Cerpen oleh SLE Bagus
“Kamu berani ML dengan Aku , Fariq?! “
Chat seorang gadis dalam sebuah aplikasi yang ditujukan padaku. Aku tersentak. Karena kami hanyalah teman. Atau lebih tepat TTM.
Cecil, gadis dari salah satu kabupaten baru di provinsi yang baru mau berkembang. Sedangkan aku juga seorang pemuda yang datang dari kabupaten yang berbeda. Kami dipertemukan dalam sebuah kampus dan jurusan yang sama. Semakin akrab karena kami masuk dalam satu kelompok tugas.
Umurku baru saja menginjak 18 tahun. Dan Cecil dua tahun lebih tua dariku. Menurut banyak orang, aku termasuk memiliki fisik yang membuat para gadis akan menyukaiku. Sumpah, aku belum pernah pacaran. Bukan tidak tertarik seperti teman-teman yang lain, tapi aku lebih memilih pendidikan dan membantu orang tua terlebih dahulu.
Kembali pada tantangan di atas. Seketika dadaku berdegup kencang. Tanpa diperintah otakku langsung membayangkan tubuh gadis itu. Perlahan hawa panas mengaliri darah sekitar pusar ke bawah.
Sendiri dalam kamar kost dan lingkungan yang sepi sangat memungkinkan pikiran kotor itu menyeruak dalam tubuh mudaku. Ditambah lagi udara dinihari yang lembab.
“Ke vc, yuk…!” Aku gemetar menekan huruf demi huruf dan lama mempertimbangkan apakah dikirim atau tidak.
Akhirnya aku putuskan untuk mengirim. Sekaligus untuk membuktikan apakah benar Cecil yang mengirim chat di atas.
Beberapa detik kemudian panggilan video masuk dan segera aku sambut. Seorang gadis sedang berbaring di tempat tidur dengan pakaian yang sengaja disingkapkan pada bagian dada tampil di layar gawaiku. Bibir basah dan air muka itu sangat menggodaku.
Aku menelan ludah berkali-kali.
Aku buru-buru menyelesaikan kewajibanku pagi ini. Karet seluas dua hektar sudah aku sadap. Kegiatan rutin ketika aku pulang ke rumah setiap minggu.
Janji bertemu dengan Cecil di akhir vc beberapa hari yang lalu menguasai waktuku.
Udara panas yang kering pada musim kemarau tidaklah menjadi pertimbangan. Isi obrolan antara aku dan Cecil menggedor-gedor otakku untuk segera menunaikan janji tersebut. Motor besar warna merah berlari kencang menuju kabupaten sebelah.
Di depan pintu rumah yang tertutup aku menata degup jantungku yang berdetak kencang. Ditambah lagi ketika seorang gadis berbaju tidur tipis dan tanpa bra membuka pintu untukku. Sesaat dia celingak-celinguk memperhatikan sekitar.
“Masukkan motor ke garasi saja, beb… ” Perintah dengan nada yang mendesah… Ah… Aku mengikuti.
Selanjutnya semua pintu ditutup dan aku ditarik ke kamar. Hanya berdua di rumah besar karena Kedua orang tua Cecil sedang ke kota provinsi. Sang kakak sudah menikah dan pindah ke rumah kontrakan dan adik selalu bermain dan entah kapan pulang.
Aku mengikuti saja ketika tangan gemulai gadis itu menghempaskan tubuhku ke tempat tidur yang empuk. Kamar ini wangi sekali.
“Apakah akan hamil?” Pertanyaan ini berulangkali muncul di otakku.
Aku kalut dan takut.
Semua yang aku lakukan sejak pulang dari rumah gadis yang membuat aku berkeringat di tempat tidur semalam, tidak ada yang bisa mengalihkan ataupun mengurangi pikiran itu.
Dalam bayangan di pelupuk mata, tergambar jelas beberapa kali sejoli yang secara tidak sengaja aku bertemu ketika mereka keluar dari pondok area persawahan yang di wilayah desaku.
Beberapa bulan kemudian terdengar kabar si A yang baru kelas 1 SMA di desa B akan menikah. Atau si B yang baru semester awal perguruan tinggi telah bunting oleh si C.
Yang paling mengerikan menurutku adalah D yang masih SMP dilaporkan ke polisi oleh keluarga E yang tidak terima kalau kehormatan anak gadisnya telah direnggut paksa oleh D di rumah remaja yang masih belum tumbuh sempurna rambut-rambut di tubuhnya.
Aku takut jika yang kami lakukan kemaren akan mempermalukan kedua orang tuaku. Aku tidak mau kalau pergulatan di kamar berwarna pink itu akan menghentikan aku dari bangku pendidikan.
“Aku takut… ” Kalimat itu segera aku kirim ke Cecil. Lama aku menunggu balasan dari gadis itu. Pesan itu belum dibaca. Untuk beberapa menit mataku tidak lepas memandang nomor yang penyebab situasi kacau hatiku.
Aku semakin kalut karena berjam-jam kemudian pesanku belum dibaca. Padahal gadis itu berulangkali on line.
Sudah seminggu hidupku tidak tenang. Aku berada dalam ketakutan yang belum pasti. Obrolan via media sosial yang kami gunakan dengan Cecil tentang ketakutan itu malah melahirkan rasa dongkol.
Aku ditertawakan. Ditertawakan terbahak-bahak hingga air mata gadis itu keluar. Aku tersinggung dan marah.
Aku belum pernah bercinta sebelumnya. Meraba, meremas dan mencium buah dada seorang gadis baru pertama kali saat itu. Untuk mengecup bibirpun aku dipandu oleh perempuan yang sedang konak tersebut.
Belaian jemari dan jilatan lidah di seluruh tubuhku, bahkan hingga aku mencapai puncak, aku hanyalah pemain amatiran yang baru berlatih.
Jadi wajar aku sangat takut dan khawatir kalau saja si pelatih handal itu sampai hamil.
“Aku belum datang bulan dan belum saatnya.”
Dua kata terakhir luput dari telaah. Sehingga empat kata awal itu sempat membuat aku semaput.
Berbagai kemungkinan yang memalukan mondar-mandir di benakku. Bayangan wajah orang tua yang murka karena telah dipermalukan oleh anak tunggalnya, atau cita-cita yang dipaksa kandas oleh situasi di mana aku harus mempertanggungjawabkan kehidupan benih yang terlanjur tumbuh.
“Oh Tuhan…. ” Beberapa kali kepalaku dibenturkan ke dinding dan sempat berpikir akan lari atau bunuh diri.
“Bodohnya aku…!” Kalimat ini entah sudah berapa kali aku keluarkan.
Aku sudah tidak tahan. Kuota yang seharusnya habis seminggu lagi tak besisa.. Berselancar mencari informasi tentang kehamilan. Aku ingin menyudahi kekacauan ini.
Beberapa informasi sempat meringankan sejenak. Terutama proses terjadinya kehamilan. Untuk terjadinya pembuahan pada sel telur harus terjadi penetrasi dan pelepasan sperma di dalam rahim.
Penjelasan dari beberapa artikel yang dibaca belum mengakhiri peperangan dalam batinku. Belum puas, kembali aku menjelajah beberapa sumber di internet. Berusaha mendapatkan tips jitu untuk melepaskan calon bayi yang belum aku kehendaki tersebut.
Di sebuah kedai kopi dekat kampus aku telah menghabiskan dua bungkus rokok yang lumayan berat bagi usiaku. Tiga gelas kopi telah tandas aku reguk. Sikapku yang gelisah dan berpikir keras menarik perhatian penjaga sekaligus pemilik kedai.
“Om siap menjadi pendengar sekaligus teman diskusi jika dibutuhkan.”
Bagai telah berjalan beberapa hari di gurun kering tanpa air lalu bertemu oase. Begitulah rasanya hatiku saat itu. Aku butuh orang yang akan mendengarkan persoalanku dan jika berkenan memberikan jawaban dari pertanyaanku yang tidak dijawab secara pasti oleh Cecil.
Usai pemaparan panjang lebar dariku, om-om yang duduk di depanku tersenyum. Aku menangkap ada kesan lucu dari reaksi ceritaku.
“Siapa namamu dan umur berapa?” Om tersebut bukannya menanggapi cerita panjang lebar yang aku sampaikan, malah memberikan pertanyaan menurutku tidak ada hubungannya.
“Farik, Om. Baru masuk 18 tahun.” Dengan berat hati aku menjelaskan diriku.
“Waktu kamu orgasme, kalian masih berpakaian lengkap? Dalam arti spermamu keluar di dalam celanamu?”
“Iya, Om… ” Aku menunduk. Takut melihat mata yang memandangku penuh selidik.
“Farik, untuk membuat seorang wanita bisa hamil kamu harus memasukkan sperma kamu langsung di dalam rahimnya. Proses itu terjadi jika ‘burung’mu memasuki sarangnya yang ada pada perempuan dan memuntahkan mani di dalam sarang tersebut.”
Mendengar kalimat-kalimat yang gampang aku cerna tersebut membuat aku mengangkat wajah dan memandang bibir yang mengeluarkan kata-kata bagai angin sejuk itu.
“Tapi ketika punyaku keluar, posisi menempel pas di atas milik si cewek, Om… ” Aku masih khawatir.
Kembali senyum lucu tergambar oleh tarikan mulutnya.
“Celanamu berapa lapis?”
Kok pertanyaan itu yang harus aku dengar?
“Tiga om. Celana dalam, bokser dan celana Jeans.”
“Si cewek?”
“Masih pakai celana tidur dan sepertinya celana dalam ada juga.”
“Nah, kalau begitu, sangat tidak ada kemungkinan spermamu bisa membuahi sel telur yang ada di rahim cewek itu. Kalian sudah lama pacaran?”
“Tidak pacaran, Om. Cuma teman biasa.”
“Ooo… ” Cuma itu yang keluar dari mulut si Om sambil mengangguk-angguk kecil.
“Kamu suka atas apa yang telah terjadi?” Tanpa di duga pertanyaan yang akan menelanjangi itu tertuju padaku.
Malu-malu aku mengangguk.
“Kamu menikmati?” Aku bingung harus menjawab atau tidak.
‘Menikmati… ” Ucapku pelan sambil menunduk.
“Tapi aku tidak mau lagi, Om. Aku tidak mau mempermalukan orang tuaku juga aku tidak ingin kuliahku terganggu.” Sambungku cepat sambil menatap wajah laki-laki yang sedang menyeruput kopi tersebut.
Dia berhenti dari kegiatannya dan memandangku lebih dalam. Lama dia melakukan itu. Selanjutnya aku melihat sinar bahagia dari raut muka ramah orang tersebut.
“Sebelum Om kasih saran, Om mau kamu jawab jujur pertanyaan Om.”
“Apa itu Om?”
“Kamu masih perjaka? Dalam arti belum pernah berhubungan seks?”
“Masih, Om.” Jawabku pasti.
Obrolan panjang berlangsung tanpa aku sadari hingga waktu hampir subuh. Aku meninggalkan kedai kopi penuh solusi dan menginspirasi tersebut dengan langkah ringan.
Alarm memekakkan telinga berbunyi tepat jam 9 pagi. Walau masih ngantuk aku tetap bangun. Aku rasakan badanku pagi ini segar.
Setelah mandi satu persatu pesan yang ada di beberapa aplikasi sosial media aku buka. Membalas jika perlu balasan. Sampai pada pesan Cecil. Dia mengirim foto. Antara mau dibuka atau tidak sama sekali. Dengan penuh pertimbangan aku buka foto yang menampilkan seorang wanita berbaring di tempat tidur dengan dada yang sengaja tidak ditutup sempurna.
“Maaf, Sil. Aku sudah tidak mau.”
Pesan suara aku kirim.
Beberapa detik kemudian masuk balasan.
“Maksudnya?”
Lama aku memikirkan sesuatu yang bisa aku jadikan alasan. Semenit, dua menit, hingga lima menit.
“Maksudnya apa?” Pesan Cecil masuk lagi. Kali ini disertai emoji marah.
Entah dari mana aku dapat ide sehingga aku mengetik kalimat seperti ini.
“Orang tuaku sudah membesarkan dan membiayai kehidupan aku dengan biaya yang tidak terhitung. Ketika aku disunatpun orang tuaku mengeluarkan biaya yang besar. Ketika dewasa aku membiarkan orang menikmati tubuhku begitu saja dan mengabaikan nama baik mereka? Aku mahal, Sil. Jika kamu mau merasakan tubuhku, sanggupkah kamu membayarnya?”
Tanpa berfikir dua kali pesan itu aku kirim. Persetan dengan apapun jawaban ataupun sikap gadis itu kemudian hari.
Yang terpenting bagiku adalah menempatkan perbedaan jelas antara aku dan para makhluk yang berjenis binatang.
Berdasarkan kisah nyata dan terinspirasi dari kehidupan seseorang yang mengagumkan.