Nadiem, EMak – emak Menyerah, Sudah Tidak Kuat Lagi

Oleh Bagus SLE|

‘Kirain bakal memanusiakan manusia… “

Itu adalah penggalan komentar salah seorang ibu rumah tangga terhadap tulisan yang berjudul ‘Nadiem dan murid di desa pedalaman’ yang ada di sebuah grup berisi para penulis.

Postingan pada tanggal 26 Juli kemaren, dipost pada jam 11.37 tersebut telah dibagikan sebanyak 41 kali. Dari 226 komentar dan hampir 1500 tanggapan, hanya dua yang agak berbeda, itupun diragukan apakah buzzer atau bukan. Selebihnya mengharapkan mendikbud berpikir dan berlaku bijak menyiasati kondisi ekonomi Indonesia di saat gembar-gembor wabah saat ini.

Banyak yang terang-terangan mengharapkan keberanian Nadiem sebagai nahkoda pendidikan Indonesia untuk segera mundur dan meletakkan jabatan atas ketidakmampuannya membaca peta dan geografis Indonesia yang mengakibatkan banyaknya kendala dalam menerapkan kebijakan yang diduga ‘bisnis bertopeng pendidikan’ ini.

Nadiem tidak melihat terlebih dahulu kondisi Indonesia yang bergunung-gunung, berlaut-laut, berdesa-desa, berpulau-pulau dan ribuan kampung-kampung pedalaman yang situasinya sangat jauh berbeda dari kota New York, Abudabhi, Singapur, bahkan Jakarta.

Atau juga sang penentu arah masa depan pendidikan anak bangsa ke depan tidak tahu kalau Negara yang semestinya sangat kaya dan sejahtera penduduknya ini, memiliki 111 pulau terluar yang berada jauh di tengah laut sana. Apakah pak menteri pendidikan tahu kondisi masyarakat di sana?

Jangan dulu bicara tentang kondisi ekonomi, jaringan internet dan listrik di daerah benteng terdepan penjaga ibu Pertiwi ini, jangan juga bicara tentang anak-anak bangsa yang berada di pegunungan Papua sana. Terlalu jauh dari kantor si pendiri jasa transportasi online tersebut.

Kita ke Jawa Barat saja. Menurut Pikiran Rakyat.com, 260.000 KK warga provinsi kiblat mode Indonesia ini, belum tersentuh jaringan listrik. Apalagi jaringan internet! Dapatkan anak-anak Jawa Barat yang masuk dalam 260.000 tersebut, dalam rentang usia sekolah dan masih sekolah, bisa mengikuti belajar ala covid ini?

Itu baru bicara Jawa Barat, belum lagi provinsi lain. Terlalu kejam kalau harus mengorbankan mereka, yang merupakan masa depan bangsa yang besar ini. Atau mereka tidak dimasukkan dalam putra-putri merah putih, yang semestinya juga dilindungi oleh sayap garuda dan dijamin oleh UUD ’45?!

Para pemberi komentar pada tulisan tersebut, lebih dari 70℅ adalah Mak-mak hebat. Selain mengurus rumah tangga, mengatur keuangan belanja dapur, dan sekolah anak, harus ditambah lagi dengan mendampingi anak untuk belajar.

Mereka mengeluhkan dengan waktu yang mereka punya, tingkat pendidikan yang mereka tempuh, dan jumlah uang yang di bawa suami pulang. Bahkan ada juga yang mengharuskan si istri mencari tambahan pemasukan untuk membeli android dan kuota agar si anak tercinta bisa menyelesaikan tugas sekolah.

Dalam beberapa komentar, ada yang harus berhutang, agar bisa melayani keinginan si anak supaya bisa mengikuti pelajaran. Apakah perlu sekejam ini?

Yang paling menarik , salah satu pemberi komentar adalah seorang siswa SMA. Dia sempat naik temperamen. Baru saja menginjak kelas, sudah disodorkan dengan daftar uang yang harus dikeluarkan. Tadinya dia berfikir akan ditiadakan berbagai beban keuangan di sekolah semasa sumber pemasukan yang hancur lebur ini.

Warga negara Indonesia tidak manja. Rasanya sebagai menteri, yang bergelar sarjana hubungan internasional, tahu hal itu. Tapi kondisi negeri yang compang camping kesejahteraan dan fasilitas ini memaksa mereka untuk memohon. Memohon pemikiran yang ‘sehat lahir dan batin’ yang ditandatangani oleh pak menteri, agar anak-anak mereka bisa sedikit lebih tinggi pendidikannya dari mereka.

Mak-mak sudah lelah. Sudah tidak sanggup lagi melayani super power hasrat tak seimbang dari seorang Nadiem.

Beri mereka sedikit kelonggaran untuk istirahat sejenak. Sampaikan pada pimpinan agar meratakan terlebih dahulu jalan yang layak, listrik yang selalu on fire, dan jaringan internet yang bisa melayani seluruh anak negeri. Agar jangan lagi ada anak perempuan yang harus pergi jauh dari rumah, hanya untuk mencari sinyal untuk bisa menyelesaikan tugas dari ibu guru tercinta.

40 milyar, untuk dua yayasan milik perusahan dan orang super kaya Indonesia, akan sangat manusiawi jika dialihkan menjadi kuota dan gadget gratis untuk anak-anak miskin, agar anak seperti Dimas tidak perlu belajar sendirian di sekolah karena tidak memiliki benda keluaran pabrikan tersebut, dan dijual mahal.

Atau memang politik saat ini telah berubah? Tidak lagi mementingkan pendidikan? Apakah politik saat ini membiarkan orang-orang miskin semakin bodoh, dan orang-orang kaya akan diciptakan menjadi generasi tik tok?

Wallahualam. Semoga kita tidak masuk kembali pada politik jaman penjajahan. Bukankah kita bercita-cita menjadi negara maju? Bukan hanya memiliki jalan tol, tapi bolehlah kita berharap memiliki stasiun ruang angkasa, atau membuat jet tempur sendiri.

Semoga….
“”””””””‘”””””””””

Penulis selain sebagai Tukang seduh Kopi di Pantai Panjang yang menjadikan tempat usahanya sebagai rumah singgah dan ‘kampus terbuka’, juga sebagai traveler, youtuber, bloger, seniman dan sastrawan, juga beberapa kali mengisi materi dalam seminar-seminar di kampus.