Part #12 Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga Bunga Indah Ini

-Oleh: Bagus presiden SLE-

~Lelaki Aroma Laut~

“Sar, aku ikut ke kosanmu, ya… ” Ujar Ryu setelah mereka menghabiskan makanan mereka.

“Ayo… ” Jawab Basar. Setelah ngobrol sambil makan bakso tadi, Basar tidak lagi canggung. Dia menemukan Ryu yang seperti yang diceritakan oleh teman-temannya.

Sejak saat itulah Ryu pamit pada kakaknya untuk tidak pulang ke rumah usai sekolah. Lagi pula, selain bersekolah, mengikuti kegiatan ekstra kulikuler, bermain bersama teman-teman di lapangan merdeka, alun-alunnya kota Bengkulu waktu itu, maka tidak Ada yang dilakukan oleh Ryu. Pekerjaan di rumah Ada dua orang pembantu yang menolong kakaknya, sementara di toko ada seorang karyawan yang membantu kakak iparnya. Sebagai satu-satunya anak laki-laki di rumah, maka Ryu adalah pangeran bagi seluruh keluarga.

Hampir setiap hari, hari-hari Ryu dihabiskan bersama Basar. Apa yang dikerjakan oleh Basar, setelah jam sekolah atau hari libur, itu pula yang dilakukan oleh Ryu. Menggali sumur, membersihkan kebun orang lain, membuat taris (pagar depan rumah orang Bengkulu), mengecat rumah, panen kelapa, jual sayur di pasar, bahkan pernah juga menemani Basar jadi kuli bangunan, dan Ryu tidak pernah mengambil upah bagiannya.

Pada saat tidak ada pekerjaan, Ryu mengajak Basar menginap di rumah, atau nonton bioskop.

Tapi sayang, setelah tamat sekolah, mereka tidak pernah bertemu lagi. Ryu sibuk dengan dunianya yang baru, pergi ke daerah-daerah lain di Indonesia ini, sementara Basar, entah apa kabarnya. Ryu sering mencari, tapi hingga saat ini belum pernah bertemu kembali.

Bagi Ryu, Basar adalah guru kehidupannya, mengajarkan kerja keras untuk mencapai tujuan, pekerjaan yang tidak akan dia alami sebagai pangeran di keluarga.

Tegar menggeliat, lalu memeluk tubuh ayahnya.

“Ayah…. ” Ucap Tegar dalam tidurnya. Bibir berkumis yang mulai lebar itu tersenyum. Senyum yang bahagia.

Ryu mencium kening anaknya. Ada aroma matahari di kulit yang agak gelap ini.

“Apa yang kau kerjakan di luar sana, nak?” Bisik Ryu dengan sayang.

Pagi sebelum sekolah, Tegar membangunkan ayahnya yang masih tertidur di tempat tidurnya. Tegar baru tahu kalau ayahnya tidur bersamanya, ketika dia bangun pagi ini.

“Ayah, adek minta jatah jajan adek sebulan ke depan full sekarang, ya, yah… “

Tegar langsung menodong sang ayah, di saat baru saja membuka mata. Setelah menguap dan kucek-kucek mata, Ryu menanyakan kembali ucapan Tegar.

“Apa dek?”

“Jatah jajan sebulan ini, adek minta semuanya sekarang, boleh ya, yah… “

Tegar menarik selimut sang ayah, isyarat agar lelaki yang masih ngantuk itu segera bangkit. Ryu duduk, sesaat kemudian langsung berbaring lagi.

“Ayah, cepat la yah, nanti adek telat sekolah… ” Tegar merengek kesal pada ayahnya.

“Ambil sendiri di dompet ayah… “
Sahut Ryu sambil memejamkan matanya kembali.

Tegar langsung berbinar. Senyum mengembang membuka semangatnya di pagi ini. Wajahnya cerah secerah mentari pagi.

Begitu bel sekolah usai, Tegar langsung menuju ojol langganannya yang sudah menunggu. Langsung di antar ke alamat yang sudah hampir sepuluh hari ini menjadi tujuannya sepulang sekolah. Rumah sederhana di pinggiran hutan, perbatasan antara kota dan kabupaten. Setelah Tegar turun, ojol langsung berangkat. Dan akan menjemput kembali sekitar jam delapan malam.

Setelah mengenakan baju ganti yang selalu dibawa, Tegar mengambil cangkul, dan langsung mencangkul tanah untuk membuat parit-parit. Rencananya, dia akan menanam ubi jalar, terong, bayam dan kacang panjang, di tanah yang tidak luas ini. Tegar akan memaksimalkan pemanfaatan lahan ini, dengan perencanaan setelah dua minggu ke depan, kakek dan nenek pemilik lahan ini akan panen setiap minggu, untuk membiayai kehidupan mereka ke depan.

Tegar menyeka keringat di keningnya. Tubuh itu sekarang basah oleh keringat. Dia memperhatikan kakek dan nenek, di temani oleh gadis kecil, mulai menanam bibit bayam pada lahan yang sudah siap tanam. Dua wajah tua itu sekali-kali memandang Tegar. Senyum bahagia selalu tersungging di wajah mereka.

Hari hampir menjelang maghrib, tiga orang ini menghentikan kegiatan mereka. Sebelum beranjak, Tegar memperhatikan pekerjaannya yang sudah selesai semua.

“Sesuai target,” Bisiknya puas.

Sambil menunggu keringatnya kering, tubuh yang sehat ini melangkah ke sisi lain rumah, melihat bibit terong yang sudah tumbuh dan siap untuk dipindahkan. Dan target selanjutnya untuk esok adalah memindahkan bibit-bibit ini ke tempat tanam yang sudah dibuat.

Menjelang jam tujuh malam, setelah mereka makan malam, Tegar ingin menanyakan pertanyaan yang mengusik hatinya beberapa hari ini. Menanyakan tentang anak-anak kakek dan nenek, yang berjumlah tiga orang, yang dia lihat di foto, terpajang di dinding. Sudah hampir sepuluh hari, belum pernah melihat salah satu dari mereka mengunjungi kedua orang tua ini.

“Nek, adek belum pernah melihat anak-anak nenek yang di foto itu, mereka di mana nek?”

Dua mata tua saling berpandangan. Selanjutnya menunduk. Kakek tidak lama kemudian beranjak menuju dipan dan langsung berbaring. Tubuh tua itu miring menghadap dinding. Sementara nenek berulangkali manarik nafas dalam-dalam sebelum dia menjawab dengan berat. Mata buramnya sesaat menatap si gadis Suci, gadis kecil yang sedang memainkan boneka kusam.

“Ayah Suci, sejak kepergiannya ke Malaysia untuk mencari kerja empat tahun yang lalu, hingga kini belum ada kabar. Saat dia pergi Suci belum lagi setahun. Dia adalah pekerja keras dan sebelum dia menikah, dialah yang menafkahi kami, dan menguliahkan adik-adiknya hingga tamat.”

Sesaat dia terdiam dan kembali memandang Suci. Suaranya semakin berat ketika mengeluarkan kalimat-kalimat berikut.

“Istrinya, ibu Suci, sejak kepergian suaminya, kembali pada orang tuanya, dan menikah lagi enam bulan lalu. Setelah menikah dia ikut suaminya ke Palembang. Ketika pamit, dia meninggalkan Suci bersama kami.”

Wajah tua yang murung itu menunduk sangat dalam, hingga dagu keriput itu menyentuh dada. Kembali dia menarik nafas, dan membuang dengan perlahan. Perlahan juga dia bangkit, memandang foto seorang pemuda yang sudah wisuda. Di samping si pemuda berdiri seorang perempuan. Keduanya tersenyum bahagia.

Si nenek menyentuh muka dalam foto itu, lalu duduk kembali. Dia meraih cangkir plastik di atas meja, lalu meminum air di dalamnya hingga habis. Sepertinya dia butuh kekuatan menyampaikan kalimat-kalimat berikutnya. Kedua tangannya masih memegang cangkir di meja, sambil menunduk, dia membuka kalimatnya dengan Nada geram.

“Dan itu, yang wisuda itu, anak ke dua kami. Yang kuliahnya dibiayai oleh ayah suci,… ”

BACA JUGA:  Mama Memang Kejam

Tegar melihat wajah tua itu
berjuang untuk melanjutkan cerita selanjutnya. Tegar penasaran dan menunggu.

“Setelah tamat kuliah, dia langsung menikah. Sedangkan kakaknya belum. Kami tidak diundang ke pernikahan itu.”

Jemari lemah tangan tua itu meremas cangkir plastik di tangannya. Cangkir itu peot. Wajah keriput itu mengeras. Ketika Tegar melihat sekilas sinar matanya, Mata itu menunjukkan kejijikan.

Tegar semakin penasaran dengan kalimat yang akan dikeluarkan dari mulut yang sudah tidak bergigi itu.

“Sejak menikah hingga sekarang, mereka belum pernah menginjak rumah ini. Sekarang keduanya menjadi anggota DPR. Yang laki-laki anggota DPR di kota, dan yang perempuan di kabupaten sebelah.

Pernah datukmu ketemu laki-laki bangsat itu di warung depan jalan sana. Datukmu mau berhutang beras, dan dia membeli berpuluh-puluh minuman botol besar. Ketika datukmu menanyakan mengapa dia tidak pernah menjenguk kami di sini…. “

Cerita nenek terhenti oleh sesenggukan yang di tahan. Air matanya menetes. Lama Tegar menunggu kelanjutan cerita yang semakin membuat dia ingin tahu lebih lanjut.

“Kau tahu jawabannya…?” Si nenek menggantungkan kalimatnya dan memandang Tegar. Dia tidak menangis lagi.

“Dia tidak ingin mobilnya kotor oleh lumpur gang ini atau tergores oleh semak-semak di kiri kanan jalan setapak itu!”

Si nenek emosi dan menunjuk-nunjuk ke arah jalan setapak.

“Selanjutnya dia pergi tanpa menanyakan kabar kami!”

Suci yang lagi bermain terkejut mendengar suara tinggi si nenek. Dan kakek memperhatikan istrinya yang lagi emosi itu. Tegar terpana. Dia melihat wanita tua itu terluka sangat dalam. Dadanya naik turun dengan hebat.

Nenek diam. Dia mengatur emosinya. Setelah sedikit lebih tenang, dengan gemetar dia mengambil ceret, dan menuangkan isinya hingga melimpah. Dia kembali duduk, dan meminum air hingga habis. Dia haus, setelah mengeluarkan amarah yang sepertinya lama terpendam.

“Yang bungsu itu juga menikah tidak lama setelah wisuda. Dua tahun setelah si DPR tak tahu diri itu. Sekarang sudah PNS. Hanya datang setahun sekali, pas lebaran. Tidak pernah membawa apa-apa setiap kali ke sini, setidaknya, bawalah untuk kami lontong buatan istrinya yang juga PNS tersebut, walau hanya sebuah ketupat… “

Mata tua itu menerawang memandang atap. Kali ini, wajah itu tanpa ekspresi. Ujung jari telunjuk tangan kiri memutar-mutar di bibir cangkir. Tidak lama setelah itu, wajah lelah memandang ke arah Tegar. Tegar salah tingkah.

“Setiap kali ke sini, mereka tidak pernah mau masuk. Katanya malas membuka sepatu. Dan anak mereka yang berumur tujuh tahun, tidak pernah di bawa, kata mereka di sini banyak nyamuk. Takut si anak digigit. Kau tahu bagaimana rasanya penghinaan ini? Dan, anak kami itu, berapa tahun hidup di dalam rumah ini sebelum dia menikah?”

Kalimat yang sangat datar dan getir. Mungkin sudah terkuras emosinya.

Tegar kembali memperhatikan ruangan di rumah yang mungkin berukuran enam kali tiga meter ini. Ada dua kamar yang dipisah oleh ruang tamu. Satu kamar, Tegar menebak, adalah kamar untuk dua anak lelaki mereka, sedangkan satunya lagi, untuk si nenek dan kakek. Sementara yang tua, mungkin tidur di ruang tamu ini. Tegar menduga, setiap kamar paling luas sekitar tiga kali tiga meter. Sama dengan kamarnya di cafe. Selain itu, ada dapur yang yang menempel dengan rumah ini, menghitam oleh asap kayu bakar sebagai alat untuk memasak.

Rumah yang berlantai semen kasar, berdinding sisa-sisa papan yang tidak bisa dijual lagi oleh panglong, beratap daun rumbia, dan tanpa plafon ini menyimpan banyak luka di hati penghuninya.

Selain dipan reot tempat kakek berbaring, ada satu meja makan tua, dan dua kursi tanpa ada sandaran, juga sama tuanya dengan meja. Selain itu tidak ada lagi perabot di ruang tamu ini.

“Adek ingat waktu adek menanyakan mengapa nenek menjual sayuran yang sudah di buang orang waktu itu?”

Pertanyaan dari nenek ini mengingatkan Tegar pada setiap peristiwa yang dia lihat ketika hari pertama dia bertemu dengan keluarga ini. Tegar hanya memandang tubuh renta yang jiwanya penuh luka di hadapannya ini.

“Hari itu, habis solat subuh, nenek mulai berjalan untuk mencari kerja. Tapi siapa yang mau memberikan pekerjaan pada tubuh renta ini? Nenek terus berjalan, dan singgah pada tempat-tempat yang menurut nenek butuh bantuan tenaga nenek, dan akhirnya sampailah di pasar itu.

Saat itu, nenek berpikir, ketika pulang, nenek harus membawa uang, atau setidaknya sesuatu yang bisa dimakan. Karena sejak kemaren tidak ada lagi yang bisa di masak untuk di makan. Mau berhutang ke warung, nenek sudah malu. Karena sudah sangat banyak hutang kami di warung. Mau meminta dengan tetanggapun sudah tidak sanggup lagi.

Di saat kalut itu, nenek banyak melihat sisa-sisa sayur yang menurut nenek, mungkin masih laku jika dijual. Dan, akhirnya….dengan peristiwa itu Tuhan mempertemukan nenek dengan anak baik sepertimu dan supir ojek itu. Beruntunglah orang tua kalian memiliki anak seperti kalian… “

Nenek menutup kalimatnya. Wajah tadi penuh beban ketika mengeluarkan kalimat-kalimat dari bibir keriputnya itu, terlihat lega.

Mereka terdiam. Tegar membayangkan nenek yang tua dan sudah bungkuk ini berjalan dari sini hingga ke pasar minggu, paling tidak ada sepuluh kilometer jarak yang dia jalani demi mencari pekerjaan agar bisa membawa sesuatu yang bisa di makan.

Tegar teringat lagi dengan perjalanan dia dan Jago, yang waktu itu juga telah menempuh perjalanan jauh, mencari orang-orang yang butuh bantuan mereka, demi bisa makan. Mereka juga mengalami hal yang sama seperti nenek, penolakan. Siapa yang bisa mempercayai pekerjaan pada dua orang anak-anak?

“Kami adalah orang gagal cung. Gagal mendapatkan kehidupan yang layak, juga gagal dalam mendidik anak-anak kami. Mungkin juga kami gagal dalam mencapai kesenangan akhirat kelak.”

Si kakek memecah kesunyian di antara mereka.

Mendadak Tegar merasa malam ini sangat berat. Suara-suara binatang malam yang menghias hutan di belakang rumah terasa menyanyikan lagu duka. Tegar ingin segera pulang. Dia ingin ayahnya memeluk dia dan tertidur di pelukan lelaki aroma laut itu, hingga dia terbangun esok pagi.

Next part #13

Note : cerita ini hanyalah fiktif belaka. Jika ada persamaan karakter dan peristiwa, itu hanyalah karangan imajinasi belaka. Tidak ada maksud menyinggung pihak manapun juga.