si pesaingku sedikit pucat karena kelelahan. Nafas bagai kuda habis tarung di pacuan. Melihat kondisi ini, dalam hati aku tersenyum, mungkin senyum yang paling manis dan indah yang pernah aku miliki.
“Anak muda kok kayak gitu…!” Dengan kalimat ‘merendahkan’ ini aku ingin memperlihatkan bahwa jangan melawan aku untuk perjalanan seperti ini hehehe….
Di atas tanjakan terakhir, sudah terlihat jalan setapak yang akan kami lewati. Aku mengabarkan hal gembira ini pada si anak muda loyo ini (hihihi), bahwa perjalanan sore ini akan mencapai tujuan. Terlihat senyum gembira di wajahnya, tapi aku melihat itu satu senyuman yang mirip dengan cengiran kuda. Kelelahan lebih menguasai rona wajah gelapnya (karena dia pembalap : pemuda berbadan gelap gkgkgk).
Di ujung jalan setapak terlihat jelas pondok kecil yang sudah miring bentuknya, tapi masih sangat layak untuk ditempati. Kosong. Pintu terkunci.
“Assalamualaikum….” Kami memberi salam, walau kami tau pasti tidak ada yang akan menjawab. Ini kami lakukan ketika kami mau menaiki tangganya. Lantai kotor, dan nyamuk-nyamuk beterbangan begitu kami memasuki beranda depan. Ada sapu lidi dari daun enau, dan aku gunakan menyapu lantai sebelum kami duduk.
“Kok gak ada orangnya wak?” Ada nada khawatir tersirat dari mulut yang menyimpan senyum manis ini.
“Orangnya ada di kebun lain sejauh 1,5 jam lagi perjalanan”
“Trus, pintunya?”
“Kita akan titip pesan ke orang yang akan melewati kebun mereka, bahwa ada kita di sini menunggu mereka”
“Kalau tidak ada?”
“Kita akan tidur di beranda ini” jawabku cepat.
Rasakan oleh kamu wahai penantang kecil hehe
Untuk mengusir nyamuk juga antisipasi terhadap kedatangan binatang berukuran lebih besar, aku mencari ranting-ranting untuk menghidupkan api. Tidak susah, mengingat dahan dan ranting karet sangat gampang dimakan api. Lalu diikuti oleh Bisri. Tidak lama kemudian, api sudah hidup dan siap untuk dijadikan api unggun nanti malam.
Hmmm….aku sudah kosentrasi untuk memanggil ide-ide keren untuk cerita kerenku. Tapi gagal. Sementara si ‘pembalap’ sudah duduk diam, mungkin bertafakur (mudah-mudahan bukan karena ide cerita sudah berlompatan di kepalanya untuk dituangkan dalam tulisan. Twinkkk…ada tumbuh tanduk di kepalaku hihihi).
Duduk bersandar di dinding pondok, sudah. Berbaring telentang dengan lengan di atas kening, sudah. Berbaring sambil mengetuk-ngetuk jari tangan kanan ke lantai, sudah. Berbaring dengan posisi sebaliknya yang menghadap dinding, sedang aku lakukan saat ini. Tapi, jangankan ide-ide te o pe, yang receh saja tidak juga singgah di otakku.
Hari sudah mulai gelap, udara sudah agak lembab. Binatang-binatang hutan mulai ramai membentuk orkestra yang cuma ada di lingkungan seperti ini. Hasyeeeeekkkkk….aku suka alam ini!
Bisri turun dari pondok dan menghampiri perapian. Mulai membenahi kayu-kayu untuk menjaga api supaya tetap hidup, bahkan menambah lagi, supaya apinya semakin besar dan menerangi gelap hutan ini.
“Wak, bagaimana kita minum? Kita tidak membawa air, bagaimana kita mau memasak makanan? Kita tidak memiliki peralatan apapun!” Hadeeeehhhh…. Orang ini tidak belajar pramuka ya waktu sekolah? Tidak pernah keluar rumah ya?
“Eh men, kamu dengar suara air mengalir? Itulah air minum kita. Langsung diminum dari sumbernya. Kamu tidak akan sakit perut. Kita juga tidak butuh masak makanan, karena makanan kita semuanya siap santap. Yang harus dijaga adalah api supaya tetap menyala. Supaya nyamuk berkurang, dan binatang buas tidak mendekat”. Bagai profesor kawakan aku menjelaskan pada anak rumahan ini, cara hidup di alam liar.
Walau hari sudah menunjukkan pukul 7 malam, masih ada juga sekali-kali motor kebun lewat. Ada yang sendirian, berdua, bahkan bertiga. Terdiri dari suami, istri dan anaknya.
Aku dan Bisri lebih banyak diam. Masing-masing menyusun cerita sendiri di fikirannya. Kalau aku masih berkutat dengan kehampaan ide, si laki-laki yang ada di dekatku malah sudah menekan-nekan keypad pada hand phonenya.
Kita banyak diam. Alam berisik dengan musik malam para penghuni hutan. Nyamuk masih ada berdenging di telingaku. Dalam gelap malam di sekitar pondok, ada beberapa ekor kunang-kunang terbang menggoda pandanganku. Sementara langit tiba-tiba gelap! Owh….aku merinding seketika. Reflek aku memandang Bisri.
Dia juga memandang aku. Wajahnya sangat pucat.
“Wak…” Suaranya sangat pelan.
“Ada apa?” Sementara bulu-bulu di sekujur tubuhku semakin merinding
“Aku kedinginan…” Suaranya hampir tak terdengar. Wajahnya semakin pucat.
Aku langsung bangkit dan segera memeluk dia. Dalam hati aku bingung, apa yang terjadi? Hypo tidak mungkin. Walau udara dingin, dinginnya ini belum akan membuat seseorang hypo.
Segera aku membuka tas dan mengeluarkan semua yang bisa aku gunakan untuk menyelimutinya. Aku segera turun dan memindahkan api ke bawah lantai pondok dan meniup-niup agar api membesar, Supaya udara di bawah tubuh kami hangat. Setelah itu aku segera ke atas dan memeluk tubuh yang menggigil itu erat-erat.
“Wak….” Suaranya sangat lemah.
“Iya..? Ada apa?” Tanyaku penuh kekhawatiran.
“Jangan tinggalkan aku sendirian di sini wak…”
Sangat samar suara itu. Aku cemas.
“Tidak Bisri. Aku
akan memeluk kamu terus! Kamu lawan ya. Kita terus ngobrol!”
“Wak….”
“Iya…?”
“Bawa aku pulang sekarang wak…”
“Iya, kita pulang sekarang!” Jawabku cepat.
Buru-buru aku mengemasi barang-barang dalam tas. Sebisaku saja. Dua tas aku jadikan satu dan segera meletakkan di depan. Dan Bisri di gendong di belakang. Aku ikat dengan syal agar tidak jatuh. Ketika akan berdiri, halilintar, angin dan hujan besar seketika datang. Badai mematahkan dahan-dahan durian. Halilintar sambung menyambung, hujan deras mematikan api di bawah pondok. Aku masih tetap berjongkok di lantai pondok menyaksikan semua itu. Terpana.
Desa Pagar Besi Bengkulu Tengah, 2 februari ’19.
Ini adalah cerita fiktif belaka. Jika ada nama tokoh dan cerita sama, hanya kebetulan saja.