Kekuatan Disinformasi Pers Memanipulasi Pikiran Rakyat, Hancurkan Demokrasi

Catatan Kritis Demokrasi Menggugat Tanggungjawab Etika dan Moral Pers Jelang Pemilu 2024

Oleh: Freddy Watania

Pers bisa menjadi ancaman bagi demokrasi jika tidak berfungsi dengan baik atau terdapat kekurangan, kerusakan dalam sistemnya. Dalam konteks ini, “pers” mengacu pada media massa, baik cetak maupun elektronik, dan berbagai platform media sosial (medsos) lainnya yang bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat.

Dalam demokrasi, pers memainkan peran penting sebagai pengawas kekuasaan dan pemegang akuntabilitas. Mereka bertugas menyediakan informasi yang akurat, objektif, dan kritis kepada masyarakat, sehingga pemilih dapat membuat keputusan yang informasinya benar.
Namun, ada beberapa faktor yang dapat membuat pers menjadi ancaman bagi demokrasi:

Monopoli media:

Jika kepemilikan media dikuasai oleh sedikit kelompok atau individu, hal ini dapat menyebabkan kurangnya keragaman sudut pandang dan menyebabkan informasi yang tidak seimbang atau bias. Hal ini dapat menghambat kebebasan berpendapat dan akses informasi yang beragam, yang merupakan prinsip penting dalam demokrasi.

Sensasionalisme dan berita palsu:

Pers yang condong pada sensasionalisme atau berita palsu (hoax) dapat mengungkap fakta dan menyebarkan informasi yang tidak akurat atau tidak terverifikasi. Ini dapat mempengaruhi opini publik dan menghancurkan kepercayaan pada institusi demokrasi.

Pengaruh politik dan keuangan:

Jika pers tunduk pada tekanan politik atau keuangan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan, maka independensinya terancam. Pers yang tidak mandiri tidak dapat memberikan laporan yang objektif dan dapat disalahgunakan untuk menyebarkan propaganda atau narasi yang menguntungkan kepentingan tertentu.

Beberap pandangan yang beragam tentang peran pers dalam demokrasi. Di bawah ini adalah beberapa pandangan yang umum tanggung jawab etika dan moral pengiat pers:

Kebebasan pribadi adalah prasyarat penting bagi demokrasi yang sehat. Pers yang bebas dapat mengungkapkan fakta-fakta yang penting, mengkritik kekuasaan, dan memberikan ruang bagi seluas-luasnya keterbukaan informasi bagi semua orang yang tujuannya memperkuat demokrasi.

Pers harus mematuhi standar etika jurnalistik yang tinggi. Jurnalisme yang bertanggung jawab, akurat, dan berimbang penting dalam menjaga integritas pers dan membangun kepercayaan publik.

Regulasi yang tepat perlu diterapkan untuk mencegah kekerasan oleh pers. Namun, regulasi harus sejalan dengan prinsip kebebasan berbicara dan berpendapat.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mendukung pers yang berkualitas. Keinginan untuk mencari informasi yang akurat dan kritis, serta kemampuan untuk mengidentifikasi berita palsu, adalah faktor penting dalam melawan ancaman terhadap demokrasi yang mungkin timbul dari pers yang buruk.

Dibawah ini beberapa pendapat pakar tentang pers sebagai ancaman bagi demokrasi meskipun tidak mewakili pandangan semua pakar, tetapi ada beberapa pakar yang telah berpendapat terkait ancaman peran pers dalam demokrasi.
Beberapa di antaranya adalah:

Robert McChesney:
McChesney, seorang profesor komunikasi di Universitas Illinois, berpendapat bahwa monopoli media dan kontrol elit kekuasaan dalam industri media dapat merusak kebebasan berbicara dan membatasi keterbukaan opini dalam demokrasi.

Naomi Klein:
Klein, seorang penulis dan aktivis, mengecam pers dalam konteks “bencana kapitalisme”. Ia berpendapat bahwa massa media terlibat dalam menciptakan narasi yang mempertahankan status quo ekonomi dan kebijakan yang merugikan lingkungan dan masyarakat. Menurutnya, orang yang dipengaruhi oleh kepentingan korporat mendorong konsumerisme yang berlebihan dan mengabaikan isu-isu sosial dan lingkungan yang kritis.

Sut Jhally:
Jhally, seorang profesor komunikasi dan pendiri Media Education Foundation, telah menilai model bisnis media yang bergantung pada iklan. Ia berpendapat bahwa orang yang bergantung pada pendapatan iklan cenderung memprioritaskan kepentingan persaingan daripada kepentingan publik, menghasilkan konten yang diarahkan untuk menarik perhatian dan meningkatkan penjualan daripada memberikan informasi yang substansial dan bermakna kepada masyarakat.

BACA JUGA:  Masa Kepemimpinan Choirul Huda Berorientasi pada Prestasi Daerah

Noam Chomsky:
Chomsky, seorang intelektual terkenal dan profesor linguistik di MIT, mengecam media massa yang dianggapnya terkait dengan kepentingan bisnis dan politik. Dia berpendapat bahwa media massa sering kali melayani kepentingan elit dan dapat menyebarkan propaganda yang mengancam demokrasi.

Edward S. Herman dan Noam Chomsky:
Dalam buku yang terkenal, “Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media,” Herman dan Chomsky berpendapat bahwa media massa cenderung melayani kepentingan elit dan memainkan peran dalam mempertahankan struktur kekuatan yang ada. Mereka mencatat bahwa media sering kali memberikan perhatian yang tidak proporsional terhadap isu-isu yang mendukung kepentingan elit kekuasaan, sementara mengabaikan atau mengabaikan isu-isu yang bertentangan dengan kepentingan elit kekuasaan tersebut.

Jay Rosen:
Rosen, seorang profesor jurnalisme di Universitas New York, telah mempelajari isu-isu terkait dengan pergeseran model bisnis media dan dampaknya terhadap independensi jurnalisme. Dia berpendapat bahwa tekanan keuangan dan persaingan yang ketat dapat menghalangi jurnalis dalam menjalankannya fungsi kebebasan pers karena dikontrol elit penguasa/pemilik media.

Timothy Garton Ash:
Garton Ash, seorang sejarawan dan komentator politik, telah menyaksikan fenomena “filter bubble” atau “echo chamber” yang dapat terjadi di media sosial dan berpotensi memperkuat polarisasi politik. Ia menganggap bahwa media sosial dan maraknya penyebaran berita palsu dapat mengancam debat publik dan keragaman pendapat yang penting dalam demokrasi.

Selain pakar yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa pakar lain yang juga telah mengkritik pers sebagai ancaman bagi demokrasi. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:

Evgeny Morozov:
Morozov, seorang penulis dan kritikus teknologi, berpendapat bahwa media sosial dan teknologi digital telah memperkuat pembentukan “ekosistem informasi” yang mudah dimanipulasi. Ia berargumen bahwa orang yang terlalu bergantung pada platform teknologi dapat menyebabkan munculnya gelembung filter, pengawasan yang lebih ketat, dan menangani opini publik.

Shoshana Zuboff:
Zuboff, seorang profesor di Harvard Business School, telah mengkritik surveilans ekonomi yang muncul di era digital. Ia berpendapat bahwa pers sebagai bagian dari ekosistem media digital yang didorong oleh pengumpulan data dan iklan personalisasi dapat mengancam privasi individu dan memperkuat kekuatan korporat dalam pengaruh politik.

Yochai Benkler:
Benkler, seorang profesor hukum di Harvard Law School, telah menguasai peran media massa dalam mempengaruhi opini publik dan pembentukan kebijakan. Ia menganggap bahwa dominasi media oleh kepentingan ekonomi dan politik tertentu dapat menghambat keragaman pendapat dan memperkuat kekuatan yang tidak setara dalam proses demokrasi.

Manuel Castells:
Castells, seorang sosiolog terkemuka, telah mempelajari peran media dan komunikasi dalam masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa orang yang dikendalikan oleh kekuatan ekonomi dan politik dapat menyebabkan konflik kepentingan yang merusak demokrasi. Ia juga mengancam dari media sosial dan platform digital terhadap kebebasan berpendapat dan keragaman informasi.

Dari pendapat para pakar menunjukkan bahwa ada pemaksaan yang nyata terkait dengan potensi ancaman yang mungkin ditimbulkan oleh pers terhadap demokrasi. Mereka menganggap perlunya mengatasi isu-isu seperti media monopoli, kepentingan korporat, pembatasan mencari informasi, dan pengaruh teknologi yang berlebihan dalam rangka memperkuat demokrasi yang sehat.

Kesimpulannya, pendapat dari para pakar ini menekankan pentingnya kebebasan, keragaman, dan kemandirian pres dalam menjalankan peran mereka sebagai pengawas kekuasaan (watchdog) dan penyedia informasi yang akurat. Mereka beranggapan bahwa ancaman terhadap demokrasi dapat timbul ketika pers terjebak dalam kepentingan politik, ekonomi, atau ideologi tertentu, yang dapat mengabaikan kepentingan publik/rakyat dan mempengaruhi proses demokrasi.

Penulis: Jurnalis dan pengamat kebijakan publik media online worpers.id, Freddy Watania
Editor: Agus.A