Oleh : Zacky Antony
KEISHA namanya. Delapan tahun umurnya. Ditinggal pergi kedua orangtua yang merantau. Tak tahu ke mana. Bocah perempuan berkulit sawo matang itu tidak bersekolah. Anak seusia dia seharusnya sudah mengenyam bangku sekolah dasar sesuai program pemerintah wajib belajar 9 tahun. Tapi dia tidak.
Di sebuah gubuk kecil berdinding papan di tepi jalan dua jalur dekat eks Terminal Air Sebakul No. 27 RT.09 RW.07 Kelurahan Pekan Sabtu Kota Bengkulu, di situlah Keisha tinggal bersama buyutnya Hamisa yg sudah berumur 70 tahun. Keisha anak sulung dari 2 bersaudara. Adiknya Keinan (3) tinggal bersama pamannya yang tak jauh dari tempat tinggal buyutnya.
Saat tim PWI Peduli datang dan berbincang, tatapan matanya kosong. Menyiratkan keinginan seperti anak-anak lain seusia dirinya.
Sungguh malang nasibmu Keisha. Di tengah kota yang sedang giat-giatnya untuk maju ini, ternyata masih ada tunas bangsa yang tidak sekolah karena faktor ekonomi. SD dan SMP harusnya gratis. Biayanya ditanggung Negara. Itu perintah konstitusi. Hukum dasar Negara ini.
Salah satu tujuan didirikan Negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 31 UUD 1945 memerintahkan, ayat (1) “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.” Ayat (2) “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayai.” Karena itu, Keisha kau harus sekolah.
Kisah Keisha adalah potret banyak anak bangsa. Di kota dan di desa, banyak Keisha-Keisha lain. Nasibnya sama. Tidak sekolah. Jumlahnya tak tanggung-tanggung. Ada jutaan Keisha di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah anak Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 4,5 juta anak. Angka persisnya 4.586.332 anak.
Anak seusia Keisha (7-12 tahun) di Indonesia yang tidak bersekolah mencapai 1.228.792 anak. Sedangkan kategori usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah jumlahnya 936.674 anak. Dan anak usia 16-18 tahun yang tidak bersekolah sebanyak 2.420.866 anak.
Di Provinsi Bengkulu, masih menurut data TNP2K, jumlah anak seusia Keisha (7-12) tahun yang tidak bersekolah ada 8.822 orang. Paling banyak kategori anak usia 16-18 tahun, yang tidak bersekolah 16.757 orang. Sedangkan kategori usia 13-15 tahun yang tidak bersekolah sebanyak 5.761. Total jumlah yang tidak bersekolah mencapai 31.340 orang.
Di pedesaan, banyak Keisha mendambakan seragam putih-merah. Mereka ingin sekali sekolah. Namun terhalang ketiadaan biaya. Tak ada uang untuk beli seragam, tas, sepatu, buku. Kemiskinan yang membelit keluarga membuat banyak orangtua dalam posisi tak berdaya. Akhirnya mereka pasrah anak tidak sekolah.
Tak heran bila akhirnya anak-anak yang tak sekolah itu harus memikul beban yang belum menjadi tanggungjawab mereka. Meminjam istilah Iwan Fals, bocah-bocah itu dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal. Anak-anak perempuan ada yang menjadi pengasuh, pembantu rumah tangga, bekerja di kebun mengikuti orangtua sebagai buruh tani. Yang terjadi berikutnya adalah pernikahan dini.
Ada pula yang sempat sekolah, tapi putus tengah jalan. Akibat kendala ekonomi tadi. Dalam kondisi tak menentu seperti itu, tunas-tunas bangsa ini sangat rawan menjadi sasaran peredaran Narkoba dan perdagangan anak.
Tidak tamat SD di zaman sekarang, sama artinya menciptakan jalan terjal berliku bagi anak-anak tersebut dalam menggapai masa depan. Sarjana saja banyak menganggur. Ditambah pandemi corona pula. Lengkaplah sudah.
Tapi apapun kesulitannya, Keisha, kau harus sekolah.! Negara wajib membiayaimu. Salam cinta dari lubuk hati yang paling dalam untuk Keisha-Keisha di seluruh pelosok Indonesia.
Penulis adalah wartawan senior yang juga Ketua PWI Provinsi Bengkulu