Oleh: Jacob Ereste
Puasa pada bulan ramadhan merupakan serangkaian acara ritual yang sakral serta sarat dengan muatan nilai-nilai spiritual sampai pada perayaan hari raya Idhul Fitri. Namun sebelumnya supaya afdol dilengkapi dengan pemberian zakat fitrah, zakat mal serta beragam bentuk sedekah dalam bentuk lain agar menggenapi bilangan puasa sebagai penguji kejujuran serta keikhlasan dari diri sendiri untuk bersedia berkorban demi orang lain.
Sebab didalam transaksi pengeluaran zakat mal maupun zakat fitrah itu sepenuhnya dapat dilakukan, dihitung dan diputuskan oleh diri kita sendiri tanpa perlu keterlibatan pihak lain. Jadi mulai dari jumlah zakat mal yang harus dan wajib dikeluarkan untuk kemudian diberikan kepada pihak lain — termasuk zakat fitrah — yang hendak diberikan kepada siapa saja yang kita anggap lebih pantas untuk menerimanya bisa kita putuskan sendiri. Tanpa pihak lain boleh ikut intervensi menentukan terhadap proses perhitungan maupun ketika memilih dan menentukan kepada siapa zakat itu hendak diberikan. Pihak lain bisa saja sekedar memberi masukan dan saran semata untuk kesempurnaan dari proses hingga menentukan siapa pihak yang paling berhak menerima zakat fitrah maupun zakat mal tersebut.
Pengeluaran zakat fitrah maupun zakat mal itu semacam bentuk pamungkas dari proses membersihkan diri dari sikap dan sifat pembohong, curang, pelit, dengki pokoknya semua sifat dan sikap buruk — yang tidak terpuji — dilarung ke laut, seperti simbolik dari proses upacara keagamaan dalam bentuk yang lain.
Serangkaian acara — atau upacara semacam itu — merupakan wujud nyata atau bukti dari kejujuran serta ketulusan hati dalam menguji diri melalui puasa selama sebulan penuh pada bulan ramadan. Maka itu dalam proses pengeluaran zakat fitrah dan zakat mal menjadi semacam tahapan akhir dari pengujian kejujuran serta keikhlasan yang harus dan penting dilakukan bagi setiap orang untuk mencapai fitrah — Idhul Fitri — semacam perjalanan spiritual menggamit kemuliaan manusia sebagai Khalifah di muka bumi.
Karena itu, semua perbuatan baik serta perbuatan jahat semua manusia semasa hidupnya akan dipertanggung jawabkan kelak di dunia akhir yang disebut akhirat. Meski tidak sedikit pula diantaranya yang sudah mendapat ganjaran atau azab ketika masih hidup, baik langsung terhadap dirinya maupun melalui keluarganya yang lain.
Kesaksian kita yang pernah pernah menyaksikan adanya satu keluarga yang secara keseluruhan didera oleh suatu penyakit — entah secara turun temurun atau tidak — yang didera oleh penyakit yang sama, dapat dipahami semacam azab di di dunia yang kelak akan lebih dahsyat lagi ketika di neraka.
Tragika dari kisah serupa ini sungguh lumayan banyak yang dialami oleh satu atau dua orang anggota keluarga saja. Tetapi ketika hampir seluruh anggota keluarga itu didera oleh musibah serupa, agaknya ini semua terjadi atas otoritas Tuhan yang sulit dipahami oleh akal sehat sekalipun.
Persis seperti otoritas Tuhan yang membuat angin puting beliung atau gempa bumi dan tsunami yang sangat dahsyat itu, sebagai fenomena lain dari kemampuan manusia yang tidak berdaya dihadapan Tuhan. Sebab angin dan topan yang datang dalam sekejap mata itu, mampu meluluh lantakkan satu bagian wilayah yang ada di bumi, tanpa pernah mampu diatasi oleh manusia segagah apapun.
Karena itu, pada tahapan tertentu perjalan spiritual itu dapat dipahami semacam upaya untuk menguak rahasia Tuhan yang begitu banyak dipahami sebagai misteri bagi manusia yang serba terbatas. Sehingga manusia tak perlu pongah kepada Tuhan yang memiliki segalanya di jagat raya ini, termasuk kepongahan diri kita sendiri sekecil apapun.