Bengkulu, Wordpers.id – Yayasan Cahaya Perempuan WCC Bengkulu terus mengkaji ketidakefektifan upaya pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi secara mendalam berakar pada ketidakadilan gender yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2014 tentang masalah tersebut.
Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan WCC Tini Rahayu mengatakan, realitas justru menunjukan hal lain, upaya pemenuhan hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi tersebut tidak berjalan efektif, khususnya bagi perempuan miskin.
“Angka kematian Ibu, kehamilan tak diinginkan, penggunaan kontrasepsi tak diinginkan, perempuan penderita infeksi menular seks, HIV/AIDS, pernikahan usia muda, gugatan perceraian, kehamilan usia muda dan aborsi tidak aman tergolong masih tinggi,” kata Tini, Sabtu.
Tercatat, hingga Tahun 2018 hingga 2019 Angka Kematian Ibu di Indonesia yakni 305 per 1000 kelahiran hidup.
Tini, mengatakan perlunya memperdalam pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi yang peka terhadap suatu konstruksi sosial, membuat masyarakat sadar akan fungsi menjaga kesehatan reproduksi.
Sehingga, katanya, hal ini akan berdampak pada pemahaman saling menghormati fungsi sosial terkait aktivitas seks, edukasi dan pembinaan terhadap fungsi reproduksi perempuan itu sendiri.
“Dengan pemahaman ini nantinya masyarakat tidak akan lagi timpang memahami masalah pemenuhan kesehatan seksual. Dicontohkan adalah perkosaan suami terhadap istri yang tentu ada dasar hukumnya jika hal itu terjadi. Atau pembinaan anak sebagai korban kekerasan seksual di mana dorongan dan motivasi keluarga tentu akan mnembuat anak cepat pulih dari kondisi terpuruk saat mendapat hujatan dari berbagai pihak, ” kata Tini.
Cahaya Perempuan WCC terang Tini, mengajak masyarakat khususnya pemerintah meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dalam menganalisa kebijakan dan anggaran hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi yang bias atau peka terhadap gender.
“Hal ini tentu membawa dampak positif menekan angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak,” katanya.
Di Bengkulu sendiri, kata Tini, pihaknya telah beberapa kali memberi pendampingan terhadap kasus dengan berbagai macam motif kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
“Dan dari masing-masing kasus, perempuan miskin dan usia anak adalah korban dengan pendampingan terparah selama menjalani proses hukum,” pungkasnya.