Wartawan Dalam Lamunan

Oleh : Benny Hakim Benardie.

“Kusangka aur (Buluh/Bambu) dipinggir Tebing. Kiranya tebu dipinggir bibir. Kusangka jujur pancaran bathin. Rupanya palsu penghias Zhahir”. Syair Melayu

Ayunan boyan-boyan diberanda rumah membuat kian panjangnya lamunan yang tak tentu arah. Mulai dari perjuangan dan perjalanan hidup, hingga mencoba reka-reka rangkai kisah Behdi. Wartawan yang tegar usai tiga kali dikarantina dalam pelatihan kewartawanan, karena diangap belum pernah cakap sebagai calon wartawan.

Tentunya itu pasca Behdi merantau pada Tahun 1990 di Ibukota Jakarta dari Bengkulu Kota. Studynyapun di salah satu Universitas tertua di Kota Bengkulu ditinggalkannya. Hanya untuk suatu tujuan, ingin mewujudkan cita-cita kecilnya sebagai seorang wartawan.

“Apapun itu bila punya nilai berita, maka beritakanlah. Cicak jatuhpun dapat kamu beritakan. Meskipun dengan konsekuensi, haus minum lapar minum,” pesan seorang guru kala itu.

Keinginan kuat itulah Behdi terus berjuang dengan khayal sebagai wartawan sejati . Tentunya masa itu Behdi belum paham akan perbedaan antara ‘Idealisme dan buyanisme”. Faham sesuai dengan tugas, fungsinya dan faham kebodohan.

Petang usai bada Asyar, angin mulai bertiup senai-senai. Hening bukan tak ada kebisingan, tapi candu lamunan kali ini menghalau suara untuk melintas di daun telinga. Sempat keasyikan itu terhenti, saat dua ekor cicak diatas plafon mengeluarkan hajatnya, dan mengenai persis ujung hidung Behdi.

“Aai……Dasar binatang nian. Idak tau diadat gendek ko”, Behdi ngedumel ala Melayu Bengkulu.

Diliriknya, dua cicak itu tampak masih saja mengoyang-goyangkan ekornya. Buru-buru Hamba mengambil karet gelang yang ada dilantai. Tapi sial. Rencana sasarannya luput. Saat mau dibidik, dua cicak itu telah menghilang, Pergi ngumpet, nyelinap dibalik renggangan plafon beranda rumah.

Ditemani secangkir kopi, dan rokok daun nipahnya, Behdi Kembali duduk di ayunan boyan-boyan. Tak ada dipikiranya, kenapa dan ada apa dirinya mendapat serangan dari dua ekor cicak nakal itu. Behdi mencoba mengingat dan merangkai kembali cerita yang sudah dilamunkannya. Hendak hati lamunan lanjut kembali terjadi. Apa daya angin senai-senai mulai berganti pancaran mentari senja dari ufuk barat Negeri Bengkulu.

Negeri yang konon merupakan negeri bersejarah meskipun tanpa rasa dan warna. Meskipun faktanya, negeri ini selalu ada saat orang bercerita Portugis, Prancis, Inggris Belanda dan Jepang. Akan terlintas di pikiran, ada Negeri disebut Bencoolen, Benkolen, Bengkulu saat orang bercerita Malaysia dan Singapura. Negeri Tanah Mati di bagian barat Pulau Sumatera.

Usai menyeruput kopi, menghembuskan asap rokok daun nipah dari muncung dan hidung, rangkaian lamunan yang sempat buyar beberapa sisa teringat kembali. Kisah itu tergiang dipertengahan Tahun 1997 silam. Kala itu suasana Ibukota Jakarta mulai terasa tak nyaman. Wartawan Behdi terus saja naik turun bus dan kereta listrik, hunting berita usai shalat subuh berlalu.

Saat itu redaktur pemberitaannya menempatkan Behdi sebagai wartawan hukum dan kriminal. Dari pagi hingga petang Behdi dilapangan sebelum kembali ke kantor. Dari Polda hingga rumah sakitpun disubuknya, untuk memenuhi empat berita dalam sehari. Dimana tiap berita, harus memenuhi satu setengah kuarto dengan satu spasi.

Dinilai Tak Cakap

Saat itu bukan naas. Itu hanya ketidakcakapan atau kemampuan, karena Behdi kala itu tidak menguasai ilmu pengetahuan dibidang yang di perintahkan redaktur. Di Tahun 2000, seorang teman yang mangkalnya dibidang ekonomi mendapat cuti tahunan. Terpaksa Behdi di rolling antar waktu.

Meskipun tak penuh menguasai ilmu ekonomi. “Pantang seorang wartawan membantah perintah redaktur. Pantang wartawan pulang kantor tanpa membawa berita yang diperintahkan. Pantang wartawan mengatakan tidak tahu akan apa yang diperintahkan. Wartawan harus tahu, bukan sok tahu”.
Begitulah doktrin yang susupkan kedalam otak Behdi.

BACA JUGA:  Radikalisme dalam Realitas Kelaliman

Hingga suatu ketika, Behdi harus bertemu Kepala Bappenas di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Datang pagi baru dapat bertemu siang hari saat Kepala Bappenas ingin pergi keluar dari kantornya. Pembicaraan soal Perbankan sempat terjadi. Hanya saja Behdi tak mengerti istilah ekonomi yang dilontarkan. Ingin rasanya ia bertanya, apa artinya setiap istilah kata itu. Tentu hal yang tak mungkin dilakukannya.

Behdipun pulang ke kantor menulis berita. Hasilnya, redaktur tak mengerti apa dan kemana arah berita yang dibuat. Termasuk beberapa berita para ekonom yang di wawancarai. Redaktur murka. Behdi dipindahkan menjadi wartawan politik. Pos baru cukup gampang untuk memenuhi kuota berita yang diperintahkan, namun riskan akan bahaya yang menerpa.

Ancaman acap kali dilontarkan. Hingga suatu pagi, sekira pukul 10.09 WIB, dua orang berbaju safari hitam merangkul Behdi. Kala itu ia lagi duduk di tangga DPRD DKI, bersama beberapa teman wartawan lainnya.

Kedua tangan pria tegap dan tinggi itu merangkul, membopong Behdi memasuki suatu ruangan. Ternyata itu adalah ruangan salah satu anggota dewan yang marah atas berita, karena berita menunjukan dirinya yang dituding sebagai orang yang bertanggungjawab akan kematian seorang temannya. Behdi sempat di maki-maki dan diancam. Untung saja para wartawan politik yang mangkal di DPRD DKI itu masuk dan mendamaikan.

Penat dan Jenuh

Hidup dunia wartawan membuat Behdi hanyut dan asyik dengan kesendiriannya. Rasa penat dan jenuh terkadang timbul, bukan karena profesi yang dijalani. Melainkan karena libido seorang pejantan yang hendak mencari sarang. Dunia diskotik menjadi pelabuhan saat pulang kantor. Hanya dengan modal id card pers, Behdi merambah diskotik di Ibukota Jakarta. Ini dilakukannya hingga malam menjelang, usai kerja.

Hanya duduk dan mengamati pengunjung yang lalu lalang, yang berjoget hingga kebodohan pengujung yang mabuk berat akibat minuman keras. Behdi hanya duduk mengamati dengan fasalitas yang diberikan manager diskotik. Godaan para perempuan binal sempat menyambanginya. Sebagai wartawan, dirinya hanya menyambut dengan persahabatan. Hingga diakhir bujangnya, Behdi tetap dapat mempertahankan keperjakaan dirinya.

Tak hanya itu, dari tempat itulah Behdi merenung akan profesinya dalam pandangan nara sumber. Behdi berfikir, “Wartawan itu hanya mendapat senyum manis didepan saja, tapi dicibir saat akan pergi berlalu. Dirindui saat dibutuhi. Dihujat saat dapat mengungkap dan dapat ditangkap bila berhadapan dengan kepentingan pejabat”.

Tapi itukan masa lalu. Saat orang ingin jadi wartawan perlu melalui tahap demi tahap. Pelatihan demi pelatihan. Waktu terus berlalu. Umur kian bertambah. Behdi tetap sendiri dalam kesibukannya sebagai wartawan dan penulis.

Hingga seorang teman kecilnya yang sukses sebagai pengusaha ikan laut di akhir tahun 2002 menelepon, menganjurkan Behdi untuk balik kebengkulu. Bertepatan Gubernur Bengkulu juga menitip pesan untuk berkarya sebagai wartawan di kota kelahiran Behdi.

Berangkat dari penat dan jenuh, semua yang ada di Ibukota Jakarta ditinggalkannya. Mulai dari awal dengan suasana baru. Hingga akhirnya keperjakaan itu berlabuh hingga berlayar di negeri bersejarah ini.
“Eh Bapak, kenapa belum siap siap ke Masjid,” tegur isteri yang mengagetkan Behdi. Lamunan itupun terputus dan pupus.

“Ia……Ini baru mau siap-siap say,” kilah Behdi sembari menggulung kain sarungnya yang nyaris melorot.
“Bareng nggak?”

“Nggak, duluan ajalah,” jawab Behdi sembari bilang dalam hatinya, “Dasar bini ngejut-ngejut aja loe”.

Penulis Cerpenis tinggal di Bengkulu Kota

Posting Terkait

Jangan Lewatkan