Tulungagung, Word pers Indonesia – Jagat maya kembali dibuat geger oleh sebuah video yang menyoroti dugaan pungutan di sekolah negeri. Seorang siswi SMA Negeri 1 Kauman, Tulungagung, mengaku tidak bisa mengambil kartu ujian karena belum melunasi “sumbangan” bulanan sebesar Rp100 ribu.
Dalam video berdurasi kurang dari dua menit itu, siswi bernama Beby, kelas X, menyampaikan keluhannya dengan nada getir. Ia merasa keberatan atas kewajiban membayar sumbangan yang disebut telah diberlakukan sejak awal masuk sekolah.
“Bulan depan mau ujian, tapi kata guru, kartu ujian tidak bisa diambil kalau belum melunasi sumbangan Rp100 ribu per bulan. Saya masuk bulan Juli, jadi harus bayar Rp600 ribu. Banyak teman-teman yang keberatan, apalagi yang ekonominya sulit,” ujar Beby dalam rekaman video yang kini tersebar di media sosial, Jumat (31/10).
Tak hanya itu, Beby juga menuturkan bahwa banyak wali murid yang tidak pernah mendapat pemberitahuan resmi terkait kebijakan sumbangan tersebut.
“Kesan yang muncul seperti SPP, padahal ini sekolah negeri,” tambahnya.
Unggahan itu segera menuai gelombang reaksi publik. Warganet menilai praktik sumbangan yang disinyalir menghambat siswa mengikuti ujian berpotensi menabrak prinsip pendidikan gratis di sekolah negeri.
Sekolah Bantah Ada Pungutan Wajib
Menanggapi viralnya video tersebut, pihak SMA Negeri 1 Kauman melalui Humas sekolah, Supar, menegaskan bahwa tidak ada pungutan wajib dalam bentuk apa pun kepada siswa.
“Itu bukan pungutan. Yang dimaksud adalah sumbangan sukarela dari komite sekolah. Siapa yang mau menyumbang dipersilakan, yang tidak juga tidak masalah. Tidak ada paksaan,” tegas Supar saat dikonfirmasi di Tulungagung.
Ia memastikan bahwa siswa yang tidak membayar sumbangan tetap memiliki hak penuh untuk mengikuti ujian dan kegiatan sekolah lainnya.
“Tidak ada cerita siswa tidak dapat kartu ujian karena belum bayar sumbangan. Kami tidak pernah melakukan itu,” ujarnya.
Menurut Supar, kebijakan sumbangan tersebut dikelola oleh komite sekolah, yang memiliki dasar hukum sesuai Permendiknas tentang Komite Sekolah. Sebelum diterapkan, mekanisme ini telah dikonsultasikan dengan Dinas Pendidikan dan Kejaksaan Negeri Tulungagung.
“Yang penting bukan pungutan, karena kalau pungutan itu ditetapkan jumlah dan waktu. Kalau sumbangan sifatnya sukarela, tanpa target,” jelasnya.
Dana hasil sumbangan, lanjut Supar, digunakan untuk mendukung kegiatan siswa yang tidak tercakup oleh dana BOS, seperti lomba, kegiatan ekstrakurikuler, dan pengembangan prestasi.
“Anak-anak kami aktif berkompetisi. Bahkan ada orang tua yang dengan sukarela membantu biaya tim futsal ke Jakarta atau voli ke Malang. Itu bentuk kepedulian bersama,” tambahnya.
Supar juga menegaskan, bagi siswa yang kesulitan ekonomi, sekolah membuka ruang komunikasi tanpa syarat administrasi.
“Kalau memang belum mampu, cukup sampaikan ke komite. Tidak perlu surat keterangan tidak mampu,” katanya.
Ia menutup pernyataannya dengan memastikan bahwa laporan penggunaan sumbangan selalu disampaikan secara terbuka kepada wali murid setiap semester.
“Semua transparan, dilaporkan saat pengambilan rapor,” pungkasnya.
Meski klarifikasi telah disampaikan, publik menilai perlunya peningkatan transparansi dan sosialisasi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang dapat mencoreng citra sekolah negeri.
Reporter: Agris
Editor: Redaksi
