Cerpen: Dewa, Aku dan Dean

Cerpen Dewa Aku dan Dean Foto Eklusif Bagus SLE
Cerpen Dewa Aku dan Dean Foto Eklusif Bagus SLE

Cerpen oleh sle bagus

Kami adalah tiga orang laki-laki yang disatukan oleh nasib. Nasib buruk tak diinginkan lalu ditelantarkan oleh orang tua.

Adalah aku lelaki berumur dua puluh satu tahun. Kuliah di salah satu universitas negeri yang terkenal di sebuah provinsi kecil. Bekerja sambilan sebagai pelayan di sebuah kedai kopi tongkrongan pada sore hingga malam hari.

Di bawahku ada seorang remaja paling menyebalkan. Di usianya yang sudah tujuh belas tahun, sebagai laki-laki mestinya sudah bisa melakukan banyak hal.

Aku lebih dulu enam tahun menjadi adik bagi kak Dewa. Dean, demikian kak Dewa memberikan dia nama, diselamatkan dari tempat sampah saat tubuh kecil itu masih memiliki tali pusar. Hingga kini remaja yang duduk di kelas 2 SMA ini belum tahu sejarah hidupnya. Baginya, kak Dewa adalah ayahnya, dan aku adalah kakaknya.

Kak Dewa menjual rumahnya lalu pindah ke rumah sekarang yang ada di pinggir kota, demi menjaga perkembangan jiwa Dean.

“Jangan pernah kamu memberitahu siapapun, bahkan dengan Dean sekali pun!”

Kak Dewa mengancamku ketika kami baru merayakan ulang tahun kami berdua yang tanggal dan bulan yang sama di tepi laut setahun yang lalu.

Menurutku Dean seorang yang pemalas dan kemalasannya ditutupi dengan kemanjaan. Dan anehnya, aku selalu luluh kalau dia sudah memohon sesuatu. Bahkan ketika harus memenuhi panggilan wali kelasnya karena sudah beberapa kali berkelahi di sekolah.

Seringkali aku kena marah oleh sang ‘ayah’ karena beberapa kali aku tidak bisa menjadi ‘kakak’ yang baik bagi Dean, si manja dan nakal.

Kakak ‘pemarah’ ini adalah super hero bagiku juga bagi Dean. Berusia 37 tahun dan belum menikah. Bekerja keras untuk memberikan banyak hal yang kami butuhkan termasuk pendidikan, tanpa memikirkan dirinya sendiri. Padahal kami adalah orang-orang yang dipungut dalam arti yang sebenarnya.

Aku diambil dari pelataran sebuah teras toko di pasar pada malam hujan badai. Sudah beberapa hari terlunta-lunta karena diusir oleh ayah dan ibu tiriku. Saat itu usiaku baru sepuluh tahun dan dalam kondisi demam tinggi.

Ketika aku hampir saja mencapai batas kesadaran dalam gemetar, sebuah tangan meraba keningku, lalu menggendong dan membawaku dengan berlari menembus hujan. Di bawa ke sebuah rumah sederhana, tempat si penggendong.

Aku merasa, aku dirawat oleh seorang remaja laki-laki penuh tanggung jawab. Pagi pergi kerja dan saat aku harus makan dan minum boat, dia pulang, dan pergi lagi setelah selesai mengurus kebutuhanku. Selalu seperti itu setiap hari hingga aku sembuh total.

Aku berjanji akan mengabdikan diriku untuk si penolong.

“Bang, ayah mana?”
Tiba-tiba saja remaja manja nakal yang sedang menguasai ingatanku saat ini muncul dari pintu kamar. Entah dari mana.

Masuk tanpa salam dan tentu saja mengejutkan aku dan langsung memeluk pundakku yang sedang duduk di kursi belajar kami berdua. Dean memeluk dari belakang.

Berdasarkan dari pengalaman, aku mencurigai akan ada permohonan, dan permohonan itu tidak bisa aku tolak.

“Ada apa?!” Jawab aku enggan.

“Ayah mana?” Ulangnya.

“Belum pulang.” Jawabku pendek.

“Ada apa?” Lanjutku.

“Ayah ke mana, bang?” Dean kemudian beranjak ke tempat tidur, lalu membanting diri ke atas kasur.

Aku perhatikan wajah remaja yang prestasi di sekolah biasa-biasa saja ini. Ada kekhawatiran di situ. Sejujurnya, aku juga khawatir. Sudah 3 hari kak Dewa belum pulang. Tidak berkabar seperti biasanya. Nomornyapun tidak bisa dihubungi.

Tiba-tiba saja aku merasa lelah. Sejak malam pertama kak Dewa belum pulang, aku sudah mengkhawatirkan dia. Memikirkan apa yang sedang dia lakukan sekarang ini?

Terngiang kembali kalimat-kalimat yang aku dengar beberapa hari yang lalu, yang menyebabkan kak Dewa pergi dan belum kembali.

“Jika kau mencintaiku dan ingin menikah denganku, keluarkan mereka dari rumah ini!” Suara seorang perempuan dari dapur.

“Kenapa begitu?” Suara berat seorang laki-laki yang penuh khawatir.

“Aku tidak ingin mengurus orang lain selain dirimu dan anak-anak kita nanti.”

Hening beberapa saat. Aku menunggu kalimat-kalimat lain berikutnya dari si laki-laki.

“Mereka adalah bagian hidupku selama ini. Mereka yang membuat aku lupa akan kesedihan .Mereka yang memberikan aku cinta. Mereka yang menyemangati setiap langkahku.”

Suara yang putus asa itu tanpa sengaja aku dengar. Aku baru saja pulang kuliah dan langsung masuk ketika menemukan pintu terbuka.

BACA JUGA:  Sosok Guru Kreatif di Sekolah Pedalaman Bengkulu Tengah

Buru-buru aku masuk kamar dan mendengarkan obrolan selanjutnya sambil memperhatikan gerak-garik orang-orang yang ada di dapur.

“Saat kau sudah jadi suamiku, maka aku akan menggantikan mereka. Juga anak-anak kita.” Nada kalimat yang meyakinkan.

Kembali hening. Lama tidak ada suara selain suara sesuatu yang diketuk-ketuk di atas meja. Kemudian aku mendengar suara laki-laki tadi.

“Baiklah, aku memutuskan memilih mereka. Jika setelah ini ada yang mengajakmu menikah, terima saja. Begitupun dengan aku. Jika ada wanita yang mau menikah denganku dan menerima mereka berdua, maka aku akan nikahi dia.”

Aku mendengar ada suara piring yang dibanting. Sangat pasti, itu bukan sang pria pelakunya. Kak Dewa tidak akan pernah melakukan itu.

“Artinya kita putus?” Pertanyaan dengan kalimat yang sengit.

“Iya! ” Jawab kak Dewa mantap.

“Baiklah, jangan lagi kau menemuiku ataupun menghubungiku!” Suara penuh amarah dari wanita yang aku dengar langkahnya bergegas melangkah.

Tubuhku yang sempat gemetar oleh pertengkaran mereka semakin aku rapatkan ke dinding di balik pintu kamarku.

Dari celah pintu aku melihat orang yang semakin aku hormati itu melangkah mengantarkan si wanita yang sudah 6 bulan ini sering ke rumah.

Tidak lama kemudian kak Dewa masuk kamarnya, menutup pintunya lalu hening.

Perlahan aku melangkah keluar hingga pintu pagar. Selanjutnya masuk kembali.

“Assalamualaikum… ” Tanpa menunggu jawaban aku masuk lalu mengetuk pintu kamar kak Dewa.

“Kak, kakak ada di dalam?”

“Iya… ” Jawaban yang tanpa semangat.

Tentulah masalah ini yang membuat kak Dewa pergi tanpa ada kabar.

“Bang, besok aku mau ikut tes terakhir untuk masuk tim gulat yang akan dikirim ajang nasional.”

Dean menatapku.

Agak kaget mendengarnya karena aku juga kak Dewa belum tahu kalau Dean berlatih olah raga yang tidak umum ini.

“Lalu…?” Pertanyaan yang menggantung.

“Aku ingin ayah dan abang menonton pertandinganku besok.”

Beberapa jam sebelum pertandingan Dean, aku gelisah. Mondar-mandir sambil melihat jam. Mengingatkan kembali barang-barang yang dibutuhkan oleh Dean nanti saat pertandingan.

“Masih lama, bang. Masih tiga jam lagi.” Dean tertawa memperhatikan tingkahku yang melebihi semangat dirinya.

“Ayah belum juga pulang, bang… ” Dean sangat kecewa karena hingga batas waktu terakhir meninggalkan rumah, orang yang diharapkan belum juga datang.

“Mungkin dia sedang sangat sibuk, atau sedang dalam perjalanan” Tidak ada cara lain bagiku selain memberikan harapan.

“Kan ada abang yang akan berteriak memberikan semangat untukmu.”

Malam ini malam ke 4 kak Dewa tanpa kabar. Dean sudah tidur dengan pulas. Medali kemenangan masih di genggamannya. Anak manja yang nakal ini berhasil masuk jejeran atlit gulat yang akan dikirim ke tingkat nasional.

Sejak mendengar dirinya akan ikut seleksi hingga saat ini, rasa banggaku membuncah. Berkali-kali mataku berkaca-kaca. Dan berkali-kali juga aku memeluk lehernya. Aku adalah kakak yang sangat bahagia hari ini.

Ah, kak Dewa, di mana dirimu? Tidakkah kau ingin melihat anakmu yang tersenyum penuh kemenangan saat ini?” Bisik hatiku lirih.

Kak Dewa, ‘ayah’ Dean adalah yatim piatu di usia sepuluh tahun. Usia 13 tahun dia mulai belajar mencuri. Awalnya kecil-kecilan dan puncaknya ketika dia hampir saja tertangkap ketika akan mencuri sebuah rumah.

Dalam perjalanan melarikan diri tersebut dia menemukan Dean. Bayi mungil itulah yang mengubah hidupnya. Dia tidak ingin memberikan bayi yang dibuang oleh orang tuanya itu makanan yang haram.

“Hari ini, Tuhan telah mengganjar sedikit kebanggaan, jika saja kau ada dini kak… “

Aku memandang langit-langit agar air mataku tidak tumpah.

“Assalamualaikum… ” Suara orang mengetuk pintu.

“Waalaikum Salam… ” Jawabku bergegas. Suara itu suara kak Dean.

Benar saja. Ketika pintu terbuka, aku melihat sosok kekar itu lusuh, kotor dan lelah. Tangannya yang kasar aku tarik ke kamar. Tentu saja di kaget.

“Ada apa?” Tanpa memperdulikan pertanyaan itu aku menunjuk sosok yang sedang tidur dengan medali di tangan itu.

“Medali kemenangan dan dia berhasil masuk tim untuk pertandingan nasional.” Dengan bangga aku menceritakan pertandinganya sore tadi.

“Terimakasih Tuhan…. Terimakasih Dani, terimakasih Dean, kalian telah membuat aku sangat bangga dan bahagia malam ini.

Kalimat yang panjang yang aku dengar dari mulut tanpa banyak bicara selama ini kepada kami.

Aku melihat ada rona bahagia di wajah kusam itu.