Oleh: Elfahmi Lubis
Melawan arus utama (mainstream) pendapat publik di negeri ini bukan perkara gampang. Anda harus siap dengan segala resiko, mulai dibenci, dimaki, dicerca, dianiaya, dan bahkan nyawa bisa-bisa melayang.
Apalagi jika perbedaan pandangan dan pikiran itu sudah menyentuh wilayah sensitif seperti agama, suku, ras dan antar golongan. Mungkin kita bisa bebas di dunia maya atas pikiran dan pandangan kita itu, tapi tidak untuk di dunia nyata.
Mungkin itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi terhadap saudara kita Ade Armando. Siapa yang tidak tahu dengan sepak terjang AA di jagat sosial media Indonesia, dosen yang sering dikaitkan dengan buzzer dan influencer “penguasa” negeri ini, merupakan sosok kontroversial.
Narasi-narasi yang dilontarkan Ade Armando, sering menyerang figur dan kelompok tertentu, dan tidak jarang menyebabkan ketersinggungan kelompok mayoritas. Tidak itu saja melalui pravilage buzzer “penguasa” yang melekat pada dirinya, Ade Armando tidak jarang melakukan “pembunuhan” karakter atau character assassination terhadap orang-orang yang dianggap kritis dan menentang pemerintah. Bahkan, Gubernur sekelas Anies Baswedan, tidak luput dari sarkasme Ade Armando.
Saya mengatakan bahwa orang seperti Ade Armando hanya salah dalam memilih negara. Seharusnya, orang yang punya pikiran liberal seperti anda tepatnya memilih hidup dan berkarya di negara yang liberal juga seperti di barat. Jika yang anda lakukan di Indonesia ini, anda lakukan di Belanda atau Perancis, maka anda akan aman-aman saja dan tidak ada yang mengusik pikiranmu.
Sudah tidak terhitung laporan polisi dilayangkan ke pria asal Sumatera Barat ini, yang dipicu oleh narasi “pedasnya” di media sosial.
Namun pria ini masih mampu berkelit dan lepas dari jeratan hukum. Tidak sedikit publik menilai dan menuding bahwa yang bersangkutan adalah warga negara kelas satu yang “kebal hukum”. Namun, Senin (12/04/2022) nasib tidak berpihak kepada beliau, upayanya untuk bergabung dalam aksi unjuk rasa mahasiswa di depan gedung DPR/MPR Senayan Jakarta, memancing kemarahan sekelompok orang (baca bukan mahasiswa) yang juga ada di arena demonstrasi.
Diawali dengan cekcok dengan para ibu-ibu peserta aksi, tidak lama berselang tiba-tiba terjadi aksi kekerasan terhadap Ade Armando. Melihat video yang beredar di media sosial, aksi kekerasan dan “brutalisme” terhadap AA sungguh miris dan mengusik sisi nurani kita. Dengan kondisi muka memar dan lebam dan hanya menggunakan kolor, AA akhirnya berhasil diselamatkan dan dievakuasi dari area demonstrasi oleh aparat kepolisian yang menjaga aksi demonstrasi mahasiswa.
Anda boleh tidak setuju dan sependapat dengan saya, dari sisi kemanusiaan apapun alasannya tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap Ade Armando, tidak dapat dibenarkan. Kalaupun banyak yang tidak setuju dengan narasi dan pandangannya yang sering menyerang dan membuat ketersinggungan kelompok tertentu, bukan berarti alasan itu menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap yang bersangkutan. Jika anda tidak suka dengan narasi dan pandangannya, maka lakukan kontra narasi.
Bukan anda balas dengan aksi kekerasan dan vandalisme terhadap tubuh/fisik. Apa yang terjadi dengan Ade Armando, menunjukkan bahwa bangsa ini punya persoalan terhadap “kemanusiaan”. Hal ini juga semakin menegasikan bahwa sejatinya masing-masing kita memiliki sifat “barbarisme” terhadap orang yang dianggap berbeda, tinggal menunggu momentum untuk dilepaskan.
Bangsa ini masih banyak belajar dalam mengelola perbedaan dan konflik. Sikap selalu ingin membuat orang uniform dengan sikap kelompok kita merupakan jalan panjang menuju kebhinekaan hakiki. Kejadian ini harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bagaimana cerdas berdemokrasi dan elegan dalam mengelola perbedaan.
Sikap saya jelas tidak setuju dengan perilaku dan tindakan Ade Armando selama ini yang selalu “menghina” dan “memprovokasi” dengan narasi-narasi yang menyakitkan kelompok lain, serta “merongrong” suara-suara kritis mahasiswa dan kelompok pro demokrasi.
Tapi ketidaksetujuan saya dengan pandangan dan pikirannya, tidak berarti saya setuju cara-cara kekerasan yang diperlakukan terhadap beliau. Pada titik ini sikap saya tegas, bahwa apapun alasannya cara-cara “barbarisme” tidak boleh hidup dan berkembang menjadi habit pada bangsa ini. Selamat Malam, Wassalam.