Ketika Sains dan Teknologi Mematahkan Kemustahilan

Oleh: Yudho Sasongko (Mahasiswa)

Mengacu pandangan Heidegger tentang posmetafisika, bahwa dunia posrealitas dapat dilukiskan sebagai sebuah dunia yang melepaskan diri dari fondasi metafisis sebagai arsitek realitasnya. Adapun manusia-manusia metafisis itu sendiri sebagai kontraktornya yang telah membangun sendiri realitas berdasarkan yang nyata (eksis). Maka di situ sains, teknologi, dan dunia nyata berkuasa.

Heidegger, dalam hal ini, menggunakan istilah “teknologi” sebagai sebuah istilah umum yang menunjukkan wujud dasar penampakan di dalam dunia metafisika yang telah selesai sempurna (completed metaphysics).Di mana di dalamnya ada kehendak (will) dalam merealisasikan segala keinginan dan cita-citanya. 

Dasar-dasar pemikiran di atas menjadi basis tulisan kali ini yang membedah peran sains dalam merobek kemustahilan ketika akal, sains, dan teknologi berusaha menembus batas kemampuan manusia. 

Salah satu peristiwa sederhana namun spektakuler yang membuktikan hal di atas adalah peristiwa pemecahan rekor di dunia olahraga pada cabang atletik lari maraton (42,2 km) dengan durasi tempuh di bawah 2 jam yang dilakukan oleh atlet lari Kenya, Eliud Kipchoge dengan dukungan timnya, INEOS 1:59. Angka 1:59 merupakan target, 1 jam 59 menit (kurang dari 2 jam).

“Saya orang paling bahagia di dunia yang menjadi manusia pertama yang berjalan di bawah dua jam dan saya dapat memberi tahu orang-orang bahwa tidak ada manusia yang terbatas.”

Petikan Kipchoge di atas melahirkan istilah “No Human is Limited” yang menjadi moto pribadinya. 

Kenapa hal ini spektakuler? 

Ahli olahraga mengatakan bahwa berlari maraton penuh di bawah 2 jam itu hanya bisa dilakukan oleh manusia kurang lebih 75 tahun lagi. 

Dulu, para ahli olahraga mengatakan bahwa berlari 1 mil di bawah empat menit itu mustahil dilakukan oleh manusia. Sebab menurut catatan yang ada, perlu waktu 16 tahun untuk memangkas rekor maraton lebih cepat 3 menit, dari 2:06:05 menjadi rekor saat ini 2:02:57. 

Bila sejarah bisa dijadikan indikasi, maka manusia masih perlu waktu lama untuk bisa menyelesaikan maraton di bawah 2 jam. 

Pertanyaan serius tentang apakah manusia bisa berlari di bawah dua jam untuk jarak maraton (42,2 km)?

Studi menunjukkan mungkin saja terjadi pada 2032. Namun, dengan bantuan sains dan teknologi, catatan tersebut dapat dirobek-robek.

Dengan bantuan sains dan teknologi, pelari mampu berlari dengan kecepatan 21 kilometer per jam tanpa henti. Usaha ini dianggap melampaui kemampuan manusia. Sebab, bagaimanapun juga, bukan hal yang umum berlari dengan kecepatan itu dalam jarak jauh (maraton). Sains dan teknologi telah mematahkan kemustahilan di atas.

Apa yang dilakukan oleh Kipchoge dan timnya, INEOS 1:59 merupakan bentuk nihilisme dengan penyerahan diri segala bentuk eksistensi ke dalam kekuasaan teknologi dengan segala perhitungan dan kerumitan perencanaan serta pengetahuan yang ada di dalamnya. Penyerahan bulat-bulat pada kekuasaan teknologi ini mampu membawa manusia ke arah pelayanan penuh terhadapnya. 

Manusia kini bukannya menjadi tuan teknologi, melainkan pelayan setianya: pelayan setia abad informasi, pelayan setia komoditas, pelayan setia gaya hidup. Penghambaan pada teknologi seperti penghambaan kepada Tuhan yang dapat menciptakan sebuah kehampaan dan nihilisme manusia modern. 

Jika Eliud Kipchoge menjadi orang pertama yang mendobrak batas manusia berlari maraton di bawah dua jam, maka Roger adalah orang pertama dalam sejarah yang berlari sejauh 1 mil di bawah empat menit. Kedua atlet tersebut telah menyerahkan bulat-bulat pada kekuasaan sains dan teknologi di samping bakat alamnya.

Eliud Kipchoge berkata: “Tantangan INEOS 1:59 menggabungkan ilmu pengetahuan dan olahraga untuk membuktikan bahwa tidak ada manusia yang terbatas. Olahraga dapat menginspirasi, membawa kepositifan dan menyatukan orang-orang, dan saya ingin membawa pesan itu ke seluruh dunia. Tanpa pengetahuan ilmiah dan teknologi tim saya dan tim INEOS 1:59, saya tidak akan bisa membuat sejarah di Wina.

Kecerdasan itu tidak terbatas. Individu yang berbeda memiliki keterbatasan yang berbeda. Tetapi ada batasan tertentu untuk kecerdasan manusia yang mungkin tidak dapat dipecahkan. Dan itu dapat diatasi dengan sains dan teknologi. 

Sudah menjadi sifat manusia untuk mendorong setiap batasan-batasan. Seperti pergi ke tempat yang belum pernah dikunjungi orang yang dilakukan oleh Sir Edmund Hillary ketika dia mendaki Gunung Everest.

Karya berbasis sains dan teknologi oleh Kipchoge bersama tim INEOS 1:59 yang dipimpin oleh Sir Dave Brailsford telah mampu menggabungkan pikiran, sains, dan teknologi yang paling cerdas dalam dunia olahraga. Beberapa perhitungan dilakukan dengan cermat dengan alat-alat berteknologi tinggi, seperti memastikan pemilihan dan optimalisasi lintasan lari, analisis cuaca, kinerja aerodinamika, strategi pelari pengawal, dan nutrisi

BACA JUGA:  Jalin MoU dengan Bank Bengkulu, Ini Harapan Ketua PERBASI Emil Reza

Mereka telah melakukan praktik langsung yang menarik dalam bidang fisika, biologi, dan matematika dalam memecahkan rekor yang mustahil menurut logika. Filosofi inilah yang dibagikan oleh Kipchoge dan Tim INEOS 1:59 dalam mengilhami peluncuran dogma baru, “No Human is Limited”.

Tidak ada manusia yang dibatasi alam pikirannya. Keyakinan diri sangat penting. Dengan dukungan sains dan teknologi yang tepat pula, maka kemustahilan dapat dirobek-robek. Dogma ini juga dipegang oleh Chris Froome, pemenang Tour de France empat kali:

“Saya tidak suka berpikir tentang batasan Saya percaya bahwa batasan tidak boleh ditetapkan dalam olahraga karena saya percaya ini akan mengubah mentalitas bagi banyak olahragawan, pelatih dan tentu saja cara orang memandang olahraga.”

Sir Ben Ainslie, atlet olimpiade terhebat dan pemenang Piala Amerika juga berkata:

“Untuk mencapai yang luar biasa, Anda membutuhkan grit, tekad, dan pikiran terbuka. Sungguh menakjubkan apa yang bisa dicapai ketika Anda tidak menetapkan batas.”

Tentu saja keberhasilan Kipchoge dan timnya dalam menembus kemustahilan dengan dukungan para ahli, seperti Peter Vergouwen (dokter ahli) dan Peter Nduhui (ahli fisioterapis).

Pengukuran-pengukuran mekanis juga dilakukan, seperti V02 max, berapa banyak cairan yang hilang saat mereka berlari, bagaimana kemampuan otot mereka menyimpan tenaga dan lainnya. Data-data itu dikirimkan pada para ilmuwan untuk memperoleh gambaran perkembangan para pelari.

Untuk teknologi nutrisi, yang menjadi kajian utama adalah karbohidrat sebagai kunci untuk kinerja berkelanjutan dalam olahraga ketahanan (endurance) lari maraton. Otot mengandalkan karbohidrat yang kemudian disimpan dalam tubuh sebagai glikogen guna menghasilkan kekuatan.

Jika tubuh kehabisan karbohidrat, ia akan mulai membakar lemak untuk bahan bakar atlet. Dan ini merupakan proses yang tidak efisien.

Pelari Kenya diprediksi mengonsumsi 60 hingga 100 gram karbohidrat per jam. Mayoritas karbohidrat yang dikonsumsi Kipchoge selama perjalanan berupa minuman bubuk yang cepat dicerna. Kipchoge bereksperimen dengan minuman kecil (sekitar 50 ml) setiap beberapa kilometer untuk menjaga pasokan bahan bakar agar konstan masuk ke dalam tubuhnya.

Hal lain yang diperhitungkan adalah penonton yang memberi semangat. Dalam memecahkan rekor dengan catatan 1:59:40, Kipchoge didukung kerumunan sepanjang lintasan. Ini adalah teknologi mental. 

Dalam bidang aerodinamika, penelitian telah menunjukkan bahwa sekelompok pengendara sepeda yang saling berdekatan dapat digunakan untuk mengurangi hambatan aerodinamik. Cara ini efektif dapat mengurangi dampak hambatan angin sebesar 50 hingga 70 persen.

Sekelompok pelari pacer (penjaga kecepatan) yang berada di depan Kipchoge dalam formasi huruf V juga merupakan perhitungan matang dalam hal aerodinamika.

Di depan pelari pacer ditempatkan mobil membawa sistem laser yang memproyeksikan sinarnya sebagai batas kecepatan ke aspal agar konstan. Pemilihan Kota Wina sebagai lintasan lari karena lanskap kota ini sebagian besar datar.

Kota Wina juga memiliki kondisi cuaca yang stabil pada Oktober. Dan ini kondusif untuk maraton. Kota ini berada di ketinggian rendah (165 m di atas permukaan laut) yang tentunya berpengaruh dalam konsumsi oksigen bila dibandingkan dengan area pegunungan yang tipis oksigen.

Masalah kelembapan, jumlah air di udara dan hujan juga diperhitungkan masak-masak untuk dapat mengurangi traksi pelari. Termasuk pemakaian sepatu lari berteknologi tinggi, sebagaimana telah dianalisis New York Times dan studi akademik independen yang menunjukkan bahwa klaim efisiensi dari perusahaan sepatu itu benar adanya.

Sebuah perusahaan perlengkapan olahraga terkemuka telah menciptakan sepasang sepatu yang dijuluki “The Vaporfly 4%”. Sepatu super ini diklaim membuat pelari 4% lebih efisien dengan komposisi tiga pelat serat karbon, empat rongga busa yang dirancang untuk membuat pelari lebih efisien.

Dengan gabungan hal-hal di atas, tradisi, sains, dan teknologi, maka para pelari berkesempatan mencapai rekor yang belum pernah terjadi. No Human is limited!

Penulis adalah mahasiswa salah satu universitas
Aku, antara lain: instagram-kontura_montana; facebook-kontura.montana; twitter-@sasongko_yudho