Misteri Byuto Bab XI: Tarian Kasmaran

Misteri Byuto Bab 11: Tarian Kasmaran

Sejak kepulangan dari Gunung Bungkuk, aku sering melamun.

Pagi ini Datuk Pi’i menjemputku mengajak mengudara dan aku tidak tahu tujuannya.

Dari atas terlihat bukit-bukit perkebunan sawit rakyat dan beberapa tempat masih terlihat tanah kosong yang akan di tanami dengan tanaman yang boros air tersebut.

Dengan mata elang yang aku gunakan saat ini, semua objek terlihat jelas. Seekor tikus yang bergerak di bawah dahan sawit begitu nyata.

Sudah berapa lama aku terbang? Dan berada di mana? Kalau melihat matahari, paling tidak sekarang jam 9 pagi. Kurang lebih sudah 2 jam aku mengangkasa. Tidak ada rasa lelah. Atau seekor elang bisa terbang lebih lama lagi dalam satu kali penerbangan? Entahlah. Aku belum memiliki pengetahuan tentang ini.

Jauh di depanku, aku melihat sesuatu yang aneh. Ada anak manusia di bibir tebing bebatuan. Seorang gadis. Iya, seorang gadis duduk menghadap lembah dengan wajah menunduk.

Semakin dekat aku semakin mengenal sosok itu. Sari. Gadis desa Sungai Mati.

“Sari….!” Aku berteriak. Yang keluar malah suara elang. Aku kaget sendiri. Oh, rupanya ketika bertubuh elang, suaraku adalah suara elang.

Aku mengarahkan kepak sayap lebarku menuju tempat yang diduduki oleh gadis yang terakhir aku temui ketika Fatur, si harimau hitam, menagih janji gadis yang saat ini memandang ke arahku.

Sekuat apa usahaku, aku tidak bisa melakukan yang aku inginkan. Baru aku sadari bahwa tubuhku sedang di dalam kekuasaan Haji Pi’i pemilik ilmu elang.

“Tuk, aku kenal gadis itu. Aku ingin tahu mengapa dia ada di situ, jauh dari desanya.”

Aku berbicara pada Datuk elang. Sesaat kami melayang lalu turun perlahan.

“Datuk, tolong cari tempat pendaratan yang tersembunyi. Supaya gadis itu tidak ketakutan dengan bentuk aku sekarang.”

Lagi-lagi kakek yang merupakan nenek moyang dari ibuku ini mengerti apa yang aku inginkan.

Di sebuah pohon besar di sisi tebing batu kami hinggap. Dengan cepat aku berubah jadi manusia. Sialnya aku merosot jatuh tanpa dapat berpegangan pada dahan, ranting atau daun.

Buk! Aku meringis kesakitan. Dadaku telak menimpa akar pohon membuat aku berhenti bernafas sesaat dan megap-megap berusaha menyalurkan udara ke paru-paru agar oksigen masuk ke jantung.

Tidak lama kemudian aku bisa bernafas dengan normal dan masih tersisa rasa nyeri di ulu hati.

Perawan di bibir tebing itu terkejut dan menyelidik sumber suara.. Lebih terkejut lagi ketika melihat aku ada di situ.

“Abang?!” Ekspresinya aneh sekali.

Aku hanya cengengesan dan menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Kenapa Abang ada di sini?” Raut mukanya jelas tidak mempercayai hal ini.

“Abang tadi terbang…eh maksud abang terjatuh dari pohon waktu melihat Sari ada di sini.” Tidak mungkin kan kalau aku mengaku jujur …hehe

“Lah, Sari mengapa ada di sini?” Kali ini dia bingung. Mungkin dia mencari-cari alasan agar masuk akal bagiku.

“Hm….nngg…anu…ah, nggak, Sari cuma mau memandang matahari terbit di puncak ini.”

“Sejak kapan Sari ada di sini?” Wajah manisnya bingung lagi.

“Sejak tadi malam.” Kali ini aku percaya dengan keterangan ini.

“Sendirian?” Aku penasaran.

Dia mengangguk.

Aku bingung mau bertanya apa lagi. Aku lihat bibir sari juga diam. Tapi matanya jelas tidak percaya dengan pertemuan ini.

“Abang sudah berapa kali ke sini?”

Nah, kan aku mendapatkan pertanyaan yang jelas membuat aku tidak bisa berbohong.

“Mmm… Baru kali ini sih… Aduh..
Abang harus ngomong apa ini?” Jujur, aku menjawab dengan jujur kalimat ini….hihi

Gadis di depanku jelas mengernyitkan dahi dan menautkan kedua alisnya. Tanda dia bingung.

Sejak tadi aku memperhatikan sekeliling tempat kami berdiri, berharap aku tahu tempat ini. Semakin aku memandang sekeliling aku semakin menikmati kecantikan alam sekitar dan tidak mengenal tebing batu di mana kami berada.

Pemain volley desa Sungai Mati’ ini melangkah menuju tempat aku jatuh tadi. Duduk tepat pada akar yang hampir saja membuat aku mati karena tidak bisa bernafas.

“Tolong jujur, bang. Sudah berapa kali Abang ke sini?” Sinar matanya menyelidiki ke dalam mataku.

“Baru kali ini. Itupun Abang nyasar.” Jawabku terus terang.

“Baiklah…” Sesaat setelah menyelidiki kejujuranku.

Lama kami berdiam. Aku kembali melihat dengan seteliti mungkin, siapa tahu ada pertanda dari tempat ini yang bisa membuat aku tahu kami berada di mana.

“Sari, tempat ini apa namanya dan berada di mana?”

Wajah perempuan itu dialihkan ke arah puncak pohon yang meneduhi kami. Dia tidak berminat menjawab pertanyaanku.

“Tidak ada bekas orang memanjat. Cuma ada bekas jatuh…”

Deg! Aku cemas. Jangan-jangan gadis pemilik janji dengan Fatur ini akan menganalisa kejadian yang terjadi padaku.

“Tidak ada juga pertanda ada orang naik di sekitar sini. Tidak ada jejak Abang di tanah.”

Suaranya tenang. Tapi menimbulkan gemuruh yang amat sangat di dadaku. Aku merasakan nyaliku menciut.

Tanpa mengalihkan mukanya, dia memandangku dengan ekor matanya. Dan…. Aku terjengkang oleh sebuah pukulan tiba-tiba.

Tubuh kurusku tersurut beberapa langkah. Sama sekali tidak menduga dengan hal yang baru saja terjadi.

“Sari, kamu memukul, Abang?” Suaraku menahan sakit di dada dan telapak tanganku mendekap pada bekas pukulan.

Rasa sakit ini hingga ke dalam. Sepertinya akan meruntuhkan jantungku.

“Dan, akan ada pukulan-pukulan lainnya!”

Bagaimana suara setenang itu bisa membuat aku terpental seperti ini?

Secepat kilat tubuh yang dibalut oleh gaun putih selutut motif bunga-bunga itu meloncat dan kembali melakukan dua pukulan sekaligus tanpa dapat aku lihat kapan dia melakukannya.

Kaki yang tersurut, dada yang sesak dan perut yang bagai ditimpa oleh sebuah drum berisi air sebagai pertanda bagiku, bahwa dua serangan telah mengenai tubuhku.

“Hentikan Sari!” Hampir saja memelas suaraku.

“Akan berhenti jika Abang mati…”

Aku terpana. Sari mau membunuhku dan masih setenang itu? Tapi apa sebabnya?

Wanita yang ada di hadapanku saat ini berdiri tegap. Sepersekian detik berikutnya memutar kaki kanan dengan sneaker putih bersih ke depan dan mengembangkan kedua belah lengannya.

Plak! Dengan suara yang bagai mau memecahkan gendang telinga, kedua telapak tangan bertemu di atas kepala dengan rambut yang diikat ekor kuda.

Tubuh Sari sekarang memutar. Semakin lama semakin cepat dan bagai gasing. Ups…ada bayangan angin tornado keluar dari putaran tubuhnya. Sebentar lagi angin itu akan mencapai tubuhku.

Aku meloncat ke belakang menjauhi angin yang diciptakan oleh gadis di depanku. Tapi segera sadar bahwa aku saat ini berada di bibir jurang batu. Kedua tumit sudah melewati bagian paling luar dinding batu tempat aku berpijak.

Kengerian menguasai hatiku. Ngeri dengan sikap dan serangan Sari juga sangat takut jika aku mundur sedikit saja dan kehilangan keseimbangan maka tubuhku akan terjun bebas tanpa ada yang menahan lalu terhempas dan menimpa batuan besar di bawah.

Tidak ada pilihan lain. Aku menjatuhkan diri ke depan dan melekatkan diri di permukaan batuan yang tidak rata. Ini pilihan jitu, selain mengurangi efek hembusan angin, sekaligus mencegah agar aku tidak sampai terjun bebas ke dasar lembah di bawah.

Angin tornado milik Sari berubah dan langsung aku rasakan angin itu tidak lagi berhembus memutar tapi bagai lambaian sehelai selendang. Secepat itukah perubahan serangannya?

Lambaian selendang mengarah tepat ke arah ubun-ubun dan bagaimana aku akan mengelak?

Oh, iya, aku berusaha membentangkan tangan dan mengepak-ngepakkan kedua lengan berharap aku akan terbang. Tapi tidak seperti yang aku harapkan.

Angin dari kibasan selendang serangan gadis penyuka buku itu menghantam tepat ke ubun-ubun dan aku merasakan otakku akan berhamburan keluar dari perlindungan batok tengkorak kepalaku.

Kepalaku tidak pecah. Tapi tubuhku meluncur jauh ke belakang bagai dilontarkan dengan alat pelontar roket (hehe…perumpamaan yang mengada-ngada gak sih?).

Belum sempat tubuhku meluncur menjauhi tempat datar di atas tebing batu, tubuh Sari memburuku dengan satu loncatan dan kakinya menghantam punggungku.

“Tidak seorangpun boleh menginjak tempat ini selain aku dan kekasihku!”

Itu pekikan. Tidak lagi dikeluarkan dengan tenang.

Hugh! Mulutku memuntahkan darah segar.

Sari benar. Dia akan membunuhku. Baru aku yakin sekarang.

Dengan kecepatan bagai batu yang dilemparkan, tubuhku melewati kecepatan gravitasi.

Dengan kesadaran yang masih penuh, aku merasakan, melihat dan mendengar semuanya.

Kekasih? Siapakah kekasih Sari? Faturkah?

Tubuh yang masih jatuh dengan kecepatan tinggi membuat aku tidak bisa berpikir. Apa lagi dengan rasa sakit di dada, perut, kepala dan punggung membuat aku tidak bisa menduga-duga.

Aku berusaha menahan kecepatan luncur tubuhku dengan membentangkan kedua lengan dan telapak tangan. Juga kedua kaki. Aku berhasil. Sesaat sebelum menyentuh permukaan batu, aku berubah jadi elang. Hinggap dengan lembut pada batuan cadas yang sangat keras.

Sari yang masih mengejar tubuhku kaget dan hilang fokus. Jder! Hantaman kakinya mengenai batu besar di sampingku. Aku terbang menghindar. Serpihan-serpihan batu beterbangan ke segala arah. Ada yang melubangi pohon-pohon, ada yang menembus bebatuan lain, ada juga terbang entah ke mana.

Andai saja hantaman tadi mengenai tubuhku….aku bergidik. Tidak berani membayangkan pengandaian tersebut.

Tubuh elangku terbang meninggi. Menjauhi gadis yang sedang marah tersebut.

“Hanya aku dan kekasihku Byuto yang boleh ke tempat ini!”

Teriakan yang mengejutkan itu disertai dengan luncuran ujung angin berbentuk selendang yang akan mengikat sayap, atau kaki atau tubuhku jika terkena.

Selendang angin yang ganas itu tidak begitu mengejutkan dan dapat dihindari dengan baik.

Tapi kalimat barusan berhasil menyerang gendang telingaku dengan telak.

Inikah arti pertemuan antara si harimau hitam dan gadis di bawah sana pada sore itu?

Si anak tunggal itu menghianati janjinya pada Fatur demi manusia jadi-jadian tanpa bentuk jelas antara manusia dan anjing yang selalu mengejarku selama ini?

BACA JUGA:  Mama Memang Kejam

Aku nelangsa. Aku sakit. Aku sedih. Dan aku tidak mau mempercayai ini.

“Aku Sari. Aku bersumpah akan membunuhmu kapanpun dan di manapun! Tidak ada satu manusia pun yang boleh tau tempat ini. Tempat suci kami memadu kasih!”

Oh Tuhan…menghadapi gangguan Byuto dan pasukannya saja aku sudah tidak bisa tenang. Sekarang ditambah lagi gadis yang ternyata memiliki kemampuan yang tidak pernah aku duga dengan amarah dan dendam tanpa batas.

Dengan hati yang tidak menentu aku terbang tinggi tanpa arah. Sangat tidak sanggup membayangkan andai Fatur mengetahui kenyataan ini.

“Datuk, bawa aku ke mana saja yang Datuk mau. Aku sedang kacau…”

Aku merasakan ada senyum ejekan dari bibir berkumis pemilik wujudku saat ini.

“Siapa gadis itu, Yung?” Aku mendengar suara Datuk Pi’i mengajak aku berkomunikasi.

“Gadis ujung desa Sungai Mati, Tuk. Mungkin salah seorang harimau muda menaruh hati padanya.”

Dengan malas aku menjelaskan siapa gadis yang sekarang menjalin hubungan dengan musuhku.

“Harimau muda?” Ada keheranan dari pertanyaan lawan bicaraku.

“Mereka ada tujuh, tuk. Semuanya masih muda. Dua di antara mereka masih sekolah. Empat harimau belang, dua harimau putih, dan satu harimau hitam. Mereka yang selama ini menjadi penyelamat dan pelindungku ketika mendapat gangguan atau serangan dari Byuto. Aku baru tahu ketika kami berkemah di Bukit Macan dekat desa mereka.”

Walau panjang lebar, penjelasan ini aku keluarkan tanpa gairah. Hatiku masih diisi kekacauan.

“Sehebat apakah si Byuto hingga bisa membuat gadis cantik dan hebat itu mencintainya?”

Sebenarnya aku malas membahas ini. Aku benar-benar lagi malas untuk bicara. Tapi pertanyaan Datuk buyutku membuat aku tidak ada pilihan lain selain menjawab.

“Byuto itu manusia berkepala anjing!”

Jawaban yang ketus ini membuat penerbangan kami hampir bertabrakan dengan elang lain. Rupanya Datuk elang terkejut dengan jawabanku.

Aku curiga dengan pertanyaan Datuk. Bukankah dia sudah tau semua tentang tujuh harimau muda dan Byuto? Apakah dia mau memancing di air keruh? Ish…

Tidak ada pertanyaan lanjutan membuat aku lega. Entah mengapa, bagiku mengetahui Sari dan Byuto adalah sepasang kekasih menjadi ketakutan tersendiri bagiku.

Bagaimana nanti jika Fatur mengetahui ini? Bagaimana dengan perasaan orang tua Sari jika mengetahui anak gadisnya memiliki kekasih yang merupakan musuh bagi masyarakat Serawai? Bagaimana jika mereka punya keturunan?

Ah, pikiranku sudah terlalu jauh dan menyusahkanku.

“Tuk, kita kembali ke tempat tadi…”

Aku sendiri tidak menduga dengan kalimatku ini.

“Untuk apa?”

Iya, untuk apa? Saat ini aku tidak tahu untuk apa aku meminta demikian.

“Entahlah, tuk. Mungkin aku ingin melihat bagaimana bentuk Byuto…”

Kami mengubah arah terbang dan kembali ke tempat di mana aku hampir hancur lebur tadi.

Dari atas sambil melayang-layang tinggi aku mencari-cari sosok pembuat teror bagiku selama ini.

Sekarang bukit batu tepat berada di bawah kami. Sinar matahari di hampir separuh waktu peredarannya membuat keberadaan kami akan sangat mudah diketahui oleh orang yang ada di bawah.

Sari langsung menengadah dan sinar matanya langsung mengancam keselamatan. Dua tangannya bergerak-gerak ganas mengirimkan serangan.

Aku menambah ketinggian kami. Serangan Sari yang bertujuan membunuhku tidak mengenai sasaran.

Ada suara lolongan banyak anjing. Aku segera tahu Byuto ada di sekitar kami di bawah sana. Di bawah pohon-pohon, di antara dedaunan aku melihat banyak anjing. Di depan mereka ada Byuto.

Walau belum pernah bertemu secara langsung, dari bentuk tubuh dan kepala sudah menjelaskan padaku bahwa yang berlari paling depan itu adalah kekasih yang ditunggu oleh seorang gadis dan sekarang terlihat sangat merindu.

Suara-suara anjing itu telah mengalihkan perhatian Sari dari kami. Ia menunggu dengan gusar. Senyum cinta penuh kerinduan terlihat jelas dari bibir indahnya.

Dinding tebing hampir tegak lurus di setiap sisi dapat dengan mudah dilalui oleh anjing-anjing berisik tersebut. Byuto sampai ke hadapan sari hanya membutuhkan satu loncatan saja dari dasar tebing batu.

Aku tidak ingin melihat awal pertemuan itu. Aku tak ingin menyaksikan apa yang terjadi di awal perjumpaan dua sejoli yang kasmaran.

Baru saja aku ingin menjejakkan kaki di puncak pohon tertinggi, ada angin yang sangat kuat mematahkan cabang yang akan aku jadikan tempat hinggap.

Kepakan sayap yang kuat membuat angin tersebut cepat buyar setelah menghantam ujung pohon sekaligus membuat tubuh berbulu kami kembali melayang.

Dari bawah angin panas bergantian dengan lecutan bagaikan selendang mengarah ke kami. Terkena salah satunya pasti akan merontokkan bulu-bulu indah di tubuhku.

Dua mahkluk di bawah saling bergandengan melompati dahan demi dahan. Mereka berusaha mendekati dan menyerang elang yang sekarang terbang semakin tinggi

Ada suara yang masih tidak bisa aku lafazkan. Entahlah, bagiku sangat sulit menangkap suara itu. Jelas, sumbernya adalah Byuto.

Rambut panjang gadis itu terlihat melayang-layang mengikuti gerakan keduanya. Bibir merah itu selalu tersenyum. Rona bahagia terpancar di sorot mata dan wajah.

Secara sadarkah Sari mencintai lelaki yang sekarang mendekapnya sambil berlompatan itu?

Dunia ini aneh bagiku saat ini. Semakin tidak masuk akal ketika ketawa cekikikan cerminan kemanjaan seorang gadis masuk ke telingaku.

Ikatan cinta di antara mereka membuat irama hati mereka satu nada. Melahirkan serangan yang berpadu sangat dahsyat.

Bola angin datang dengan kecepatan melebihi kecepatan suara mengenai sayap sebelah kiriku. Aku berteriak kesakitan. Aku takut sayap ini patah dan membuat aku akan mudah di serang oleh jiwa-jiwa kasmaran di bawah.

Bulu sayapku tercerabut dan berhamburan. Aku oleng. Serangan mereka yang hebat atau kemampuanku yang belum memadai?

Sekali lagi datang kibasan angin berbentuk selendang. Kali ini dapat mencapai sebelah kaki. Ups, ada gerakan tiba-tiba pada ekor, dan aku tidak melakukan gerakan tersebut. Maka selamatlah kakiku.

Aku tahu, yang bergerak barusan adalah Datuk Pi’i.

Sepasang kekasih itu turun ke atas bukit. Mereka melanjutkan tarian kasmaran yang pasti akan semakin menakutkan jika mereka menyerangku.

“Bagaimana ini, tuk?” Aku minta pertimbangan.

Tidak ada jawaban.

Di saat aku masih ragu akan melakukan apa, tarian kasmaran semakin indah mereka pertunjukkan. Apakah mereka penari balet atau ‘ice skating’? Dua tubuh itu bagai saling membelit aku lihat dari udara sini. Sangat indah.

Aku terpana. Sesaat kemudian keterpanaanku berubah jadi keterkejutan amat sangat.

Angin tornado meliuk-liuk dan ujungnya mengejar tubuhku. Sadar akan bahaya ujung angin tersebut aku cepat menghindar sekaligus ingin melakukan serangan.

Bulu sayapku yang tercerabut dan tarian mereka yang indah, sudah sangat cukup bagiku untuk mengadakan pembalasan.

Perputaran angin yang mereka ciptakan meliuk-liuk mengejar keberadaanku. Posisiku di udara jelas menyulitkan serangan itu mencapai sasaran. Aku melihat celah kelemahan serangan itu dan segera melakukan serangan balik.

Sayap lebar yang kokoh membentang aku tangkupkan rapat ke tubuh lalu meluncur mengitari tornado ciptaan pasangan penari di bawah.

Gerakan tipuan sebenarnya. Yang aku ingin lakukan adalah naik lagi ke atas dengan cepat hingga ujung angin lalu mengepakkan sayap untuk menimbulkan angin besar agar ‘angin cinta’ itu buyar.

Berhasil! Angin tornado buyar dan tubuh sepasang insan pemiliknya terpental menabrak pohon besar.

Aku memanfaatkan peluang lagi untuk menyerang mereka. Sasaran serangan susulan aku tujukan pada Byuto. Dua Cakar yang mengembang hanya mengenai angin. Satu loncatan ringan kekasih Sari ini menjauhkan dia dari kerusakan parah pada perut luar dan organ dalamnya.

Satu loncatan juga aku lakukan karena melihat ada ruang untuk mendekap tubuh tegap gagah Byuto dengan kedua sayapku. Aku yakin dia tidak akan dapat melakukan pergerakan yang berbahaya lagi ketika seluruh tubuhnya masuk dalam sayap-sayap kokohku.

Beberapa gerakan halus mengincar ganas tubuh bagian belakangku. Aku tahu itu pasti serangan dari jari lembut pemiliknya.

Dengan menekuk kedua lutut aku meloncat ke balik pohon. Angin-angin yang lembut itu justru meretakkan seluruh batang pohon besar itu lalu berkeping-keping dan ambruk.

Aku melongo. Melihat akhir nasib pohon besar itu aku tahu kebulatan tekad Sari membunuhku.

Masih dengan sikap terpaku aku memandang wajah Sari. Raut mukanya sangat tenang. Mahkluk dalam dekapanku mengadakan perlawanan. Hawa sangat panas akan segera membakar bulu-buluku. Tapi aku tidak mau melepaskan begitu saja.

Dua loncatan ke samping aku lakukan. Aku ingin menghempaskan kepala anjing itu ke dinding batu. Rupanya sang kekasih tahu maksudku dan segera mengejarku dengan serangan angin-angin halus dan lembut.

Pukulan ini sudah aku duga sebelumnya dan gerakan penyelamatan juga sudah aku rencanakan. Masalahnya sekarang, aku tidak memikirkan gerombolan anjing pengawal Byuto juga akan menjangkau tubuhku dan membuyarkan semua rencana hanya dalam sekejap.

Bug! Blartr! Hantaman angin mengenai tubuhku lalu dengan masih mendekap Byuto menghantam bebatuan di dasar tebing. Batu-batu yang kami timpa meledak menimbulkan debu yang membumbung tinggi.

‘ini kesempatanku!” Bisikku ke telinga Byuto.

Berikutnya aku kembali mengepakkan sayap dan dengan kecepatan sangat tinggi melesat ke udara. Byuto yang ingin membakar tubuhku dengan panas tubuhnya sekarang dalam cengkeraman cakar kakiku yang kuat. Siap dilepaskan dari udara.

Sari berteriak dengan keras.

“Semakin banyak alasanku untuk membunuhmu. Terima ini!”

Sangat banyak benda-benda berkilat terbang cepat ke arahku. Salah satunya mengenai satu cakar. Byuto langsung terlepas. Sementara aku merasakan kakiku kaku.

“Jarum beracun! Tinggalkan mereka dan segera kembali ke Tapak Balai.” Itu perintah Datuk Pi’i yang tidak bisa aku lawan.

Dengan perasaan panas dingin dan menggigil, aku hanya pasrah dengan keputusan itu.

By: ie_majie