Tulungagung, Word Pers Indonesia — Dunia pendidikan di Kabupaten Tulungagung kembali tercoreng. Kali ini, sorotan tajam mengarah ke SMKN Pagerwojo, menyusul mencuatnya dugaan praktik pungutan liar (pungli) yang dikemas dengan narasi “sumbangan komite sekolah”. Sejumlah wali murid mengaku keberatan karena pungutan tersebut dinilai memberatkan, mengikat, dan jauh dari makna sukarela.
Dugaan ini mencuat setelah beberapa orang tua siswa melaporkan adanya nominal pembayaran tertentu yang disampaikan secara lisan maupun tidak langsung. Meski pihak sekolah dan komite kerap menyebutnya sebagai sumbangan sukarela, praktik di lapangan justru memunculkan tekanan psikologis dan administratif terhadap wali murid.
“Katanya sukarela, tapi ada angka yang disebutkan. Kalau belum bayar, anak jadi merasa tidak enak dan khawatir urusan sekolahnya terhambat,” ungkap salah satu wali murid SMKN Pagerwojo yang meminta identitasnya dirahasiakan, Senin (22/25).
Batas Tipis yang Dilabrak: Sumbangan vs Pungutan
Persoalan ini menyoroti batas tipis antara sumbangan dan pungutan pendidikan. Berdasarkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, sekolah negeri dilarang melakukan pungutan dalam bentuk apa pun kepada peserta didik atau wali murid.
Dalam regulasi tersebut ditegaskan, sumbangan harus bersifat sukarela, tidak ditentukan nominalnya, serta tidak dibatasi waktu pembayarannya.
Namun, laporan wali murid SMKN Pagerwojo justru mengindikasikan pola yang berseberangan dengan aturan. Beberapa indikasi yang dikeluhkan antara lain:
Penetapan nominal tidak tertulis, berupa angka minimal atau “patokan umum” yang memunculkan kewajiban moral.
Penagihan berulang, melalui pengingat intensif kepada siswa yang belum menyetor dana.
Kekhawatiran dampak akademik, mulai dari pelayanan administrasi hingga pengambilan dokumen penting seperti kartu ujian.
“Kami bukan menolak membantu sekolah, tapi jangan dipaksa dan seolah diwajibkan. Ini sekolah negeri, bukan swasta,” ujar wali murid lainnya dengan nada kecewa.
Bertabrakan dengan Program Pendidikan Gratis Jawa Timur
Dugaan pungutan ini dinilai kontradiktif dengan kebijakan Pemprov Jawa Timur, yang gencar mengusung program TisTas (Gratis Berkualitas) bagi SMA/SMK negeri. Pemerintah provinsi telah mengucurkan Dana BOS dan BPOPP untuk menutup kebutuhan operasional sekolah agar tidak membebani masyarakat.
Jika dugaan pungutan mengikat ini benar terjadi, maka SMKN Pagerwojo berpotensi menjadi preseden buruk bagi tata kelola pendidikan di Tulungagung. Alasan klasik kekurangan dana infrastruktur kerap dijadikan pembenaran, namun tidak dapat mengalahkan aturan hukum yang berlaku.
Desakan Cabdin Turun Tangan dan Audit Anggaran
Polemik ini memicu desakan publik agar Cabang Dinas Pendidikan (Cabdin) Wilayah Tulungagung–Trenggalek segera turun tangan melakukan investigasi faktual dan menyeluruh.
Transparansi Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) menjadi tuntutan utama. Publik menilai sekolah dan komite wajib membuka secara detail urgensi penggalangan dana serta memastikan tidak ada unsur pemaksaan.
“Kalau benar ada pungutan yang mengikat, itu jelas melanggar aturan. Harus ada audit dan penindakan agar tidak berulang,” kata seorang tokoh masyarakat Pagerwojo.
Masyarakat berharap praktik mobilisasi dana yang berpotensi memberatkan wali murid—khususnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah—segera ditertibkan. Sekolah negeri semestinya menjadi ruang pendidikan yang inklusif, adil, dan bebas diskriminasi finansial.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kepala SMKN Pagerwojo dan Ketua Komite Sekolah belum memberikan klarifikasi resmi meski telah diupayakan konfirmasi untuk menghadirkan pemberitaan yang berimbang.
Reporter: Agris
Editor: Tim Redaksi
