Part #13 Tuhan Jangan Kau Cabut Dulu Bunga Bunga Indah Ini

Angka 13

Di ulang tahunnya yang ke dua puluh, Jago benar-benar pusing. Suntuk, dan dia merasa otaknya kram. Karyawan harus gajian hari ini. Tapi saldo kas hampir tidak ada.

Dari awal tahun ini kondisi cafe sepi, malah merembet ke seluruh cabang. Tiga bulan pertama, Jago masih bisa mengandalkan uang simpanan dari saldo kas. Bulan ke empat dan hingga tujuh bantuan dari ayah. Dan bulan ke delapan ini…?!

Selama ini keuntungan cafe lebih banyak digunakan untuk kegiatan sosial. Membantu para pemulung, atau diam-diam meletakkan sembako di depan pintu rumah reot para manula yang hidup sendirian, memberikan pelatihan kerja pada beberapa pesantren, memberikan biaya hidup beberapa anak yatim, atau memberikan ongkos pulang anak-anak rantau yang harus pulang saat itu juga.

Kesulitan ini berawal dari situasi ekonomi, menurut beberapa pelanggan merupakan akibat kebijakan pemerintah yang salah mengelola negara. Situasi sulit ini masih bisa sedikit dibantu dengan program-program untuk para pelanggan yang diluncurkan oleh Jago, sampai bulan ketujuh.

Jago benar-benar kusut. Sudah seminggu ini ayah pergi dan tidak ada kabar. Memang belakangan ini pria itu sering melakukan hal seperti ini. Mau membicarakan pada Tegar, Jago tidak ingin melibatkan adik ‘kecil’nya ini.

Ada panggilan telpon dari nomor yang tidak di kenal. Jago segera mengangkat telpon itu dan bicara sedikit menjauh. Rupanya telpon tersebut dari dosen teman ayahnya yang akan mengajak mahasiswa-mahasiswanya untuk diskusi di cafe.

Kesibukan langsung terlihat, setelah lama cafe ini hampir sering kosong. Jago dan karyawan langsung menata ruangan untuk tempat diskusi sore nanti. Memang selama cafe ini berdiri sering digunakan sebagai ruang diskusi untuk beberapa komunitas dan para mahasiswa, bahkan sering juga sebagai ruang kuliah terbuka, dan ayah jago sebagai ‘dosen’ pada kuliah tersebut.

Denyut kegiatan cafe yang sebelumnya kencang, mulai terasa lagi siang ini dan malam nanti.

Jam tiga sore sudah berdatangan anak-anak muda yang modis dan wangi. Keceriaan masa muda yang belum dicemari kehidupan nyata tergambar di wajah mereka.

Diskusi kali ini akan dilakukan dua sesi. Pertama jam empat hingga jam enam sore, dan kedua, jam tujuh hingga sembilan malam.

Bencana terjadi ketika beberapa mahasiswa ingin minum dan makan cemilan yang sudah dihidangkan di sela-sela diskusi. Nampak ekspresi ingin muntah ketika mau minum.

Jago merasa tersinggung. Segera dia mengambil gelas jus di meja dekat dia duduk, dan menghirup aroma dari gelas tersebut.

“Hueksss…!” Hampir saja dia muntah.

Suasana diskusi mulai terganggu. Perlahan satu demi satu mahasiswa mulai berdiri dan meninggalkan ruangan.

Jago segera memeriksa bahan dan perlengkapan di meja dapur. Dia mendapatkan semuanya normal saja. Kemudian kembali ke makanan dan minuman di atas meja tamu. Jago tercekat! Di piring pisang goreng meliuk-meliuk ulat! Di semua piring!

Jago duduk lemas. Dia malu. Malu benar-benar malu. Sebagian besar peserta diskusi keluar dan entah ke mana. Ada yang dengan gestur jijik, ada juga seolah-olah mau muntah. Jago tidak memperhatikan ini. Yang tinggal hanya tujuh orang dari tiga puluhan orang, termasuk dosen. Mereka yang tinggal ini adalah para pelanggan lama.

Semua karyawan gelisah. Mereka sibuk membahas apa yang terjadi.

Diskusi sesi kedua cuma ada tujuh orang. Enam mahasiswa, lima cowok, dan satu cewek, berikut pak dosen.

Ada tiga tamu lain masuk. Kali ini pak Cipto, istri dan anaknya kembali datang.

“Apa kabar om? ” Sambut Jago lesu.

“Baik, kamu kenapa lesu? ” Jawab pak Cipto.

“Iya nih, tumben kamu lesu. Lagi sakit ya?” Sambung istri pak Cipto.

“Gak papa, om, tante… Silahkan duduk om, tante, mbak… ” Jago berusaha ceria, tapi masih kelihatan kalau itu sangat dipaksakan.

Di saat karyawan-karyawan sibuk mengerjakan pesanan semua tamu, blep! Lampu mati. Otomatis semua orang dalam cafe ini terdiam bersamaan.

“Adeeehhhh…. Apa lagi…?!” Teriak geram salah seorang karyawan. Dia lagi memasukkan kopi dalam gelas.

“Setiap ada tamu agak rame, selalu mati lampu. Iseng banget!” Rupanya dia sangat kesal.

Wajar kalau dia kesal. Sejak dia bekerja di sini, sekitar lima tahun, kejadian seperti ini selalu terjadi. Inisiatif dia mengambil motor dan pergi ke tempat meteran listrik yang jaraknya lebih dari tiga puluh meter.
Waktu dia tanya ke bos, kenapa bisa sejauh itu, jawaban Ryu adalah, “kita dituntut terang oleh pemerintah, tapi kita tidak dikasih fasilitas tiang listrik. Untuk mengakalinya, ya seperti ini.”

Ketika sampai, dia melihat memang stop kontak pada meteran sudah pada posisi off, dan segera mengembalikan pada posisi on, dan menulis sesuatu pada dinding tempat meteran. Ketika selesai dia membaca ulang.

“YANG SUKA MENURUNKAN STOP KONTAK INI : ANAK ANJING!!! “, lalu dia segera kembali ke cafe.

Makanan dan minuman pesanan para tamu sudah terhidang. Sebelum dihidangkan Jago memerintahkan semua karyawan untuk mengecek kembali semua hidangan.

” Hueks…!’
“Hiiiiii….!”

Ekspresi ini membuat semua orang memperhatikan mereka. Jago langsung ke dapur yang berada di samping ruangan para tamu. Menghirup aroma setiap gelas minuman, dan membolak-balikkan setiap makanan yang sudah disajikan.

Pada semua gelas minuman mengeluarkan aroma bangkai, dan semua makanan yang sudah disajikan dan sudah dikasih garnis, terdapat banyak ulat. Jago mual-mual dan merinding.

Semua tamu menuju dapur, dan mengikuti apa yang dilakukan oleh Jago, dan hasilnya, mereka juga mengalami hal yang sama.

Jago benar-benar stress. Dia ingin berteriak!

“Kok bisa begini, bang?” Pak Cipto mendekati Jago.

“Gak tau om… ” Jawabnya sambil menunduk. Dia malu.

“Gak masuk akal ini. Masa makanan yang baru keluar dari wajan, sudah belatungan… ” Istri pak Cipto tidak mempercayai apa yang dia lihat.

“Ada yang tidak beres ini… ” Sambung istri pak Cipto cemas.

Para peserta diskusi sekarang malah mendiskusikan topik yang mereka alami. Pak Cipto sekeluarga ikut bergabung.

Ada dua kelompok diskusi di cafe malam ini. Di ruang tamu dan di dapur. Temanya sama. Kejadian sore tadi dan malam ini.

Jago terduduk lemas. Wajahnya di atas meja. Entah malu, entah menangis. Tapi yang pasti dia memikirkan bagaimana harus mengeluarkan gaji para karyawan malam ini.

Dia juga membayangkan efek cafe ini di waktu yang akan datang. Saat ini Jago yakin, ‘makanan berulat dan minuman bau bangkai’ cafe mereka sudah viral di semua media sosial. Dia tidak berani membuka aplikasi-aplikasi media sosial yang selama ini digunakan

Banyak pesan maupun panggilan masuk di HPnya, banyak juga dari nomor yang tidak dia kenal. Tidak satupun yang dia buka. Ada pesan dari ayahnya, nyelip di antara banyaknya pesan tersebut. Jago takut-takut berani membuka pesan ini. Takut ayahnya sudah tahu kejadian sore dan malam ini. Dengan cemas akhirnya Jago membuka pesan wa si ayah. Dia langsung mau menangis ketika sudah membaca pesan tersebut.

“Bang, ayah baik-baik saja. Ayah akan pulang mungkin seminggu lagi.” Lalu Ada bacaan di sudut kiri, di bawah tulisan LELAKI SEMPURNA, sebagai penanda untuk nomor ayahnya, ‘terakhir dilihat 19.30’. Artinya wa ayahnya sudah off sekarang.

Jago makin kalut. Ah, sekarang dia menyesal kenapa mengizinkan Tegar naik gunung tiga hari yang lalu? Artinya, dia akan memendam sendiri apa yang dia rasakan malam ini.

“Bang, sini, gabung sini… ” Om dosen mata kuliah sosiologi itu mengajak Jago gabung di meja di out door, pada meja bundar favourite pelanggan kalau sudah sore menjelang.

Agak lesu Jago bangkit dan bergabung. Dia benar-benar malu. Dengan menunduk Jago menarik kursi ke antara om dosen dan pak Cipto. Mereka duduk mengelilingi meja bundar besar di halaman, yang biasanya rame oleh tamu-tamu.

“Kejadian seperti ini sudah berapa lama, bang?” Tanya om dosen setelah Jago duduk.

“Baru hari ini om… ” Jawab Jago lesu.

Pak Cipto, dan penghuni kursi sekeliling meja lain saling berpandangan.

“Lampu yang sering mati setiap tamu banyak, kami ambil kesimpulan adalah bentuk dari sabotase. Lepas dari maksud iseng atau lainnya.” Om dosen membuka analisa dari hasil diskusi mereka tadi.

“Dulu ayahmu pernah ngomong pada om, pernah ketemu jeruk nipis di halaman yang sudah terpotong, tapi tidak sampai putus, sering juga ayahmu sendiri kelewatan cafe ini ketika mau pulang, kami ambil kesimpulan, bahwa ada orang yang berniat buruk pada kalian, melalui hal yang tidak bisa diterima oleh akal. Tapi memang ayahmu selalu berfikir positif, dia tidak mengambil pemahaman sesuatu mengkhawatirkan yang harus disikapi.” Sambung dosen universitas terbesar di Bengkulu ini.

“Ayahmu sekarang di mana, bang?” Ibu Audy, istri pak Cipto bertanya.

“Gak tau tante. Sudah seminggu, dan barusan katanya akan pulang seminggu lagi.” Sahut Tegar tak bersemangat.

“Mestinya, dia ada di sini. Jadi kita bisa bahas bersama.” Sahut perempuan yang perhatian ini.

“Abang tenang saja malam ini. Urusan ini om, sama om Cipto akan membicarakan ini pada ayahmu, sesegera mungkin. Kami akan bantu. Cafe ini tidak boleh mati, karena cafe ini pioneer di Bengkulu ini, apalagi dengan cara seperti ini.”

Ada nada geram pada kalimat akhir sang dosen. Tapi setidaknya kalimat-kalimat itu sedikit menenangkan hati Jago.

“Kami merasa, kami juga memiliki tempat ini, mas, karena tempat ini yang paling representatif untuk kebutuhan komunitas.”

Ucap salah seorang mahasiswa peserta diskusi, membuat Jago terharu. Dia tidak menyangka sama sekali kalau banyak orang menaruh peduli pada mereka dalam situasi sulit ini.

Jago sedikit tenang. Dalam beberapa hal, dia masih merasa kalut. Terutama masalah gaji. Dalam kekalutan itu, Jago pergi ke belakang cafe, setelah orang-orang istimewa tadi pulang. Jiwanya ingin memandang laut malam, yang belakangan bisa membuat Jago bisa mendapatkan inspirasi.

BACA JUGA:  Meraih Cita-cita, Cerpen Penuh Pesan Moral yang Membangkitkan Semangat!

“Yuk, abang ke belakang sebentar ya… ” Jago memberitahu pada Siti, salah seorang karyawan mereka, ketika melewati dapur.

“Iya, bang… ” Sahut Siti. Siti dan yang lain mengikuti langkah Jago dengan pandangan mereka. Pandangan yang prihatin.

“Kasihan Jago.” Kata si ‘penghidup’ lampu. Dia lah Kelvin, karyawan paling lama dan dia juga yang sering dititipi untuk menemani Jago dan Tegar selama Ryu pergi. Dia seorang punkers.

Angin sepoi, langit cerah, bulan bersinar terang, gugusan beberapa zodiak, kelap-kelip dari menara lampu suar pulau Tikus dan dari kapal nelayan di tengah sana, riak air laut yang keperakan, membuat Jago sangat nyaman.

Tubuh lelah dan otak yang kram di baringkan pada pasir lembut Pantai Panjang yang bersih, jika lagi tidak musim hujan.

Jago mengosongkan pikirannya, berusaha menyatukan jiwanya pada pasir dan semesta. Ada satu dua burung malam terbang melewati batas pandangannya.

“Bang, ada yang nyari abang di cafe sekarang.” Seseorang menghentikan penyatuan jiwanya dengan alam. Jago melihat pada penyampai kabar.

“Siapa?” Sambut Jago pada karyawan yang paling muda.

“Gak tau, bang, kayaknya wartawan.”

Jago berfikir sejenak, lalu bangkit, melangkah menemui orang yang mencarinya. Sepanjang langkah menuju cafe Jago menganalisa kemungkinan-kemungkinan pertanyaan dan jawaban dari si wartawan.

Di salah satu meja dalam ruangan, sudah menunggu seorang pemuda, dan segera menyalami Jago ketika sudah sampai di meja di mana dia duduk.

“Malam mas… ” Sapanya.

“Malam juga, mas. Maaf tidak bisa menawarkan produk kami. Sedang tidak bisa disajikan.” Jawab Jago dan mempersilahkan orang yang menunggunya untuk duduk.

“Dari mana mas?” Tanya Jago.

Si pemuda menyebutkan salah satu media on line.

“Ada yang bisa di bantu?” Tanya Jago.

“Mengenai postingan-postingan yang banyak saya dapatkan di beberapa medsos sejak tadi sore ini, mas…. “

Seperti dugaan Jago, ternyata memang sudah viral petaka cafe hari ini. Jago berfikir sejenak, lalu memandang si wartawan. Tersenyum lalu menjawab dengan tenang.

“Itu benar, mas. Tapi jika mas ingin menulis tentang itu, tolong mas flash back sepanjang tahun cafe ini berdiri.Silahkan mas periksa bahan-bahan makanan dan minuman kami, beserta alat-alatnya.
Oh ya, mas, mari ke dapur kami. Silahkan mas periksa semuanya.”

Anak muda wartawan itu mengikuti Jago ke dapur, memperhatikan, mencium dan memeriksa alat-alat, semua bahan dan media yang di gunakan.

“Mas mau kita mencoba membuat minuman apa?” Tanya Jago ketika si pemuda sudah memeriksa, menciumi aroma semua bahan, dan memperhatikan setiap sudut dapur.

“Kita coba teh favorite di sini mas… ” Jawab si wartawan.

Jago memberi isyarat kepada Siti. Dan mereka berdua memperhatikan secara detail proses pembuatan teh tersebut. Semua proses pembuatan berjalan normal, sampai pada akan disajikan, maka aroma menyengat itu muncul.

“Selanjutnya mas mau dibikinkan apa?” Jago kembali memberikan pilihan.

Pemuda wartawan itu berfikir sejenak.

“Nasi goreng… ” Jawabnya kemudian.

“Oke, sekarang kita bikin nasi goreng. Tapi bukan kami yang membuatkan. Silahkan mas sendiri yang melakukannya.” Jago meminta orang tersebut untuk membuat sendiri apa yang dia inginkan.

“Baiklah, apa saja yang kita butuhkan.” Dia menerima ‘tantangan’ itu.

Kelvin yang ahli memasak nasi goreng khas cafe mereka memberikan instruksi.

Siti berinisiatif untuk mendokumentasikan dengan video proses awal hingga akhir membuat nasi goreng khas mereka. Sedangkan proses pembuatan teh tadi pengambilan gambar video di lakukan oleh karyawan yang menjemput Jago di pantai tadi.

Semua bahan sudah siap, selanjutnya langsung pada proses masak. Menumis bumbu-bumbu hingga pada memasukkan nasi lalu pada setiap gerakan dalam proses tersebut direkam oleh Siti secara rinci. Termasuk ketika memasukkan ke dalam piring. Semua berjalan lancar, hingga disajikan. Saat itulah mulai keluar ulat-ulat yang menjijikkan.

Si wartawan menggaruk-garuk rambut panjangnya dan mengerutkan dahi. Sepertinya dia berfikir keras. Matanya memandang Jago yang kelihatan puas, karena bisa memperlihatkan semua hal yang harus dilihat oleh si wartawan, sebelum dia memutuskan apa yang akan di tulis untuk medianya.

Setelah semua kejadian sepanjang sore hingga akhir jam operasional cafe kemarin yang menegangkan, hari ini adalah hari yang sangat mengharukan bagi Jago.

Berita pagi yang dipublikasi oleh salah satu media online ini setidaknya telah mengkonfirmasi semua postingan yang disebarkan oleh netizen kemaren sore. Jago dan seluruh karyawan membagikan ke banyak grup wa dan fb dan semua media social yang mereka gunakan.

“Bang, boleh kami bicara?” Kelvin menghampiri Jago yang sedang membalas komentar-komentar yang masuk di media sosialnya.

Jantung Jago dag dig dug. Berdegup lebih kencang. Pastlah mereka mempertanyakan hak mereka, yang mestinya tadi malam sudah mereka dapatkan. Jago belum punya jawaban untuk ini.

Jago pindah ke meja yang lebih besar agar semua karyawan bisa duduk.

“Masalah gaji kami… ” Kelvin yang mewakili semua karyawan menggantungkan kalimatnya, memperhatikan tanggapan Jago.

“Iya, bang…?” Jawab Jago sambil memikirkan kalimat apa yang akan dia keluarkan. Kemudian dia melanjutkan dengan berat hati.

” Abang benar-benar minta maaf pada bang Kelvin, ayuk Siti dan semuanya. Sekarang abang cuma bisa memberikan sedikit gaji kalian. Dan selebihnya abang usahakan lima hari ke depan.”

Rasa malu menyelimuti hati dan tubuhnya. Dia sedikit bergetar ketika menyampaikan kalimat-kalimat ini.

“Bang, bukan itu maksud kami. Kami sudah sepakat, biarlah gaji kami bulan ini ditunda dulu hingga pertengahan bulan. Kami sangat paham dan memaklumi apa yang kita alami beberapa bulan ini. Toh sebelum ini abang selalu memberikan gaji kami tepat waktu, bahkan dulu, sebelum-sebelumnya sering lebih awal, berikut bonus dan lainnya.

Soal masalah kami, masih bisa kami atasi. Masalah abang dan cafe ini jauh lebih berat.

Jadi, uang yang ada sekarang, kita gunakan untuk membeli bahan baku biaya operasional lainnya, dan mengatasi masalah yang kita hadapi hampir satu tahun ini.”

Jago tidak percaya yang dia dengar barusan. Satu persatu wajah karyawannya diperhatikan. Jago merasa ingin menangis melihat kesungguhan orang-orang ini.

Oh, Tuhan, rasa-rasanya Jago ingin memeluk mereka. Andailah Jago ekspresif seperti ayah dan adiknya, tentulah dia sudah memeluk jiwa-jiwa tangguh dan tulus ini.

#

Seminggu sebelum kejadian menghebohkan di cafe, di sebuah rumah di tengah-tengah kebun sawit, tempat di mana Tegar pernah di sekap, di malam ‘penculikannya’, delapan orang berkumpul. Dua orang di antaranya adalah Ryu dan Agus, lawan latihan dan pelatih Ryu.

Kecuali Agus yang bertubuh gempal dan sedikit lebih pendek, bentuk tubuh Ryu dan enam orang lainnya hampir sama. Langsing, padat, berisi dan kurang lebih tinggi badan antara seratus enam puluh lima senti meter ke atas. Dua orang menyandang pedang di belakang mereka, Dua orang dengan pisau-pisau kecil melingkari pinggang, dan dua orang tanpa membawa apa-apa, dengan wajah yang sama.

Agus baru saja memperkenalkan mereka sebagai tim baru, yang menyerang Ryu dalam gelap malam di hutan pada beberapa waktu yang lalu (baca part #8 ‘Si Imut Buyung’).
Dari tiga tim yang baru mereka miliki, tim baru yang merupakan tim ke tiga memiliki tugas yang paling berbahaya. Misi mereka adalah mengawal orang atau benda dari pemesan hingga tujuan. Hasil akhir dari misi mereka adalah menyokong kegiatan mereka dalam kegiatan sosial. Sumber dana yang ada sekarang ini, bisnis mereka, tidak mencukupi lagi untuk kegiatan tersebut.

Selain dari jumlah sasaran kegiatan sosial semakin bertambah, kebutuhan dan harga kebutuhan semakin meningkat, sedangkan keuntungan bisnis selama ini semakin berkurang.

Tim satu yang bergerak di bidang pertanian mengalami kendala karena harga pupuk yang tinggi dan banyaknya masuk hasil pertanian dari luar negeri. Tim kedua yang menangkap dan mengelola hasil ikan laut mulai sulit karena kondisi cuaca yang berubah-ubah dan masuknya kembali para pencuri ikan dengan kapal-kapal bertekhnologi tinggi dari beberapa negara.

“Bro, aku ikut ya, bro… ”

Rengek Ryu pada Agus, setelah mereka merapatkan tehnis antisipasi jika ada kendala di lapangan, pada misi pertama tim satu ini, yaitu mengawal seorang perempuan yang akan melayani kliennya dari kalangan yang sangat ingin merahasiakan identitas pribadi mereka. Biasanya mereka ini ke luar provinsi atau ke luar negeri.

Agus hanya mengerling pada Ryu. Dia tidak ingin menanggapi keinginan sahabat yang sudah bagai saudaranya ini.

“Ayo lah bro… Aku butuh tantangan baru. Coba bro lihat tubuhku yang sudah nggak bagus lagi, kulit sudah mulai kehilangan elastisitasnya nih… ”

Ryu masih mencoba merengek pada lawan tandingnya ini. Biasanya Agus akan melemah dengan rengekannya.

“Pliiiissss…. ” Ulang Ryu sambil menggoyang-goyangkan tangan Agus yang duduk di sebelahmya.

Agus cuma memberi reaksi melepaskan tangan Ryu dari lengannya.

“Bro gak asyik…!” Ucap Ryu putus harapan. Biasanya kalau Agus sudah diam seperti itu, artinya tidak ada izin sama sekali.

Agus tidak menanggapi sama sekali. Tapi Ryu masih terus merengek.

“Bro…. Tolonglah bro… ” Agus memandang Ryu. Ryu sedikit bersemangat.

“Boleh!” Jawab Agus yang membuat Ryu spontan meloncat kegirangan.

“Asal kamu mau membawa Tegar padaku, untuk menggantikan kamu!”

Kalimat tegas sahabatnya ini membuat dia terpana. Bagaimana mungkin Agus tega ‘mengorbankan’ Tegar dalam kegiatan yang sangat berbahaya? Semua kegiatan tim mereka pada akhirnya adalah membawa dia dan Agus harus berkelahi bertarung nyawa jika ada yang harus mereka pertahankan.

“Kenapa harus seperti itu, bro?”

“Kita harus mempersiapkan dia lebih awal untuk menggantikan kita.”

“Bisa kita tunggu dia lebih dewasa dulu, tidak bro?”

Sebenarnya Ryu belum siap melihat anaknya tersayang harus lebam-lebam, parah tulang, atau malah sampai pingsan. Lama Ryu terdiam. Ini pilihan sangat sulit baginya.

Oleh: Bagus Presiden Republik SLE