MERUSAK ALAM, MENGKAFIRI KARUNIA TUHAN

Wordpers.id, Indonesia – Kerusakan Lingkungan Hidup (LH) yang ada tidak lain tidak bukan karena ulah manusia itu sendiri, dengan demikian ISLAM menjawab untuk mendorong umatnya untuk melakukan perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik dan prospektif, baik dari segi lahiriyah-dunyawiyah maupun bathiniyah-ukhrawiyah.

Syariat Islam dituntut untuk mampu menjawab problematika yang muncul dan berkembang di tengah masyarakat terutama persoalan dunia yang berkaitan dengan kehidupan umat manusia.

Oleh karena itu, ajaran Islam melalui ijtihad kreatif para mujtahidnya mencoba mendialogkan antara sumber hukum Islam dengan realita yang terus berkembang. Salah satu yang perlu direspons cepat oleh umat Islam adalah persoalan energi fosil yang tidak terbarukan dan terbatas serta solusi energi terbarukan.

Permasalahan lingkungan hidup hingga kini masih mendapat perhatian serius dari negara-negara di dunia. Kerusakan lingkungan hidup, sebut saja hutan sebagai contoh, tentu tidak dapat dilepaskan dari ulah manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam.

Hutan menyimpan berbagai potensi sumber daya untuk menyangga keberlangsungan kehidupan makhluk hidup. Salah satunya adalah energi fosil yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Namun akibat keserakahan
manusia, fungsi hutan sebagai penjaga dan penyangga hidup makhluk semakin hilang, karena ulah manusia yang tamak dan terus mengeksploitasi hutan.

Masalah ini kian kompleks dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk yang terus meningkat, cadangan sumber daya alam yang semakin menipis, dan penggunaan teknologi modern yang overdosis ternyata berakibat pada semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup.

Erosi, eksploitasi sumber daya alam, lapisan ozon yang rusak dan perusakan alam berdampak pada ketidak seimbangan ekologis yang akan membahayakan kelangsungan hidup umat manusia.

Jika dibiarkan, kerusakan alam akan meluluhlantakkan ekosistem dan kehidupan di dunia. Cadangan energi fosil juga akan menipis dan segera habis.

Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menganjurkan kepada para pemeluknya untuk melestarikan bumi dan memberikan mandat kepada manusia sebagai khalifah fial-ardl. Oleh karena itu, manusia memiliki kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam semesta. Itulah yang harus dilakukan oleh manusia.

Tetapi, kenyataan berbicara lain. Manusia justru memicu perusakan dan mengundang bencana. Selama kurun waktu satu dekade terakhir, Indonesia selalu ditimpa oleh bencana alam, baik berupa banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, maupun kekeringan akibat panjangnya musim kemarau.

Banyaknya bencana alam yang menimpa Indonesia memunculkan banyak asumsi tentang penyebabnya, diantaranya adalah minimnya resapan air dan ruang terbuka hijau, eksploitasi sumber daya alam yang membabi buta, gundulnya kawasan hutan yang menjadi kawasan penyangga daerah, dan banyaknya kawasan hutan yang diubah peruntukannya untuk lahan perkebunan. Ini dinilai banyak pihak sebagai biang kerok terjadinya bencana alam di mana-mana.

Ini semua seharusnya tidak terjadi, apalagi di negeri yang mayoritas dihuni oleh umat Islam. Agama Islam memiliki perhatian khusus terhadap masalah lingkungan hidup. Sebab, lingkungan hidup memiliki pengaruh besar terhadap fisik dan mental manusia.

Rasulullah Muhammad SAW sangat menganjurkan hidup bersih. Keimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah, melainkan juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang.

“Kebersihan adalah sebagian dari iman,” sabda Nabi Muhammad SAW. Kalau begitu, tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan.

Jelaslah, terdapat keterkaitan yang sangat erat antara pemeliharaan lingkungan hidup dengan keimanan. Penjelasan diatas menunjukan bahwa perusak alam adalah orang kafir secara ekologis (kufr al-bi’ah). Merusak alam sama halnya dengan mengkafiri karunia dan ekosistem yang sudah dirancang Allah secara seimbang.

Apabila bencana terjadi, sebagian orang biasanya berefleksi bahwa itu terjadi atas takdir Tuhan yang telah menentukannya. Tentu ini tidak salah. Tidak ada satu kejadian di muka bumi yang terlepas dari ketentuan-Nya.

Namun pada sisi lain, manusia juga harus memahami apa yang terjadi di balik bencana. Mengapa terjadi pemanasan global, gagal panen, tanah longsor, erosi, musim kemarau yang berkepanjangan, banjir di mana-mana, dan seterusnya.

Banjir, misalnya. Apabila kita telisik: apa memang karena air hujan yang datang melimpah? Apakah karena ada pendangkalan sungai, sampah yang menumpuk, atau limbah sungai sehingga air hujan yang melimpah itu tidak mengalir hingga ke laut? Siapa yang melakukan itu semua? Jelas, ini ulah manusia.

Kita harus menyadari bahwa krisis multidimensi dan bencana yang datang bertubi-tubi seperti tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman diserang hama, dan lainnya adalah karena adanya ulah manusia.

Allah berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. ar-Rum: 41).

Ayat di atas menjelaskan bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan laut adalah akibat dari ulah manusia yang tidak memperdulikan keberlangsungan kehidupan. Rusaknya alam juga akan berdampak pada krisis energi. Karena itu, perusakan alam tentu tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Manusia dan alam memiliki relasi yang sangat erat didalam Islam.

Allah menciptakan alam ini (termasuk di dalamnya manusia dan lingkungan) dalam keseimbangan dan keserasian. Keseimbangan dan keserasian ini harus dijaga agar tidak mengalami kerusakan. Keberlangsungan hidup di alam ini pun saling terkait. Jika salah satu komponen alam terganggu, maka komponen alam yang lain terpengaruh keseimbangannya.

Jadi, faktor dominan yang menyebabkan perubahan lingkungan dan krisis energi adalah manusia. Sebab, dialah yang diamanati Allah sebagai khalifah di muka bumi. Karena itu, pada ayat lain Allah mengingatkan manusia agar tidak berbuat perusakan (fasad) di muka bumi.

“Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo’alah kepadaNya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-A’raf: 56)

Sumber: Buku Fikih Energi Terbarukan
(1) Lakpesdam PBNU,
(2) Pusat studi Ekonomi Kerakyatan UGM,
(3) Pusat Studi energi UGM,
(4) CCES Yogyakarta