Gali Lubang, Tutup Lubang

Oleh : Chusnatul Jannah – Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Gali lubang, tutup lubang. Pinjam uang, bayar utang. Agaknya sepenggal lagu Pak Haji Rhoma sesuai dengan kondisi keuangan Indonesia. Walau utang membumbung, harapan ngutang lagi harus dijunjung. Diketahui,  Asian Development Bank (ADB) telah mengesahkan strategi kemitraan negara 2020-2024 untuk Indonesia, yang ditujukan guna menjalankan serangkaian dukungan finansial dan solusi melalui operasi sektor pemerintah dan swasta ADB.

Dalam kerja sama ini, ADB memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia yang diperkirakan akan mencapai US$10,7 miliar (sekira Rp158,65 triliun) pada periode 2020–2023. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan pinjaman ini akan digunakan dalam mengantisipasi dampak Covid-19 di Indonesia. (Wartaekonomi.com, 24/9/2020)

Hingga akhir Mei 2020, utang luar negeri Indonesia tembus 404,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.868 triliun (kurs Rp 15.000). Utang tersebut terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 194,9 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dollar AS. (Kompas.com, 20/7/2020)

Debt Trap ala Kapitalisme

Jerat utang beserta bunganya tak pernah sepi dari orderan Bu Menkeu. Menteri yang pernah dinobatkan sebagai Menteri Terbaik kelas dunia itu rupanya terbaik pula dalam berutang. Seakan Indonesia tak bisa berlepas diri dari jebakan utang yang diskenario kapitalis global.

Utang luar negeri seperti madu berbalut racun. Ada konsekuensi saat sebuah negara berutang pada lembaga keuangan dunia seperti ADB atau Word Bank. Tujuannya, agar negara debitur tetap bergantung pada negara kreditur. Diberi utang, tapi cicilannya membengkak karena ribanya. Anda pinjam, kami sediakan, bayar bunganya sekalian. Itulah prinsip sederhana bila berutang dengan konsep sistem ribawi ala kapitalisme.

Para kreditur dunia itu tentu tak mau sekadar mengutangi. Mereka pasti meminta profit lebih. Semisal, kerjasama bilateral atau internasional. Bisa berwujud pengelolaan infrastruktur atau jual beli aset negara dalam bentuk investasi asing.

Mengapa utang Indonesia menumpuk? Hal itu dipengaruhi dua hal. Pertama, kurs rupiah yang fluktuatif. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sangat berpengaruh terhadap utang Indonesia. Jika kurs rupiah terhadap dolar melemah, nilai utang bisa naik. Begitu pun sebaliknya.

Kedua, tata kelola APBN kacau. Kekacauan ini nampak dari belanja negara yang belakangan bocor. Apalagi di masa pandemi. Negara seperti bingung memprioritaskan  mana kebutuhan utama  dengan yang tidak.

Sebagaimana diketahui, pemerintah mengubah susunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020.

Dalam beleid itu, Jokowi menurunkan target penerimaan negara dari Rp1.760,88 triliun menjadi Rp1.699,94 triliun. Sementara, belanja negara justru naik dari Rp2.613,81 triliun menjadi Rp2.739,16 triliun. Dengan selisih itu, pemerintah dalam Peraturan Presiden (Perpres) 71 Tahun 2020 memproyeksi defisit APBN 2020 sebesar Rp1.039,2 triliun. (CNNIndonesia.com, 25/9/2020)

BACA JUGA:  Persaingan Memanas: Partai-Pertai Besar di Bengkulu Mencari Kandidat Potensial

Bukan hanya tidak efisien, tetapi pengelolaan APBN negara tidak efektif. Pendapatan negara tersedot lantaran untuk membayar utang Indonesia yang menumpuk. Akibatnya, kas negara sibuk dengan melunasi utang yang tak berkesudahan. Program nasional untuk kepentingan rakyat pun terabaikan.

Tak heran pajak rakyat dikejar sampai tingkat ekonomi terendah. Tujuannya menambah kas negara. Negara yang berutang, rakyat menutupnya dengan pajak. Sementara kebijakan jauh dari keberpihakan pada rakyat.

Yang jelas, resiko terbesar bagi utang luar negeri adalah gagal bayar. Zimbabwe menjadi contoh cerita yang mengenaskan. Gagal membayar utang sebesar US$40 juta kepeda Cina. Sejak 1 Januari 2016, mata uangnya harus diganti menjadi Yuan, sebagai imbalan penghapusan utang.

Berikutnya Nigeria. Model pembiayaan infrastruktur melalui utang yang disertai perjanjian merugikan dalam jangka panjang. Cina mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal negara mereka untuk pembangunan infrastruktur. Ada pula Sri Lanka yang harus rela melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. (Mediaumat.News)

Bagaimana Pandangan Islam Tentang Utang Luar Negeri?

Seluruh utang yang disertai bunga atau riba adalah haram. Sistem ekonomi yang dibangun di atas pondasi riba tidak akan pernah berkah. Tidak stabil dan rentan goyah. Selalu berpotensi mengalami krisis berulang. Segala sesuatu yang didasarkan pada apa yang diharamkan Allah tidak akan mengundang kebaikan.

Sebagaimana sabda Nabi saw, “Jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Adapun dalam hal pengelolaan APBN, Negara Islam (Khilafah) akan melakukan pengaturan yang seefektif dan seefisien mungkin. Pemasukan negara berasal dari harta kepemilikan umum dan negara. Seperti harta fai’, ghanimah, kharaj, khumus, jizyah 1/5 harta rikaz, ‘ushr, SDA, migas, barang tambang, dan sebagainya. Semuanya dikelola negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Penyusunan APBN di negara khilafah tidak dibuat tahunan. Pos pendapatan dan pengeluaran negara ditetapkan berdasarkan syariat Islam. Alokasi dana diserahkan kepada pendapat dan ijtihad Khalifah. Kebijakan keuangan negara menggunakan prinsip sentralisasi. Terpusat pada kebijakan khalifah, tidak dibahas bersama Majelis Umat. Meski, Majelis Umat boleh memberikan masukan, tapi pendapatnya tidak mengikat khalifah. Sehingga meminimalisir celah manipulasi anggaran. Dlaribah (pajak) diambil sebagai opsi paling akhir jika kas negara benar-benar kosong dan hanya ditarik dari orang-orang kaya saja. Itulah gambaran utang dan APBN dalam sistem Islam. Jelas berbeda dengan prinsip utang dan APBN dalam sistem kapitalisme.

Wallahu’alam ( Beranda Islam )

News Feed