Tak Diakui Anak dan Dimusuhi oleh Ayahnya, Pria Ini Berhasil Jadi Jenderal TNI

wordpers.id, Inspiratif – Keberhasilan memasuki Akademi Militer (Akmil) sudah tentu akan menjadi sebuah kebanggan bagi setiap keluarga.

Sayangnya, tidak semua orang menganggap hal itu suatu kebanggaan.
Ada kisah dari Letjen TNI (Purn.) Joppye Onesimus Wayangkau, yang dimusuhi ayahnya karena ingin menjadi tentara.
Dalam data yang dikutip OBERITA dari situs resmi TNI Angkatan Darat, Joppye adalah alumni Akademi Militer 1986.
Perlu diketahui, selain Joppye banyak nama-nama besar yang juga merupakan jebolan Akmil di tahun itu.
Sebut saja mantan Letjen TNI  (Purn.) Tatang Sulaiman yang pernah menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad).
Kemudian, ada pula nama mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), Letjen TNI Besar Harto Karyawan.
Satu nama lainnya yakni Letjen TNI Joni Supriyanto, yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI.
Lahir di Serui, Kepulayan Yapen, Papua, 17 Juli 1962, Joppye pada awalnya tidak punya keinginan untuk jadi prajurit TNI.
Ayah Joppye, Oktavianus Wayangkau, lebih menginginkannya menjadi seorang pendeta.
Mimpinya untuk berkuliah di perguruan tinggi juga juga akhirnya dikubur.
Sebab, Joppye berpikir tidak memiliki biaya.
Singkat cerita, Joppye yang tengah bekerja sebagai kuli aspal melihat brosur Akademi Militer.
Di brosur itu tertulis, masuk dalam Akmil tidak dipungut biaya.
Akhirnya, Joppye memutuskan untuk mendaftar hingga akhirnya masuk.
Sayang, sejak awal sang ayah tidak suka dengan dunia militer. Sebab dalam pandangan ayahnya, tentara adalah sosok yang galak dan jahat.
Joppye sebenarnya maklum, karena ia dan keluarganya tinggal jauh di kampung.
Saat akan mengirim balasan surat ke Akademi Militer, Joppye pun memalsukan tanda tangan ayahnya.
Sebab andai surat itu diberikan, Joppye yakin sang ayah tidak akan mau menandatanganinya.
“Waktu itu kita beranggapan jadi tentara itu enggak bagus begitu. Kita bilang tentara itu bilang tentara galak-galak, jahat begitu. Jadi tidak boleh masuk tentara,” ucap Joppye.
“Jadi saya berpikir kalau ini surat saya kirim ke kampung untuk bapak tanda tangan tidak mungkin. Jadi saya palsu itu, saya (bikin) tanda bapak itu, saya tanda tangan sendiri. Saya tulis nama saya sendiri terus tanda tangan. Kan enggak mungkin juga dicek ke bapak saya di kampung,” katanya.
Setelah Joppye sudah mengikuti pendidikan di Akmil selama enam bulan, sang ayah baru tahu bahwa anaknya sudah masuk ke sekolah pendidikan perwira. Menurut pengakuan Joppye, ada undangan untuk orang tua siswa yang dikirim ke Komando Distrik Militer (Kodim) 1709/Yawa, Serui.
Setelah undangan itu sampai ke Kodim, Komandan Kodim pun mengutus seorang Provoost untuk menyampaikannya ke keluarga Joppye. Prajurit Provoost itu pun mencari rumah kediaman Joppye bersama Komandan Komando Rayon Militer (Danramil) setempat.
Sang ayah pun memenuhi panggilan ke markas Dandim. Setelah diberikan kabar bahwa Joppye berhasil masuk ke Akademi Militer, bukannya bangga malah sang ayah murka.
“Undangan itu dikirim dari Akmil lewat Kodim. Jadi, begitu sampai masuk Kodim dan masuk ke ruangan Dandim nanya, ‘Apa bapak Wayangkau punya anak namanya Joppye Onesimus Wayangkau?’ Bapak saya bilang ‘Ya’. Dandim kasih selamat, ‘Selamat anak bapak berhasil sudah masuk pendidikan di Akmil’,” ujar Joppye.
“Dalam hati bapak bilang, ‘Ini anak kurang ajar, disuruh sekolah pendeta tidak mau malah mausuk tentara’. Mulai pulang dan dari kantor Kodim, saya itu disumpah, ‘Anak ini kurang ajar, bikin susah orang tua. Lebih maik dia mati saja lah kita sudah tidak pikir lagi’,” katanya.
Meski sang ayah sangat marah, Joppye tetap melanjutkan pendidikannya di Akmil hingga lulus pada 1986.
Pada akhirnya, sang ayah pun meminta maaf kepada Joppye dan sangat bangga sang putra berhasil menjadi perwira TNI.